BISMILLAH Dalam Surat Al Fatihah Dan

Hukumnya di Dalam Sholat

بسم الله الرحمن الرحيم

Kaitan BISMILLAH

Dalam Surat Al Fatihah

Dan Hukumnya di Dalam Sholat

Ditulis Oleh:

Al Faqir Ilalloh Abu Fairuz Abdurrohman Bin Sukaya

Aluth Thury Al Indonesy Al Qudsy

عفى الله عنه

Di Markiz Dakwah Salafiyyah

Darul Hadits Dammaj Sho’dah

Yaman

حرسها الله

مقدمة

بسم الله الرحمن الرحيم

الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور أنفسنا وسيئات أعمالنا من يهده الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله.

﴿ يا أيها الذين آمنوا اتقوا الله حق تقاته ولا تموتن إلا وأنتم مسلمون﴾ .

﴿يا أيها الناس اتقوا ربكم الذي خلقكم من نفس واحدة وخلق منها زوجها وبث منهما رجالا كثيرا ونساء واتقوا الله الذي تساءلون به والأرحام إن الله كان عليكم رقيبا﴾

﴿ يا أيها الذين آمنوا اتقوا الله وقولوا قولا سديدا يصلح لكم أعمالكم ويغفر لكم ذنوبكم ومن يطع الله ورسوله فقد فاز فوزا عظيما .﴾

أما بعد: فإن خير الحديث كلام الله وخير الهدي هدي محمد صلى الله عليه وعلى آله وسلم وشر الأمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة وكل ضلالة في النار .

Telah datang surat dari tanah air yang isinya menanyakan jawaban yang benar dalam masalah silang pendapat di kalangan ulama seputar bacaan basmalah di dalam Al Fatihah.

Dalam kesempatan yang sempit ini ana cukupkan dengan menukil sebagian dari kitab ana yang berjudul “Syarhus Sunnah Lil Imam Ats Tsauriy” yang telah mendapatkan pengantar dari pimpinan Darul Hadits di Dammaj: Fadhilatusy Syaikh Abu Abdirrohman Yahya bin Ali Al Hajuriy -hafizhohumulloh-, dan pengajar di sini: Asy Syaikh Abu ‘Amr Ahmad bin Abdil Karim Al Hajuriy Al ‘Umariy -hafizhohulloh-.

Sebelum ana mulai menerjemahkan cuplikan tadi, perlu ana sampaikan bahwasanya permasalahan ini merupakan perkara ijtihadiyyah yang lapang, yang dalam hal ini para ulama Ahlussunnah saling bertoleransi dalam perselisihan tersebut.

Berikut ini adalah cuplikan kitab yang ana sebutkan di atas:

Al Imam Sufyan Ats Tsauriy -rohimahulloh- setelah menyebutkan beberapa pokok As Sunnah berkata pada muridnya: “Wahai Syu’aib bin Harb, apa yang engkau tulis ini tidak bermanfaat bagimu sampai engkau meyakini bahwasanya membaca Bismillahir Rohmanir Rohim dengan pelan di dalam sholat itu lebih utama di sisimu daripada membacanya dengan keras.”

Penjelasan:

Al Imam Sufyan Ats Tsauriy -rohimahulloh- memasukkan masalah keras pelannya bacaan bismillah di dalam sholat jahriyyah (sholat yang bacaan Qur’annya dikeraskan seperti: sholat Subh, Maghrib, ‘Isya, Jum’ah, ‘Idain, gerhana dan semisalnya), dalam rangka membantah Rofidhoh yang menjadikan kerasnya bismillah sebagai syi’ar mereka( Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -rohimahulloh- berkata: “Banyak sekali kedustaan dalam hadits-hadits yang menyebutkan dikeraskannya bacaan Basmalah, karena Syi’ah menganggap disyariatkkannya bacaan Basmalah secara keras, dan memang mereka itu adalah kelompok yang paling pendusta. Mereka membikin-bikin hadits-hadits untuk mendukung pendapat mereka dan membikin kerancuan agama terhadap masyarakat. Oleh karena itulah didapati pada ucapan sebagian imam Ahlussunnah dari penduduk Kufah seperti Sufyan Ats Tsauriy yang menyebutkan pokok-pokok As Sunnah di antaranya adalah: mengusap khuf (sepatu yang menutupi mata kaki) saat berwudhu dan meninggalkan dikeraskannya bacaan basmalah, sebagaimana mereka juga menyebutkan mendahulukan Abu Bakar sebelum Umar, dan semisal itu, dikarenakan permasalahan ini termasuk dari syi’ar Rofidhoh. Karena itulah Abu Ali bin Abi Huroiroh –salah satu imam dari pengikut Asy Syafi’iy berpendapat untuk meninggalkan dikeraskannya bacaan basmalah, dan beliau berkata: dikeraskannya bacaan basmalah telah menjadi syiar para penyelisih sunnah.” (“Majmu’ul Fatawa”/22/hal. 423).

Pondasi bab ini adalah hadits Anas -rodhiyallohu ‘anhu-:

أن النبي صلى الله عليه و سلم وأبا بكر وعمر رضي الله عنهما كانوا يفتتحون الصلاة بالحمد لله رب العالمين.

“Bahwasanya Nabi -shollallohu ‘alaihi wasallam- dan Abu Bakr serta Umar -rodhiyallohu ‘anhuma- selalu memulai sholat dengan Alhamdulillahirobbil ‘alamin.” (HR. Al Bukhoriy/Kitabul Adzan/Bab Ma Yaqulu Ba’dat Takbir/743/Daru Ibnu Hazm).

Dari Abdah dari Qotadah bahwasanya dia menulis surat kepadanya, mengabarinya dari Anas bin Malik bahwasanya beliau mengabarkan:

صليت خلف النبي صلى الله عليه و سلم، وأبي بكر، وعمر، وعثمان، فكانوا يستفتحون بالحمد لله رب العالمين لا يذكرون بسم الله الرحمن الرحم في أول قراءة ولا في آخرها.

“Aku sholat di belakang Nabi -shollallohu ‘alaihi wasallam-, Abu Bakr, Umar, dan Utsman, mereka selalu membuka sholatnya dengan Alhamdulillahirobbil ‘alamin. Mereka tidak menyebutkan bismillahirrohmanirrohim di awal bacaan atau di akhirnya.” (HR. Muslim (Kitabush Sholah/Bab Man qola la yajhar bil basmalah/399/Dar Ibnil Jauziy).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -rohimahulloh- berkata:

“Adapun sifat sholat dan termasuk dari syiarnya adalah masalah basmalah, maka sungguh orang-orang telah mengalami kegoncangan dalam masalah ini, ada yang menetapkan dan ada yang meniadakan, apakah dia itu ayat dari Al Qur’an, dan bagaimana bacaannya. Kedua kelompok tersebut telah menulis kitab-kitab, yang nampak dari sebagian perkataannya tadi ada sedikit kebodohan dan kezholiman, padahal permasalahannya itu ringan. Adapun pembentukan kelompok hanya karena masalah-masalah seperti ini merupakan syiar-syiar perpecahan dan perselisihan yang kita dilarang darinya, karena yang menarik mereka untuk berbuat semacam itu adalah kembalinya syiar-syiar yang memecah-belah umat. Jika tidak demikian, maka masalah-masalah ini adalah termasuk masalah khilaf yang paling ringan sekali, andaikata setan tidak mengajak kepada ditampakkannya syiar perpecahan.

Adapun masalah basmalah itu sebagai satu ayat dari Al Qur’an, maka satu kelompok –seperti Malik- berkata: “Basmalah itu bukan bagian dari Al Qur’an kecuali dalam surat An Naml.” Mereka memegang konsekuensi dari keyakinan itu bahwasanya para Shohabat meletakkan ke dalam mushaf kalimat yang bukan bagian dari kalamulloh dalam rangka mencari berkah.

Ada satu kelompok dari pengikut Ahmad yang menyatakan bahwasanya ini juga satu riwayat dari beliau –Al Imam Ahmad-. Terkadang sebagian orang dari mereka meyakini bahwasanya ini merupakan madzhab beliau.

Ada kelompok lain –di antaranya Asy Syafi’iy- yang berkata: “Tidaklah para Shohabat menulisnya di dalam Mushaf dengan pena Mushaf bersamaan dengan pembersihan Mushaf dari apa-apa yang bukan dari Al Qur’an kecuali dia itu adalah bagian dari surat, bersamaan dengan dalil-dalil yang lain.

Kebanyakan fuqoha ahli hadits –seperti Ahmad, dan para peneliti dari pengikut Abu Hanifah- mengambil jalan tengah dan berkata: “Penulisan basmalah di dalam Mushaf mengharuskan bahwasanya dia itu bagian dari Al Qur’an karena kita semua telah tahu bahwasanya para Shohabat itu tidak menulis di dalam Mushaf apa-apa yang bukan Al Qur’an. Akan tetapi hal itu tidak mengharuskan basmalah tadi bagian dari surat. Bahkan dia itu merupakan ayat tersendiri yang diturunkan di awal setiap surat, sebagaimana ditulis oleh para Shohabat dalam satu baris yang terpisah, sebagaimana ucapan Ibnu ‘Abbas:

كان لا يعرف فصل السورة السورة حتى ينزل بسم الله الرحمن الرحيم.

“Dulunya Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wasallam- tidak mengetahui pemisah antara satu surat dengan surat yang lain sampai turun Bismillahirrohmanirrohim.”(Maka menurut mereka tadi Basmalah adalah ayat dari Kitabulloh di awal setiap surat yang tertulis di Mushaf, tapi bukan bagian dari surat-surat tadi. Inilah nash (yang jelas dan pasti) dari Ahmad di beberapa sumber. Dan tidak didapatkan dari beliau penukilan yang jelas yang menyelisihi hal ini. Ini juga pendapat Abdulloh Ibnul Mubarok dan yang lainnya, dan ini merupakan pendapat yang paling tengah dan adil.

Demikian pula perkaranya dalam masalah bacaan Basmalah di dalam sholat. Satu kelompok –seperti Malik dan Al Auza’iy- tidak membacanya baik secara pelan-pelan ataupun keras.

Satu kelompok lagi –seperti pengikut Ibnu Juroij dan Asy Syafi’iy- membacanya dengan keras.

Dan kelompok ketiga yang pertengahan adalah mayoritas dari para fuqoha ahlil hadits bersama dengan fuqoha ahlur ro’yi, mereka membaca Basmalah dengan perlahan, sebagaimana dinukilkan dari mayoritas Shohabat. Bersamaan dengan itu Ahmad melaksanakan apa yang diriwayatkan dari Shohabat dalam bab ini, yaitu disunnahkan untuk mengeraskan Basmalah demi maslahat yang lebih berat, sampai-sampai beliau menegaskan bahwasanya barangsiapa sholat di Madinah hendaknya dia mengeraskan Basmalah. Sebagian sahabatnya berkata: “Karena mereka mengingkari orang yang membacanya dengan keras.”(Dan disunnahkan bagi seseorang yang ingin melunakkan hati masyarakat untuk meninggalkan perkara-perkara mustahabbah (yang dianjurkan dan tidak sampai wajib) ini karena maslahat pelunakan hati di dalam agama ini lebih besar daripada maslahat pelaksanaan perkara seperti itu tadi, sebagaimana Nabi -shollallohu ‘alaihi wasallam- meninggalkan perubahan bangunan Ka’bah, karena jika Ka’bah dibiarkan tetap seperti itu hati-hati orang Quroisy dan yang lainnya bisa dilunakkan(Dan sebagaimana Ibnu Mas’ud mengingkari Utsman karena sholat di perjalanan secara sempurna (tidak meng-qoshor), lalu dia sendiri sholat di belakang Utsman secara sempurna dan berkata: “Perselisihan itu jelek”(Ini sungguh merupakan pendapat yang bagus, akan tetapi maksud Ahmad adalah bahwasanya penduduk Madinah itu dulu tidak membaca Basmalah, maka beliau membacanya dengan keras untuk menjelaskan pada mereka bahwasanya membacanya itu sunnah, sebagaimana Ibnu ‘Abbas membaca Ummul Kitab (Al Fatihah) dengan keras saat sholat jenazah, dan beliau berkata: “Agar kalian tahu bahwasanya hal ini adalah sunnah(Oleh karena itulah dinukilkan dari kebanyakan Shohabat yang meriwayatkan bacaan keras dari beliau -shollallohu ‘alaihi wasallam- bahwasanya mereka sendiri membacanya dengan pelan, seakan-akan mereka mengeraskan bacaan adalah untuk menunjukkan bahwasanya mereka itu membacanya juga, sebagaimana sebagian dari mereka membaca isti’adzah (A’udzubillahi minasy syaithonir rojim) dengan keras juga.

Sikap tengah dalam segala sesuatu adalah dengan jalan melaksanakan atsar-atsar tadi sesuai dengan dengan bentuknya. Karena tidak mungkin Nabi -shollallohu ‘alaihi wasallam- mengeraskan bacaan tadi terus-menerus tapi kebanyakan Shohabat tidak menukilkan yang demikian itu. Justru telah pasti berita dari lebih dari satu Shohabat yang meniadakan bacaan Basmalah secara keras dari Nabi. Dan tidaklah ada berita yang tetap yang menentangnya kecuali memiliki beberapa kemungkinan.

Masalah tidak disyariatkannya bacaan Basmalah dengan keras, telah tetap berita dari beberapa Shohabat yang memakruhkan perbuatan itu, tapi juga membiarkannya, bersamaan dengan disyariatkannya mengeraskannya di dalam sholat sirriyyah (sholat yang bacaannya pelan) karena suatu keperluan, sebagaimana telah terdahulu pembahasannya.

Masalah dimakruhkannya bacaan Basmalah walaupun ada atsar yang tetap dari Shohabat yang menyebutkan bacaan tadi, dan sebagiannya diriwayatkan dari Nabi -shollallohu ‘alaihi wasallam-, dan masalah para Shohabat menulisnya di dalam Mushaf, dan masalah Basmalah itu diturunkan bersamaan dengan turunnya surat butuh pembahasan lebih lanjut, bersamaan dengan bahwasanya Basmalah itu jika dibaca di awal surat Nabi Sulaiman, maka pembacaannya di awal Kitabulloh adalah paling cocok. Maka seharusnya kita mengikuti atsar-atsar yang berbicara tentang masalah itu dengan lurus, saling bersikap lunak, dan sikap tengah, yang mana itulah perkara yang paling utama.

Kemudian tentang kadar sholat, para fuqoha hadits memilih sholat Nabi -shollallohu ‘alaihi wasallam- yang beliau sering mengerjakannya. Itulah sholat yang pertengahan yang saling berdekatan, yang mana beliau mempersingkat berdiri dan duduknya, dan memanjangkan ruku’ dan sujudnya, menyamakan ruku’, sujud, dan I’tidalnya(«إني لأدخل فى الصلاة وأنا أريد أن أطيلها، فأسمع بكاء الصبي فأخفف لما أعلم من وجد أمه به»

“Sungguh aku masuk ke dalam sholat dan ingin memanjangkannya, lalu aku mendengar tangisan bayi maka akupun menyingkatnya karena aku tahu kegundahan ibunya karenanya.”(Sebagaimana beliau terkadang memanjangkannya karena suatu sebab, sebagaimana Nabi -shollallohu ‘alaihi wasallam- membaca pada sholat Maghrib dengan surat yang terpanjang(Di antara fuqoha ada juga yang tidak menganggap mustahab pemanjangan I’tidal dari ruku’ dan sujud. Dari mereka ada yang menganggapnya sebagai rukun yang singkat dibangun dari anggapan bahwasanya I’tidal tadi itu disyariatkan sebagai penyerta saja dalam rangka sebagai pemisah dan bukan sebagai tujuan. Di antara mereka ada yang menyamakan antara dua rekaat yang pertama, ada juga yang menganggap mustahab bahwasanya imam tidak membaca tasbih dalam ruku’ dan sujud lebih dari tiga tasbih. Ada juga pendapat-pendapat yang lain.” (“Majmu’ul Fatawa”/22/hal. 405 dst).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -rohimahulloh- juga berkata: “Alhamdulillahi robbil ‘alamin. Adapun hadits Anas tentang peniadaan jahr (baca basmalah dengan keras), maka hadits tadi jelas sekali dan tidak bisa dita’wilkan seperti itu, karena diriwayatkan oleh Muslim dalam “Shohih” beliau, Anas berkata:

“Aku sholat di belakang Nabi -shollallohu ‘alaihi wasallam-, Abu Bakr, Umar, dan Utsman, mereka selalu membuka sholatnya dengan Alhamdulillahirobbil ‘alamin. Mereka tidak menyebutkan bismillahirrohmanirrohim di awal bacaan atau di akhirnya.” (sudah lewat di awal kitab ini, HR. Muslim (399)).

Peniadaan seperti ini tidak boleh dilakukan kecuali berdasarkan ilmu tentang hal itu. Tidak boleh ditiadakan hanya semata-mata karena beliau tidak mendengarnya, bersamaan dengan kemungkinan Nabi membacanya dengan keras tapi beliau tidak mendengarnya.

Dan lafazh lain yang ada di “Shohih Muslim”:

صليت خلف النبي وأبي بكر وعمر وعثمان فلم أسمع أحداً منهم يجهر أو قال يصلى ببسم الله الرحمن الرحيم.

“Aku sholat di belakang Nabi -shollallohu ‘alaihi wasallam-, Abu Bakr, Umar, dan Utsman, tapi aku tidak mendengar seorangpun dari mereka membaca keras –atau berkata: sholat dengan bismillahirrohmanirrohim.”

Di sini beliau meniadakan pendengaran basmalah. Andaikata hadits Anas tadi tidak diriwayatkan kecuali dengan lafazh ini, tidak boleh dita’wilkan bahwasanya Nabi -shollallohu ‘alaihi wasallam- dulu membacanya dengan keras tapi tidak didengar oleh Anas, dari beberapa sisi:

Sisi pertama: Bahwasanya Anas hanyalah meriwayatkan ini untuk menjelaskan pada mereka apa yang sering dikerjakan oleh Nabi -shollallohu ‘alaihi wasallam-, karena orang-orang tidaklah butuh untuk tahu apakah Anas mendengar ataukah tidak selain untuk menjadikan tidak mendengarnya beliau bacaan basmalah tadi sebagai dalil tentang tidak dikeraskannya basmalah. Andaikata apa yang disebutkan beliau tadi tidak bisa jadi dalil peniadaan, tak mungkin Anas meriwayatkan perkara yang tidak berfaidah buat mereka, dan tak akan mereka meriwayatkan hadits yang tak berfaidah buat mereka seperti ini.

Sisi kedua: Lafazh seperti ini di dalam adat kebiasaan menjadi penunjuk tentang tidak adanya perkara yang tidak diketahui. Jika seseorang berkata: “Kami tidak mendengar” atau “kami tidak melihat” terhadap sesuatu yang biasanya bisa didengar atau dilihat, maka maksudnya dengan gaya ucapan tadi adalah: peniadaan wujud dari sesuatu tadi. Ungkapan ketidaktahuan seperti tadi merupakan dalil peniadaan wujud dari sesuatu tadi. Sudah diketahui bersama bahwasanya ungkapan tadi adalah dalil terhadap perkara yang adat kebiasaan itu bisa mengetahuinya. Ini menjadi jelas dengan sisi yang ketiga.

Sisi ketiga: Anas itu selalu melayani Nabi -shollallohu ‘alaihi wasallam- sejak kedatangan beliau ke Madinah sampai beliau wafat(Kemudian beliau juga menyertai Abu Bakr, Umar dan Utsman, mengurusi berbagai urusan untuk Abu Bakr dan Umar, dan tidak mungkin bersamaan dengan panjangnya masa pemerintahan mereka(Maka dengan ini jelaslah bahwasanya barangsiapa mengartikan hadits tadi bahwasanya: “mereka membacanya dengan keras tapi Anaslah yang barangkali tidak mendengar”, maka yang demikian itu adalah penyelewengan makna hadits, bukan lagi ta’wil, meskipun tidak diriwayatkan kecuali lafazh tadi. Bagaimana sementara lafazh yang lain terang-terangan meniadakan penyebutan basmalah? Maka lafazh yang ini lebih utama daripada riwayat tadi. Dan kedua riwayat ini meniadakan ta’wil orang yang mena’wilkan ucapannya: (يفتتحون الصلاة بالحمد لله رب العالمين)

“Mereka selalu membuka sholatnya dengan Alhamdulillahirobbil ‘alamin”

Bahwasanya maksud Anas adalah: surat(Karena ucapan beliau:

يفتتحون بالحمد لله رب العالمين، لا يذكرون بسم الله الرحمن الرحيم فى أول قراءة ولا فى فى آخرها

“Mereka selalu membuka sholat mereka dengan Alhamdulillahirobbil ‘alamin. Mereka tidak menyebutkan bismillahirrohmanirrohim di awal bacaan atau di akhirnya.”

Ini adalah kalimat yang terang dan jelas bahwasanya maksud beliau adalah bahwasanya mereka itu selalu membuka sholat mereka dengan ayat BISMILLAHIRROHMANIRROHIM, bukan dengan surat Al fatihah yang awalnya adalah BISMILLAHIRROHMANIRROHIM, karena jika maksud Anas adalah surat Al Fatihah, pastilah kedua hadits beliau tadi akan bertolak belakang.

Lagi pula, andaikata pembukaan sholat dengan fatihah itu sebelum pembacaan surat, maka yang demikian itu merupakan pengetahuan yang telah nampak dan umum, yang diketahui oleh orang khusus (ulama) dan awam, sebagaimana mereka tahu bahwasanya ruku’ itu sebelum sujud. Seluruh imam selain Nabi, Abu Bakr, Umar dan Utsman juga menjalankan ini. Tak ada faidahnya penukilan semacam ini. Dan ini juga merupakan perkara tidak membutuhkan penukilan Anas dalam keadaan mereka menanyainya tentang ini. Dan ini memang bukanlah perkara yang perlu ditanyakan(أن النبي كان يفتتح الصلاة بالتكبير والقراءة بالحمد لله رب العالمين إلى آخره

“Bahwasanya Nabi selalu memulai sholat dengan takbir dan bacaan Alhamdulillahirobbil ‘alamin dan seterusnya.”(Diriwayatkan juga: “Beliau memulai bacaan dengan Alhamdulillahirobbil ‘alamin, Arrohmanirrohim, Malikiyaumiddin.”(Riwayat ini terang sekali bahwasanya yang diinginkan dari kalimat: Alhadulillahirobbil ‘alamin adalah ayat,(bersamaan penjelasan ini semua, tidak ada di dalam hadits Anas peniadaan bacaan Basmalah secara pelan-pelan, karena beliau juga meriwayatkan:

فكانوا لا يجهرون ببسم الله الرحمن الرحيم،

“Mereka itu tidak mengeraskan Bismillahirrohmanirrohim.”

Beliau hanya meniadakan pembacaan basmalah secara keras.”

Selesai sampai di sini penukilan dari ucapan Syaikhul Islam di “Majmu’ul Fatawa” (22/hal. 410- 414).