Cari

Thaifah Al Manshurah

Website Pribadi – Kumpulan Risalah Ilmiyyah Abu Fairuz Abdurrahman Al-Jawiy Hafidzahullah

Tag

apel manalagi

Goresan Kenangan Saat Lewat Makam Di Musim Dingin Yang Agak Mencengkeram (cakar Pertama Tuk Wushobiy Yang Kejam)

Mengingat Kembali

Kebusukan Abdul Ghofur Al Malangi (5)

Apel Manalagi Buat Cak Malangi (seri 5)

Kebatilan Ubaid Al Jabiriy Tidak Dipungkiri,

Yang Membongkarnya Justru Dimusuhi

 

Ditulis oleh:

Abu Fairuz Abdurrohman Al Qudsy Al Jawy

Al Indonesy

-semoga Alloh memaafkannya- 

 

Darul Hadits Dammaj

Yaman

-Semoga Alloh menjaganya-

بسم الله الرحمن الرحيم

Kata Pengantar Seri Lima

 

الحمد لله واشهد أن لا إله إلا الله وأن محمدا عبده ورسوله، اللهم صلى الله عليه وآله وسلم وسلم على محمد وآله وسلم، أما بعد:

 

            Abdul Ghofur Al Malangiy membuka tulisan “Hampir-hampir Mereka … Jantan” dengan pengumuman tahdzir Ubaid Al Jabiriy terhadap Salafiyyin Dammaj. Dari sisi lain dia memasukkan Ubaid Al Jabiriy ke dalam daftar para masyayikh dakwah yang dicaci oleh pengikut Asy Syaikh yahya Al Hajuriy.

            Tujuan si Dul amat jelas: untuk menampilkan di hadapan umat bahwasanya Salafiyyun Dammaj benar-benar kelompok pencaci ulama Ahlussunnah, Maka mereka pantas untuk ditahdzir berdasarkan fatwa Ubaid tadi.

Maka jawaban ana adalah sebagai berikut:

 

Bab Satu: Abdul Ghofur Tidak Adil Dalam Memaparkan Kasus

 

            Jawaban pertama: Jika Si Dul sudah tahu hujjah Salafiyyin Dammaj dalam men-jarh ‘Ubaid Al Jabiriy, tapi Si Dul sengaja tidak memaparkannya kepada umat, maka ini adalah bagian dari ketidakadilan hizbiyyin, padahal mereka (terutama hizbiy Mar’iyyin) getol meneriakkan syi’ar keadilan demi menggambarkan kezholiman Salafiyyin Dammaj.

Sangat disayangkan Si Dul tidak memaparkan hujjah-hujjah Salafiyyin Dammaj yang menyebabkan mereka merasa perlu untuk membeberkan kebatilan ‘Ubaid Al Jabiriy hadahulloh di muka umat. Seharusnya Si Dul memberikan umat kesempatan untuk mengetahui hujjah tersebut, sehingga mereka bisa menilai apakah Salafiyyin Dammaj berada di jalan yang benar dalam kasus ini ataukah tidak. Adapun langkah Si Dul menyembunyikan hujjah-hujjah tersebut maka ini memang bagian dari makar aboriginnya untuk menyempurnakan gambaran bahwasanya Salafiyyin Dammaj itu memang tukang caci ulama.

Alloh ta’ala berfirman:

وَيْلٌ لِلْمُطَفِّفِينَ (1) الَّذِينَ إِذَا اكْتَالُوا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ (2) وَإِذَا كَالُوهُمْ أَوْ وَزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ [المطففين/1-3]

“Celakalah orang-orang yang berbuat curang, yang jika minta ditakarkan kepada manusia mereka minta disempurnakan. Tapi jika mereka sendiri menakar atau menimbang mereka membikin orang rugi.”

Al Imam As Sa’diy rohimahulloh berkata:

ودلت الآية الكريمة، على أن الإنسان كما يأخذ من الناس الذي له، يجب عليه أن يعطيهم كل ما لهم من الأموال والمعاملات، بل يدخل في [عموم هذا] (6) الحجج والمقالات، فإنه كما أن المتناظرين قد جرت العادة أن كل واحد [منهما] يحرص على ما له من الحجج، فيجب عليه أيضًا أن يبين ما لخصمه من الحجج التي لا يعلمها، وأن ينظر في أدلة خصمه كما ينظر في أدلته هو، وفي هذا الموضع يعرف إنصاف الإنسان من تعصبه واعتسافه، وتواضعه من كبره، وعقله من سفهه، إلخ.

“Ayat yang mulia ini menunjukkan bahwasanya seseorang itu sebagaimana dia mengambil apa yang menjadi haknya dari manusia yang lain, demikian pula dia wajib memberikan kepada mereka semua perkara yangmenjadi hak mereka, baik yang berupa harta, ataupun berbagai hubungan. Bahkan masuk juga di dalam keumuman dalil ini: argumentasi dan perkataan. Yang demikian itu dikarenakan adat kebiasaan yang berlaku di kalangan orang-orang yang sedang berdebat itu masing-masing pihak berhasrat untuk menampilkan hujjah yang mendukung dirinya. Maka wajib bagi dirinya untuk juga menjelaskan hujjah yang mendukung lawannya yang tidak dia tahu, lalu wajib bagi dirinya untuk memperhatikan dalil-dalil lawannya tadi sebagaimana dirinya memperhatikan dalil-dalil yang dimilikinya. Dalam posisi inilah diketahui apakah orang tersebut adil ataukah ta’ashshub (fanatik) dan ngawur. Juga dengan ini diketahui apakah orang itu tawadhu’ ataukah sombong, berakal ataukah tolol,” dst. (“Taisirul Karimir Rohman”/1/hal. 915).

Adapun tugas umat Islam yang disodorkan kepada mereka kasus ini mereka wajib untuk memelihara sikap adil. Sebelum memutuskan siapakah yang benar ataupun yang salah, hendaknya mereka melihat pihak manakah yang lebih kuat hujjahnya, sesuai dengan Al Kitab dan As Sunnah dengan pemahaman Salaful Ummah.

 

Bab Dua: Si Dul Tergesa-gesa Menilai Sebelum Tahu Duduk Permasalahan

 

Jawaban kedua: Adapun jika Si Dul sudah mencak-mencak dalam keadaan dirinya memang tidak tahu kasus tersebut (padahal sudah disebarkan ke umat), maka Si Dul itulah yang pantas memakai kaos bikinannya sendiri: “Katak Dalam Tempurung”.

Kemudian semestinya para hizbiyyun itu jangan cuma teriak-teriak “Kalian tergesa-gesa menilai!” sebagaimana teriakan hizbiy Mar’iyyin. Pada kenyataannya mereka sendiri ternyata tergesa-gesa menilai Salafiyyin Dammaj dalam kasus ‘Ubaid Al Jabiriy hadahulloh ini, tanpa memperhatikan ketepatan hujjah kami.

            Maka dalam kessempatan ini ana nasihatkan buat Si Dul dan kru Dhofadi’ Habibahnya (jika memang nasihat yang benar masih ada tempat di hati): jangan buru-buru menentang perkara yang kamu belum tahu ilmunya, karena yang demikian itu adalah kebiasaan Musyrikin. Alloh ta’ala berfirman:

وَإِذْ لَمْ يَهْتَدُوا بِهِ فَسَيَقُولُونَ هَذَا إِفْكٌ قَدِيمٌ [الأحقاف/11]

“Dan manakala mereka tidak mendapatkan petunjuk dengannya mereka akan berkata: Ini adalah kedustaan yang kuno.” (QS. Al Ahqof: 11).

Alloh ta’ala berfirman:

بَلْ كَذَّبُوا بِمَا لَمْ يُحِيطُوا بِعِلْمِهِ وَلَمَّا يَأْتِهِمْ تَأْوِيلُهُ كَذَلِكَ كَذَّبَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الظَّالِمِينَ [يونس/39]

“Bahkan mereka mendustakan perkara yang mereka belum punya ilmu tentangnya, dan belum datang kepada mereka hasil akhirnya. Demikianlah orang-orang sebelum mereka mendustakan, maka perhatikanlah bagaimana akibat dari orang-orang yang zholim itu.” (QS. Yunus: 39).

Al Munawy -rohimahulloh- berkata:

فإن مَن جهل شيئًا عاداه. والناقص لعدم الفضل لعجزه عن بلوغ فضلهم يريد ردَّهم إلى درجة نقصه لعزته بنفسه، ذكره الماوردي. (“فيض القدير” 3/ص11)

”Sesungguhnya barangsiapa tidak mengetahui sesuatu perkara dia akan memusuhinya. Dan orang yang kurang itu, dikarenakan dia tidak memiliki keutamaan, karena lemahnya dia untuk mencapai keutamaan mereka, dia ingin mengembalikan mereka kepada derajat kekurangan dirinya, dikarenakan kesombongan dirinya. Hal ini dikatakan oleh Al Mawardy.” (“Faidhul Qodir” 3/hal. 11).

Al Mutanabbi -rohimahulloh- berkata:

وكم من عائبٍ قولاً صحيحاً

 

وآفـته مـن الفهـم السـقيم

ولكـن تـأخــذ الآذان مـنه

 

على قدر القرائح والعلوم

 “Dan banyak sekali orang yang mencela perkataan yang yang benar, padahal asal penyakitnya adalah dari pemahaman yang sakit. Akan tetapi telinga itu hanyalah mengambil pemahaman sesuai dengan kadar tabiat dan ilmunya.” (“Syarh Diwanil Mutanabbi”/ hal. 392).

 

Bab Tiga: Ahmad Asy Syihhiy, Korban fatwa Ubaid Al Jabiriy

 

            Jawaban ketiga: Sekarang tiba saatnya untuk memulai pemaparan kebatilan ‘Ubaid Al Jabiriy hadahulloh, lengkap dengan hujjah kami terhadap kasus tersebut. Dan hendaknya seluruh pihak siap melaksanakan firman Alloh ta’ala:

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى الله وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِالله وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ [النساء : 59]

“Maka jika kalian berselisih pendapat terhadap suatu perkara maka kembalikanlah hal itu kepada Alloh dan Rosul-Nya, jika memang kalian itu beriman kepada Alloh dan hari akhir.” (QS. An Nisa: 59)

Sengaja ana mengulang ayat ini (padahal sudah disebutkan pada seri dua) agar kita terus ingat kewajiban yang terkandung di dalamnya. Kebenaran itu diketahui berdasarkan hujjah-hujjah al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman Salaf, bukan sekedar fatwa orang yang tidak ma’shum: “Ini bukan hizbiyyah!”, “Aku tidak mendapati adanya hizbiyyah!”, dan semisalnya.

Di dalam pemaparan ini ana akan mengawalinya dengan kasus Ahmad Asy Syihhiy, salah seorang masyayikh dari UEA <Uni Emirat Arab> yang ana sukai, yang terkenal dengan kitabnya: “Hiwar Hadi’ ma’a Ikhwaniy”. Kitab ini mendapatkan pujian dan kata pengantar dari Al Imam Al Wadi’iy rohimahulloh dan penulisnya beliau gelari: SYAIKH.

Di dalam risalah “Al Bayanus Salafiy Li Hali Ahmad Asy Syikhkhiy” berkatalah Muhammad Al Katsiriy Al Imarotiy, Abu Bakr Abdulloh bin Kholid bin Hasan Adh Dhohiriy dll hafizhohumulloh:

Sesungguhnya sang da’i yang aku menulis seputar dirinya ini adalah Ahmad bin Muhammad Asy Syikhkhiy Al Imarotiy yang tinggal di wilayah Ro’sul Khoimah. Saudara kita ini dulunya memulai dengan dakwah salafiyyah yang bagus, dan kerajinan yang baik. Dia mengajari para ikhwah, mengadakan ceramah-ceramah dan halqoh ilmiyyah yang beraneka ragam di berbagai daerah di Emirat. Dan berkumpullah di sekelilingnya sejumlah penuntut ilmu yang cinta dan haus akan ilmu syar’iy.

Akan tetapi pada tiga atau empat tahun belakangan ini berubahlah garis perjalanan orang ini. Dia mulai mundur ke belakang sedikit demi sedikit hingga akhirnya membikin lembek manhaj salafiy, menyia-nyiakan dan merusak dakwahnya. Penyelewengan tersebut mulai terlihat ketika dirinya mulai mendekati calon pemegang tampuk kehakiman di wilayah Ro’sul Khoimah, lalu menjadi teman bermusyawarahnya. Lalu dia masuk ke kementrian waqof dan urusan Islam, sebagai kepala kantor di wilayah Ro’sul Khoimah.

Padahal telah diketahui bersama bahwasanya kementrian waqof itu ada di tangan orang-orang sufi dan hizbiyyin. Merekalah yang menguasai dan mendominasinya. Sekarang, selang waktu kemudian, setelah Ahmad Asy Syikhkhiy berubah dan dakwahnya mati, orang-orang sufi dan hizbiyyin melemparkannya dan mengeluarkannya dari kementrian.

<Kembali ke awal-awal kisah> sejak Ahmad Asy Syikhkhiy mendapatkan dua jabatan tadi, berubahlah jalan hidupnya, dan bergantilah dengan tamyii’ <pelembekan manhaj>. Manhaj salafiy yang bersih berubah dan kemasukan asap.

Agar kita tidak dikatakan menuduh tanpa perincian dan penjelasan, maka silakan sang pembaca untuk menelaah sebagian dari penyelewengannya berikut ini:

Yang pertama: masuknya Ahmad Asy Syikhkhiy ke jabatan pemerintahan yang tersebut di atas dengan alasan untuk melakukan perubahan, dan bahwasanya masuknya dirinya itu karena memperhatikan maslahat yang besar. Padahal pandangan ini sama dengan sudut pandang Ikhwanul Muslimin yang masuk ke jabatan-jabatan di parlemen dan majelis-majelis setan dengan hujjah ini <maslahat yang besar>. Dan tidak tersembunyi bagi kita bahwasanya asal perubahan kemungkaran dengan cara masuk ke pintu pemerintahan dan jabatan merupakan manhaj Ikhwaniy yang paling mendasar. Dan bukanlah cara tadi bagian dari manhaj salaf yang berdasarkan ilmu dan dakwah dalam merubah keadaan orang dan masyarakat. Telah datang larangan dari Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam untuk berusaha mendapatkan ataupun meminta jabatan.

Andaikata Asy Syikhkhiy berkata: “Aku tidak berusaha menggapai jabatan tadi, tapi pemerintahlah yang menawari aku, dan aku memilih untuk menerimanya.” Maka jawabku adalah: yang paling manisnya itu pahit. Usaha untuk menggapai jabatan merupakan manhaj ikhwaniy. Adapun yang kedua: andaikata kedua jabatan tadi ditawarkan kepada Asy Syikhkhiy, tidak boleh baginya untuk menerimanya, karena masuknya dirinya ke jabatan tadi akan melembekkan manhaj salafiy dan menyia-nyiakan dakwahnya, karena pemerintah itu -sebagaimana telah diketahui oleh orang yang punya keadilan- adalah ahli dunia, dan mereka tidak menerima orang yang mereka letakkan di posisi itu untuk merusak dunia mereka. Maka dia harus: menolak jabatan tadi –dan itu wajib baginya-, atau dia menerimanya dan kemudian bersikap mengalah dan melembekkan jalan dakwahnya agar tampil di hadapan mereka dengan penampilan orang yang konsisten dan pertengahan. Wallohul musta’an.

Perubahan yang dimaksudkan oleh Ahmad Asy Syikhkhiy tadi adalah perubahan dominasi sufiyah dan hizbiyyin di Negara ini agar kekuasaan berpindah ke tangan salafiyyin. Telah diketahui bersama bahwasanya Emirat itu ada dikuasai oleh orang-orang sufi, sementara dakwah salafiyyah itu lemah dan tidak diterima oleh pemerintah.

Yang kedua: durus <jadwal-jadwal pelajaran> dirinya terhenti, kecuali satu pelajaran tiap pekan. Itupun terkadang dia tidak hadir. Demikian pula ceramah-ceramah dan halqoh ilmiyyahnya juga terhenti. Bahkan jika ada majelis ilmiyah yang dihadiri para penuntut ilmu dirinya tidak membuka jam pertanyaan untuk dijawab. Jika ada yang melontarkan pertanyaan sebelum diumumkannya larangan bertanya marah dan jengkellah dirinya. Bahkan terkadang dia menghardik sang penanya, sebagaimana terjadi di beberapa majelis.

Ketiga: masuknya Ahmad Asy Syikhkhiy ke dalam kementrian menyebabkannya mercampur baur dengan orang-orang sufiy dan hizbiyyin yang ada di situ sebagai teman sejawat dan kawan akrab. Dan dirinya tak bias mengingkari kebatilan mereka, ataupun menghadapi mereka, dan ini termasuk tamyii’ yang terbesar.

Ahmad Asy Syikhkhiy berkata di dalam kitabnya Al Washoyas saniyyah Lit Taibin Ilas salafiyyah” hal. 19: “Engkau akan mendapati bahwasanya orang yang tobat itu pada awalnya bersemangat untuk menjauh dari ahli bid’ah wal furqoh sementara waktu. Tapi jika dia menfdengar suatu syubhat dari orang yang berpakaian salafiyyah yang kesimpulan syubhatnya adalah: “Bahwasanya menjauh dari ahli bid’ah dan tidak bercampur dengannya adalah tidak benar, dan yang demikian itu menghilangankan kemaslahatan yang banyak, dan tidak ada orang yang ma’sum sepeninggal Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam, dan bahwasanya para shohabat itu salah” engkau akan lihat dirinya itu tertimpa penyakit hati dan telah meminum syubuhat tadi lebih cepat daripada minum air, lalu jadilah dirinya tadi bercampur dan ahli bid’ah dan melembekkan prinsip-prinsip salafiyyah dengan nama salafiyyah.” Selesai penukilan. Mahasuci Robbku. Seakan-akan dirinya tengah berkata tentang kondisi dirinya sendiri. Ahmad Asy Syikhkhiy ini dulunya jauh dari ahli bid’ah wal ahwa sementara waktu, dan berpisah dari mereka. Namun dengan musyawarah tokoh yang berbaju salafiy yang bernama: Ubaid Al Jabiriy diapun bercampur baur dengan ahli bid’ah wal ahwa dengan hujjah maslahat yang banyak. Maka diapun merosot dan menjadi orang yang melembekkan prinsip-prinsip salafiyyah dengan nama salafiyyah.

Keempat: jadilah termasuk dari maslahat dakwah menurutnya adalah: “Janganlah engkau berkata bahwa dirimu itu salafiy”

Yang aneh dan menggelikan adalah bahwasanya Ahmad Asy Syikhkhiy memperbanyak dan mengulang-ulang dakwaan maslahat dan maslahat, dan yang dimaksudkannya dengan kemaslahatan adalah: agar kekuasaan dan dominasi itu kembali kepada dakwah salafiyyah di Emirat. Kekuasaan dan keunggulan apa sih yang dimiliki suatu dakwah yang pemegangnya malu dan tidak berani untuk menisbatkan diri padanya dan juga malu untuk berbangga dengannya? Sungguh ini adalah perkara yang menggelikan.

Kelima: ketertipuan dengan dirinya sendiri, dan dia menganggap dirinya sebagai orang yang paling tahu hakikat kejadian dan rahasia suatu perkara, dan bahwasanya dirinya itu adalah orang yang tahu hikmah dan punya pandangan yang tajam dan jauh. Dan dia mulai mencela dan membodoh-bodohkan para pemuda salafiy yang tidak menyetujuinya dengan perjalanan tamyi’nya. Dia juga menuduh mereka tidak memperhatikan maslahat dan mafsadah, dan bahwasanya mereka itu angn-anginan dan tergesa-gesa, tak punya hikmah dan pandangan yang jauh. Dan masih banyak tuduhan ngawurnya terhadap pemuda salafiy.

Di antara contoh pembodohan yang dilakukan Ahmad Asy Syikhkhiy terhadap sebagian perbuatan orang yang tidak mencocoki jalannya adalah: ada seseorang yang yang tidak dikenal menelpon Asy Syaikh Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh ketika terjadi fitnah pengguntingan jenggot para tentara di Emirat karena pemerintah mewajibkan itu. Maka si penelpon bertanya pada Asy Syaikh Abdul ‘Aziz tentang hal itu, dan dijawab oleh beliau bahwasanya yang demikian itu tidak boleh, dan wajib untuk tidak menaati perintah dari pemerintah tersebut,… dst. Sang penanya merekam dialog tadi, lalu tersebarlah dari telpon gerak ke telpon gerak yang lain.

Maka Ahmad Asy Syikhkhiy mengkritik perbuatan ini dan mencerca pelakunya karena dianggap sebagai kengawuran dan sikap yang jelek, dan bahwasanya perbuatan tadi akan menghasung pemerintah di Emirat untuk menentang dakwah salafiyyah. Kalaulah kita terima cercaan Ahmad Asy Syikhkhiy tadi, masih tersisa keheranan: si penelpon tadi tidak dikenal siapa dirinya. Bias jadi dia adalah seorang hizbiy. Tapi Ahmad Asy Syikhkhiy tidak mau kecuali melemparkannya ke punggung pemuda salafiy dan menjadikan perbuatan tadi sebagian dari ketololan salafiyyin.

Keenam: dia ingin sekali untuk memisahkan diri dari para ulama Yaman dan Saudi, dan dia tidak senang menempel dengan mereka dengan alasan bahwasanya pemerintah Emirat menganggap yang demikian itu sebagai bentuk pemberontakan dan tidak loyal pada mereka. Bahkan dirinya menasihati para pemuda Emirat untuk tidak bepergian ke ulama yaman ataupun Saudi dengan alasan yang rusak yang dia katakan tadi. Jika dirinya ditanya tentang beberapa kejadian yang terkait dengan dakwah salafiyyah di Negara lain dia menasihat sang penanya untuk lebih mementingkan urusan dalam negerinya –yaitu Emirat- dan meninggalkan urusan dakwah di Negara lain karena yang demikian itu tidak penting dan tidak layak diperhatikan.

Ketujuh: larinya dia dari manhaj jarh wat ta’dil, dan diamnya dirinya dari ahlil ahwa dan takutnya dirinya untuk berseteru dan berdebat dengan mereka. Dia telah mengajukan kepada sebagian ikhwan yang bertanya kepadanya lewat telpon, agar mereka meninggalkan pertanyaan yang bersifat manhajiyah, terutama pertanyaan tentang keadaan si fulan dan si fulan.

Andaikata engkau membaca ucapan Ahmad Asy Syikhkhiy di muqoddimah kitabnya “Hiwar Hadi’ Ma’a Ikhwaniy”: “Aku tidak akan ridho dan tak akan diam terhadap orang-orang yang membikin pengkaburan terhadap pemuda muslim yang hendak kembali kepada Alloh sehingga menjadikan pemuda itu kebingungan dan tidak tahu manakah jalan yang benar, atau menjadi rusak disebabkan hizbiyyah mereka yang pahit, sampai-sampai dia berloyalitas ataupun memusuhi berdasarkan kelompok mereka.” Dan engkau membandingkan ucapannya tadi dengan keadaan dirinya pada hari ini. Aku kira andaikata bukan karena rasa malu yang masih tersisa pada dirinya pastilah dia akan rujuk dari kitabnya “Hiwar Hadi” karena bertabrakan dengan manhajnya yang baru.

Kedelapan: Ahmad Asy Syikhkhiy sekarang termasuk orang yang membolehkan ikhtilath (campur baur pria dan wanita tanpa hijab) bahkan di kementrian dirinya bekerja bersama para wanita di tempat yang sama, dan dia adalah kepala kantor mereka, hadir dalam perkumpulan-perkumpulan bersama mereka. Ketika diingkari perbuatannya tadi, dia menjawab: “Ini bukanlah percampuran jadi satu!!”

Kesembilan: Ahmad Asy Syikhkhiy menjadi termasuk orang yang membolehkan potret makhluk bernyawa. Dirinya berpotret di koran-koran dan majalah-majalah dan bahkan berpotret di masjid-masjid. Bahkan berpotret duduk berdampingan bersama para wanita, dan muncul di salah satu jaringan TV parabola yang rusak akhlaknya untuk berbicara tentang sihir. Semua itu di bawah bab maslahat yang besar!!

Kesepuluh: di salah satu jadwal pelajarannya yang harinya bersamaan dengan acara peringatan bid’ah –yaitu maulid nabi- Ahmad Asy Syikhkhiy membatalkan pelajarannya, lalu berdiri dan menyampaikan ceramah total berkenaan dengan acara maulid nabi tadi. Seusai ceramah, salah seorang ikhwah mengingkarinya karena hal tersebut pada hakikatnya termasuk berjalan bersama peringatan maulid tadi. Maka Ahmad Asy Syikhkhiy membantahnya dan berkata: “Ini bukanlah peringatan.”

Inilah ringkasan dari penjelasan penyelewengan Ahmad Asy Syikhkhiy dari rel salafiyyah dan perubahan jalannya. Aku nasihatkan kepada Ahmad Asy Syikhkhiy untuk memperhatikan kondisi orang yang mendahuluinya menempuh jalan tadi, yaitu: Hamdan Mazru’iy, kepala urusan waqof saat ini. Dulunya dia adalah salafiy yang lurus, manakala dirinya menempuh jalan seperti yang engkau tempuh sekarang ini, keadaan akhirnya seperti itu dan berubah menjadi orang yang paling keras memerangi dakwah salafiyyah dan menjadi musuh dakwah. Orang yang beruntung adalah orang yang mengambil pelajaran dari yang lain.

Ahmad Asy Syikhkhiy berkata dalam muqoddimah kitab “Hiwar Hadi Ma’a Ikhwaniy”: “Dan termasuk faktor terpenting dalam menyukseskan dakwah menurut Ikhwanul Muslimin di Yaman adalah mereka memasukkan drama dan fragmen yang mengandung sasaran tertentu, dan juga shooting video di masjid-masjid !!” Sesesai penukilan. Lihatlah bagaimana dirinya menjadikan  shooting video di masjid-masjid termasuk faktor terpenting dalam menyukseskan dakwah menurut Ikhwanul Muslimin. Dan dirinya meletakkan dua tanda seru di situ. Dan itu betul. Akan tetapi masihkah dirinya sampai hari ini berpendapat seperti itu?? Karena shooting video di masjid-masjid menjadi faktor penyukses Ahmad Asy Syikhkhiy sendiri!!

Di sini ada perkara penting yang menunjuki kita akan sebab penyelewengan Ahmad Asy Syikhkhiy dan terjerumusnya dirinya ke dalam manhaj tamyi’iy. Tahukah anda wahai pembaca, siapakah yang menyampaikan Ahmad Asy Syikhkhiy ke pada kemunduran ini? Dialah Asy Syaikh ‘Ubaid Al Jabiriy hadahulloh. Ketika Ahmad Asy Syikhkhiy ditanya: siapakah yang menasihatinya dan mengisyaratkannya untuk masuk ke kedua jabatan tadi? Dia menjawab: Asy Syaikh ‘Ubaid Al Jabiriy.

Selesai penukilan dari  risalah “Al Bayanus Salafiy Li Hali Ahmad Asy Syikhkhiy” hal 1-3.

Mayoritas Salaf menasihati untuk jangan mendekati penguasa karena besarnya fitnah di jiwa. Di antaranya adalah nasihat Al Imam Ibnul Mubarok rohimahulloh kepada Ibnu Ulayyah rohimahulloh:

يا جاعل العلم له بازيا * يصطاد أموال المساكين احتلت للدنيا ولذاتها * بحيلة تذهب بالدين فصرت مجنونا بها بعدما * كنت دواء للمجانين أين رواياتك فيما مضى * عن ابن عون وابن سيرين ودرسك العلم بآثاره * في ترك (1) أبواب السلاطين تقول: أكرهت، فماذا كذا * زل حمار العلم في الطين (2) لا تبع الدين بالدنيا كما * يفعل ضلال الرهابين

“Wahai orang yang menjadikan ilmu sebagai barang dagangan untuk menjaring harta orang-orang miskin, diambil demi dunia dan kesenangannya. Dengan tipu daya engkau menghilangkan agama, lalu engkau menjadi orang yang gila setelah dulunya engkau adalah obat bagi orang-orang gila. Di manakah riwayat-riwayatmu yang lampau dari Ibnu ‘Aun dan Ibnu Sirin. Dan manakah ilmu yang kamu pelajari dengan atsar-atsarnya yang berisi anjuran untuk meninggalkan pintu-pintu penguasa? Kamu berkata: “Aku terpaksa.” Lalu apa? Demikianlah keledai ilmu tergelincir di tanah liat yang basah. Janganlah kamu jual agama dengan dunia sebagaimana perbuatan para rahib yang sesat.” (“Siyar A’lamin Nubala”/9/110).

Dan ternyata fatwa Ubaid Al Jabiriy cocok dengan hasrat hati  Ahmad Asy Syikhkhiy meskipun harus melanggar thoriqotus Salaf tapi dengan baju salaf. Akhirnya benar-benar  Ahmad Asy Syikhkhiy celaka sebagaimana pendahulunya binasa.

 

Wallohu ta’ala a’lam.

Walhamdu lillahi robbil ‘alamin.

 

Kesimpulan Penting

 

            Setelah menyimak ucapan-ucapan batil dan metode debat yang dipakai oleh hizbiy hina Abdul Ghofur Al Malangiy, dapatlah kita ambil gambaran sebagai berikut:

 

Catatan Perbedaan antara Abdul Ghofur Al Hizbiy dengan Ahlussunah

 

No.

Ahlussunnah

Abdul Ghofur Al Hizbiy

1

Tawadhu’ mengakui kesalahan setelah datangnya penjelasan

Sombong dan angkuh tak mau mengakui kesalahan setelah datang penjelasan

2

Teliti dalam menempatkan kritikan

Sangat ceroboh dan ngawur dalam menentukan objek yang dicerca

3

Tidak berlama-lama dalam kebatilan

Suka membangkang dan berlama-lama dalam kebatilan

4

Ikut dalil dan prinsip-prinsip salafiyyah, dan tidak taqlid pada orang yang tidak ma’shum

Taqlid kepada orang yang tidak ma’shum, sekalipun bertentangan dengan dalil dan prinsip salaf

5

Ucapan para ulama yang bertentangan dengan sabda Nabi صلى الله وسلم maka ucapan mereka tertolak

Memposisikan sikap dan ucapan ulama bagaikan wahyu dari langit, sehingga mengalahkan seluruh hujjah

6

Berhujjah dengan dalil, dan sekaligus taat dan melaksanakan dalil tersebut

Berhujjah dengan dalil, tapi dia sendiri melanggar dalil itu

7

Berhujjah dengan suatu kaidah salaf, dan sekaligus taat dan melaksanakan kaidah tersebut

Berhujjah dengan suatu kaidah, tapi dia sendiri melanggar kaidah itu

8

Sangat hormat pada ulama yang kokoh di atas hujjah dan haq

Sangat kotor lidahnya terhadap ulama yang kokoh di atas hujjah dan haq

9

Kecintaan yang mendalam pada ulama yang kokoh di atas hujjah dan haq, tanpa taqlid dan ghuluw

Kebencian yang mendalam pada ulama yang kokoh di atas hujjah dan haq

10

Diberi taufiq oleh Alloh dalam mengikuti dalil sehingga kuat hujjahnya dan kokoh kakinya

Serampangan dalam berdalil, dan tergesa-gesa mengikuti setan, sehingga dalil-dalil yang dipakainya berkali-kali menghantam dirinya sendiri

11

Mengikuti jejak Salaf dengan dalil-dalilnya

Meniru kebiasaan hizbiyyun masa lalu, sekalipun dulunya dirinya sendiri memerangi hizbiyyin tersebut

12

Mengikuti akhlaq Nabi dan para Shohabat yang hormat pada hujjah, dan haus mengambil faidah-faidah ilmiyyah

Ikut tabiat babi yang melewati rizqi yang baik-baik tapi tak mau mendekatinya. Justru jika ada orang bangkit dari kotorannya (selesai buang hajat), didatanginya kotoran tadi dan dimakannya hingga habis. (rujuk “Madarijus Salikin” 1/hal. 403).

13

tidak diam terhadap kesalahan, meskipun yang berbuat adalah –misalnya- teman sendiri.

Berusaha tutup mata terhadap kesalahan orang yang satu barisan dengannya

14

Jantan dan kesatria dalam berkata dan berbuat

Menuduh Ahlussunnah tidak jantan, ternyata dirinya sendiri yang pengecut tulen dan betina murni

15

Taat pada kebenaran yang telah diketahui, sehingga Alloh memberkahi ilmunya dan selalu memberikan tambahan ilmu dan wawasan

Menuduh Ahlussunnah bagaikan katak dalam tempurung, ternyata dirinya sendiri yang sangat lemah pemahaman terhadap manhaj aimmatus salaf, maka dialah katak hijau di bawah tempurung “Dhofadi’ Habibah” di rumpun kebun apel Malang

16

Diberi taufiq dalam memilih kata-kata sehingga jarang tergelincir pada sikap tanaqudh (kata-katanya saling bertentangan)

Ceroboh dalam mengikuti setan sehingga sering mengalami tanaqudh (kata-katanya saling bertentangan)

17

Berhati-hati dalam menuduh, dan berusaha ikut bayyinah, dan suatu saat tuduhan itu terbukti benar, walaupun tertunda sementara

Mudah sekali tanpa ketaqwaan mengumbar tuduhan-tuduhan keji dan ngawur pada Ahlul Haq

18

Berbicara dengan definisi dan batasan-batasan yang benar

Tidak sanggup membedakan antara orang yang ngibul, dengan orang yang berbicara sebatas ilmunya

19

Paham kriteria yang benar antara ulama sunnah dengan kepala mubtadi’ah

Tidak sanggup membedakan antara ulama sunnah dengan kepala mubtadi’ah

20

Waktunya tercurah untuk memperdalam ilmu

Waktunya dibuang untuk memperbanyak chatting di internet

21

Berusaha menjaga kehormatan seorang sunniy

Bergampang-gampang merobek-robek kehormatan seorang sunniy, maka Alloh pun membalas dengan membongkar aib-aibnya

22

Ahlussunnah adalah pencerminan sosok insan yang berusaha meniru Rosululloh صلى الله عليه وسلم dan karakter gagah dan indah dari para salafush sholih

Abdul Ghofur termakan caciannya sendiri: keledai dengan dua kuntum mawar di telinga dengan sepatu merah jambu, dengan loncatan gaya katak dalam tempurung.

 

 

 

Si Abdul Ghofur malang tidak lebih dari hizbiy pendusta yang banyak bergelimang dengan kefasiqan, dan sesuai dengan firman Alloh ta’ala:

وَيْلٌ لِكُلِّ أَفَّاكٍ أَثِيمٍ (الجاثية/7)

“Dan kecelakaanlah untuk setiap pendusta lagi pendosa.” (QS. Al Jatsiyah: 7).

Maka orang hina dan busuk akhlaqnya macam ini tidak pantas diterima lagi kata-katanya. Alloh ta’ala berfirman:

وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ  [النور/4]

“Dan janganlah kalian menerima persaksian mereka selamanya, dan mereka itulah orang-orang yang fasiq.”

 

Wallohu ta’ala a’lam.

Dammaj, 21 Romadhon 1433 H

Mengingat Kembali

Kebusukan Abdul Ghofur Al Malangi (4)

 

Apel Manalagi Buat Cak Malangi (seri 4)

 

 

Asy Syaikh Robi’ Al Madkholiy Alim Salafiy,

Adapun Abdulloh Alu Mar’i Itu Hizbiy

  

Dikoreksi Oleh:

Abu Turob Saif bin Hadhor Al Jawiy Al Indonesiy

-semoga Alloh memaafkannya-

  

Ditulis oleh:

Abu Fairuz Abdurrohman Al Qudsy Al Jawy

Al Indonesy

-semoga Alloh memaafkannya 

 

Darul Hadits Dammaj

Yaman

-Semoga Alloh menjaganya-

 

 

 

بسم الله الرحمن الرحيم

Kata Pengantar Seri Empat

 

الحمد لله واشهد أن لا إله إلا الله وأن محمدا عبده ورسوله، اللهم صلى الله عليه وآله وسلم وسلم على محمد وآله وسلم، أما بعد:

Pada tulisan “Hampir-hampir Mereka … Jantan” Cak Dul memasukkan Abdulloh bin Umar Al Mar’i Al ‘Adniy ke dalam daftar para masyayikh dakwah yang dicaci oleh pengikut Asy Syaikh yahya Al Hajuriy. Cak Dul berkata tentang Salafiyyin Dammaj: “Tetap pada keputusan bahwa Asy Syaikh ‘Abdurrahman dan orang yang bersamanya adalah hizbi. Sehingga “halal” mencela Asy Syaikh ‘Abdurrahman, “halal” mencela Asy Syaikh ‘Abdullah Mar’i” (hal. 5)

Tujuan Cak Dul amat jelas: untuk menampilkan di hadapan umat bahwasanya Salafiyyun Dammaj benar-benar kelompok pencaci ulama Ahlussunnah.

Maka jawaban ana adalah sebagai berikut:

Jawaban pertama: Sesungguhnya tulisan-tulisan tentang kebatilan  Abdulloh bin Umar Al Mar’i telah banyak kami sebarkan di Indonesia, baik dengan bahasa Indonesia maupun dengan bahasa Arab. Maka silakan dirujuk kembali.

Jawaban kedua: Abdul Ghofur Al Malangiy memang hizbiy tulen, yang salah satu ciri-cirinya adalah: mengetahui al haq lalu tapi membenci penyebarannya, dan berusaha agar umat jangan sampai mengetahui al haq tadi, ditambah lagi dengan fanatismenya yang sangat kental, makanya dia berusaha menjadikan tulisan-tulisan tadi sekedar cercaan yang tidak tegak di atas kebenaran, sehingga tulisan tadi dan segenap penulis dan penyebarnya pantas dimusuhi dan mendapatkan gelar: PENCACI ULAMA.

Jawaban ketiga: ada kemungkinan kecil, yaitu bahwasanya  Abdul Ghofur Al Malangiy benar-benar jauh dari sifat JANTAN (pinjam kamusnya di hal. 1,4,7,10 dst.) sehingga tidak berani membaca tulisan-tulisan tadi karena takut melihat kenyataan pahit akan kebusukan Syaikh yang sangat dicintainya dan dibelanya dengan fanatik. Manakala dia sedemikian ketakutan untuk membaca tulisan-tulisan tadi, akhirnya dia benar-benar tidak tahu kejahatan Syaikhnya tadi, dan jadilah dia itu: katak dalam tempurung (pinjam kamusnya di hal. 3 dan 36).

Jawaban keempat: ana akan mengalah dan melayani Cak Dul ini dengan menjelaskan kembali kejahatan Syaikhnya tadi. Barangkali juga ada sebagian pembaca yang memang belum berkesempatan untuk membaca tulisan-tulisan yang telah kami sebar sejak pertama meletusnya fitnah Mar’iyyah. Dan ( الحمد لله) ana punya banyak literatur dan sumber-sumber berita selain “Mukhtashor Bayan”. Jelas “Mukhtashor Bayan” sudah lebih dari cukup untuk menjelaskan hizbiyyah Abdulloh Mar’i dan saudaranya beserta pengikut mereka. Akan tetapi berhubung rendahnya IQ dan EQ Cak Dul dan kru DH (Dhofadi’ Habibah)-nya, tetap saja mereka protes. Tulisan-tulisan mereka terus-menerus menyuarakan lemahnya akal mereka dalam memahami hizbiyyah. Ats Tsa’labiy -rohimahullohu- berkata:

كتاب المرء عنوان عقله، بل عيار قدره ولسان فضله

Kitab seseorang merupakan alamat dari akalnya. Bahkan dia merupakan timbangan kadar dirinya dan lisan keutamaannya.” (“Yatimatud Dahr”/1/hal. 400).

Dan ( إن شاء الله) ana dalam kesempatan ini akan menukilkan sebagian berita-berita dan tulisan-tulisan yang ana dapatkan sebelum lahirnya “Mukhtashor Bayan”.

 

Bab Satu: Dukungan Abdulloh Al Mar’i terhadap Abul Hasan Al Mishriy

 

Berikut ini aka ana nukilkan pembahasan yang bagus, yang di sela-selanya ada pelajaran yang sangat berharga bagi orang-orang yang cerdas. Putra Hadhromaut Syaikhunal fadhil Abu Hamzah Muhammad bin Husain Al ‘Amudiy –hafizhohulloh- berkata:

  إن المتأمل في موقف عبد الله مرعي في فتنة أبي الحسن يرى ما يتعجب منه ويستغرب حيث إن الرجل يزعم متبجحا وقال حالفا بالله تعالى أنه من أعرف الناس بأبي الحسن، وله مع أبي الحسن مواقف من سنة 1413 هـ بل زعم أنه يتواصل مع الشيخ ربيع بن هادي رعاه الله في أمره حتى كانت أول الجلسات الساخنة في بيت ولد الشيخ ربيع محمد الصغير بمكة في شهر ذي الحجة 1416 هـ وحضر الجلسة مجموعة من المشايخ وطلبة العلم، وكانت مناقشة في عدد من القضايا ومن أهمها إدخاله الإخوان المسلمين من أهل السنة.

وهكذا مما يزعمه هذا الرجل أن عنده خمسين خطأ على أبي الحسن كما أخبرني بذلك الأخ محمد باريدي العمودي حفظه الله. فأنت ترى أن هذه الفترة  وهي عام 1413 هـ كانت له مع أبي الحسن عدد مواقف فيها أخذ وعطاء إلا أنها كما يبدو من سياق الكلام كانت هادئة وإنما اشتدت وحميت وسخنت عام 1416 هـ  وذلك في بيت ولد الشيخ ربيع حفظه الله ورعاه وقد طرحت في ذلك المجلس عدة قضايا مهمة أخذت على أبي الحسن وكان من أهمها  إدخاله الإخوان المسلمين في أهل السنة. فكانت المعركة في ذلك المجلس حامية الوطيس. وبناء على ما تقدم أن عبد الله مرعي كان على علم بما عليه أبو الحسن من انحرافات ومخالفات وكان على العلم من ذلك من زمن قديم.

”Sesungguhnya orang-orang yang merenungkan sikap Abdulloh bin Mar’i pada masa fitnah Abul Hasan akan melihat perkara yang aneh dan mengherankan, yang mana orang ini berbangga-bangga dan bersumpah dengan nama Alloh ta’ala bahwasanya dia adalah termasuk orang yang paling tahu tentang Abul Hasan, dan bahwasanya dia pernah melakukan beberapa perdebatan dengan Abul Hasan pada tahun 1413 H. bahkan dia mengaku pernah menelpon Syaikh Robi’ bin Hadi –ro’ahulloh- dalam urusan tersebut, sampai bahkan pertemuan pertama yang panas terjadi di rumah putra Syaikh Robi’ –Muhammad Ash Shoghir- di Makkah pada bulan Dzul Hijjah 1416 H. hadir pada pertemuan itu sekelompok dari masyayikh dan penuntut ilmu. Perdebatan pada waktu itu berisi sekian banyak kasus, dan yang termasuk paling penting adalah sikap Abul Hasan yang memasukkan Ikhwanul Muslimin ke dalam Ahlussunnah.

            Demikianlah pengaku-akuan orang ini –Abdulloh Mar’i- bahwasanya dia punya catatan lima puluh kesalahan Abul Hasan, sebagaimana yang diceritakan Akhuna Muhammad Ba Roidy -hafizhohulloh- padaku –pada Syaikh Abu Hamzah Al ‘Amudy-. Maka kamu akan lihat bahwasanya selang waktu ini -tahun 1413 H- dia melakukan beberapa perdebatan dengan Abul Hasan. Akan tetapi sebagaimana yang tampak dari alur pembicaraannya, perdebatan itu cukup tenang, lalu menjadi keras dan panas pada tahun 1416 H. dan itu berlangsung di rumah putra Syaikh Robi’ –hafizhohulloh wa ro’ahu-, di dalam majelis itu dilontarkanlah berbagai kasus yang penting sebagai kritikan terhadap Abul Hasan, dan yang termasuk paling penting adalah sikap Abul Hasan yang memasukkan Ikhwanul Muslimin ke dalam Ahlussunnah. Dan pertempuran di majelis saat itu cukup panas.

Berdasarkan penjelasan di atas, tampaklah bahwasanya Abdulloh Mar’i itu tahu tentang penyimpangan-penyimpangan dan penyelisihan Abul Hasan. Dia tahu hal itu sejak dulu.

إذن فحال أبي الحسن بالنسبة لعبد الله مرعي ليس بخاف عليه ولا غريب إلا أن الغرابة والنكارة أن أبا الحسن المصري عند أن ظهرت فتنته وصارت لها جولة وصولة وفتن بسببها من فتن لم يكن لعبد الله مرعي دور يشكر عليه في هذه الفتنة. تكلم العلماء وبينوا حال أبي الحسن وحذروا من أخطائه وأصوله وقواعده الفاسده، وكان أول من صرخ بذلك شيخنا رعاه الله في اليمن وفي خارج اليمن الشيخ أحمد النجمي والشيخ ربيع بن هادي المدخلي حفظهما الله تعالى. ثم تكلم علماء اليمن في أبي الحسن، والرجل لم يحرك ساكنا ولم تكن له مناصرة ولا معاضدة لأهل السنة وخاصة في اليمن، إنما كان يتمخض ببعض ما عنده وكان ذلك وخاصة بعد ما تكلم  علماء المدينة وعلى رأسهم الشيخ عبيد هداه الله.

Jika demikian, maka keadaan Abul Hasan itu tidaklah tersembunyi dan tidak asing bagi Abdulloh Mar’i. Namun yang aneh dan mengherankan adalah: Abul Hasan pada saat fitnahnya itu muncul dan punya kekuatan dan hantaman, dan dengan sebab itu banyak orang yang terfitnah, ternyata Abdulloh Mar’i tidak punya saham yang pantas disyukuri dalam fitnah ini.

Para ulama telah berbicara yang menjelaskan keadaan Abul Hasan, dan memperingatkan umat dari kesalahan-kesalahannya, pokok-pokoknya dan kaidah-kaidahnya yang rusak. Dan yang pertama kali berseru terhadap kebatilan tadi adalah Syaikh kita (Yahya Al Hajuriy) –ro’ahulloh- di Yaman, dan yang di luar Yaman adalah Asy Syaikh Ahmad An Najmiy dan Asy Syaikh Robi’ bin Hadi Al Madkholiy –hafizhohumallohu ta’ala-([1]) kemudian berbicaralah para ulama Yaman tentang Abul Hasan, sementara orang ini (Abdulloh Mar’iy) tidak mau “menggerakkan air yang tenang” (diam saja), dan tidak sikap saling membantu dan menolong buat Ahlussunnah khususnya di Yaman. Tapi orang ini hanyalah bergumul dengan beberapa urusan pribadinya saja. Dan itulah yang terjadi, khususnya setelah para ulama Madinah -yang dipimpin oleh Asy Syaikh ‘Ubaid hadahulloh- telah berbicara. 

فأين ذلك التبجح وأين تلك المعرفة ؟!! وما بال السخونة بردت وأين تلك القضايا العديدة والأخطاء الكثيرة ما بالها حجبت وفي أمسّ الحاجة خفيت؟!! والأعجب من هذا بل والأدهى والأمرّ أن الرجل كان ملازما للسكوت فيما يظهر وكان سكوته هذا مدعاة للريبة والشك وبيان ذلك من وجوه:

Maka di manakah perkara yang dia banggakan tadi? Dan di manakah pengetahuannya tadi?!! Kenapa gaya panasnya tadi berubah jadi dingin? Dan di manakah berbagai kasus dan kesalahan (Abul Hasan) yang banyak tersebut? Kenapa sekarang ditutupi? Dan kenapa disembunyikan pada kondisi paling dibutuhkan untuk dibeberkan?!! Yang lebih mengherankan lagi, dan bahkan lebih berat dan pahit adalah bahwasanya orang ini secara lahiriyah senantiasa bersikap diam. Dan jadilah sikap diamnya itu mengundang keraguan dan kebimbangan. Penjelasannya ada beberapa sisi:

الأول: أن سكوته هذا المريب أثّر في الدعوة وخاصة في الشحر تأثيرا بليغًا فخواص عبد الله بن مرعي ما يسمى بالبطانة الذين يقومون بالخطابة والتدريس والأذان  وغير ذلك كانوا من أول المتساقطين في هذه الفتنة وصاحب المعرفة بأبي الحسن لم ينصح لهم ولم يوجههم وهو يراهم يتساقطون في فتنة أبي الحسن وهو ساكت لا يحرك ساكنا. أليس كان الواجب عليه أن ينصح لهم وأن يوجههم ويرشدهم ويحذرهم من أخطاء أبي الحسن حتى يكونوا على بينة من أمرهم حيث وأنهم من خواصه وأقرب الناس إليه وهم العمدة عنده ويركن عليهم في مسجده بل إن أشرطة  وملازم أبي الحسن كان لها روجان بين أصحاب هؤلاء وهو وإن كان يقول بعدم نشر ما يخرجه الطرفان إلا أن هذا القول لا يرفع الشك والريب منه وإنما أراد أن يرفع الملامة عن نفسه ويدفعها وكأن لسان حاله يقول: (إياك أعني واسمعي يا جارة). يؤيد ذلك ما يلي:

Yang pertama: Sikap diamnya yang meragukan ini menimbulkan pengaruh yang sangat mendalam terhadap dakwah, terutama di wilayah Syihr. Orang-orang khusus Abdulloh bin Mar’i yang dinamakan sebagai “orang kepercayaan” yang mengurusi masalah khotbah, pengajaran, adzan dan lain-lain justru menjadi orang-orang yang pertama terjatuh di dalam fitnah tersebut. Sementara si pemilik pengetahuan tentang Abul Hasan tidak memberikan nasihat pada mereka, dan tidak mengarahkan mereka dalam keadaan dia melihat mereka berjatuhan ke dalam fitnah Abul Hasan, dan dia diam saja “tidak menggerak air yang tenang”([2]). Bukankah wajib baginya untuk menasihati mereka, mengarahkan mereka dan membimbing mereka serta memperingatkan mereka dari kesalahan-kesalahan Abul Hasan agar mereka itu berada di atas kejelasan dari perkara mereka. Mereka itu adalah orang-orang khusus Abdulloh dan orang yang paling dekat dengannya. Mereka adalah tonggak bagi dirinya, dia bertopang kepada mereka di masjidnya. Bahkan kaset-kaset dan tulisan-tulisan Abul Hasan laris di kalangan sahabat mereka. Si Abdulloh ini meskipun mengatakan melarang penyebaran apa-apa yang dikeluarkan oleh kedua belah pihak([3]) akan tetapi ucapannya itu tidak bisa menghilangkan keraguan dan kebimbangan darinya. Dia cuma ingin menghilangkan dan menolak celaan terhadap dirinya. Seakan-akan kondisi dirinya berkata: “Engkaulah yang aku maksudkan, dan dengarlah wahai tetanggaku.” Yang lebih memperkuat kenyataan tadi adalah sebagai berikut:

أنه لا يعلم منه إنكار لما يفعله أصحابه الذين فتنوا بأبي الحسن بل إنه كان ينكر على الإخوة الذين عصمهم الله من فتنة أبي الحسن ويرميهم بالتهور والتسرع وينكر عليهم ويمنعهم من نشر الملازم التي تبين حال أبي الحسن ويتعلل بذلك بعلل عليلة.

قال الأخ الفاضل أبو محمد سعد الغرابي حفظه الله ورعاه: نزلت من دماج بعد حكم الشيخ محمد بن عبد الوهاب الوصابي على تخطئة أبي الحسن في النقاط التي أخذت عليه وكانت تلك الوريقات معي وعندما التقيت مع عبد الله مرعي  عرضت عليه ذلك الحكم فأجابه بأنه لا يريده وأنه منتظر لذلك الحكم أن يصله من عدن في تلك الأيام وقال: أنا ليس بحاجة إلى هذا ولا أحب أن ينتشر عندي  وفي مسجدي لأن الأوضاع عندي ستتفاقم علي بعد ذك وأبى أن يأخذه ومنع من نشره في مسجده.

Tidak diketahui darinya pengingkaran terhadap apa yang diperbuat oleh teman-temannya yang terfitnah oleh Abul Hasan. Bahkan dia itu mengingkari para ikhwah yang dilindungi oleh Alloh dari fitnah Abul Hasan, dia menuduh mereka telah berbuat serampangan dan tergesa-gesa. Abdulloh mengingkari mereka dan melarang mereka menyebarkan malzamah-malzamah yang menjelaskan keadaan Abul Hasan, sambil mengemukakan alasan yang lemah. Saudara kita yang mulia Abu Muhammad Sa’d Al Ghurobiy –hafizhohullohu wa ro’ah- berkata: “Kami turun dari Dammaj setelah Asy Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab memvonis salahnya Abul Hasan di dalam beberapa poin kritikan terhadap dirinya. Lembaran-lembaran vonis tadi ada bersamaku, dan ketika aku bertemu dengan Abdulloh Mar’i kusodorkanlah padanya lembaran vonis tadi. Maka dia menjawab bahwasanya dirinya tidak menginginkannya. Dia bilang menanti vonis tadi setelah tiba di ‘Adn pada hari-hari itu.

(Asy Syaikh Al ‘Amudiy –hafizhohulloh- berkomentar: “Apa beda antara dirinya mengambil vonis tadi dari tangan Akh Sa’d dengan datangnya vonis tadi kepadanya jika dia telah sampai di ‘Adn? Bukankah sama saja? Ini menunjukkan bahwasanya dirinya sebenarnya tidak ridho dengan kritikan terhadap Abul Hasan, yang mana dirinya tidak mau terbongkar isi hatinya, sehingga terpaksa untuk memberikan alasan yang lemah seperti ini.”)

Dia juga bilang: “Aku tidak butuh pada vonis ini, dan tidak senang vonis ini dikasihkan padaku ataupun disebar di masjidku, karena situasi di tempat akan makin ruwet setelah itu.” Dan dia tak mau mengambil vonis tadi dan melarang menyebarnya di masjidnya.

قلت: قاتلك الله من رجل سوء تخاف من تفاقم الأمور يا أصولي وأنت على علم ومعرفة بأبي الحسن وما عليه من مخالفات وانحرافات ومع ذلك ترى أقرب الناس حولك يتساقطون في هذه الفتنة فأي حكمة استفدتها من هذا السكوت وأي فقه تدعيه يا صاحب المعرفة بالمصالح والمفاسد؟ فأين إنكار المنكر؟ هل  هو متوقف على أناس دون آخرين؟ وأين النصيحة؟ وهل هي خاصة بأناس دون آخرين؟ والله إن فعلك هذا لمريب، وإن سكوتك هذا لغريب.

Kukatakan (Asy Syaikh Al ‘Amudiy): semoga Alloh memerangi kamu wahai orang yang jahat. Kamu takut perkaranya jadi ruwet wahai ushuli([4]), sementara kamu tahu tentang keadaan Abul Hasan dan penyelisihannya serta penyimpangannya. Bersamaan dengan itu kamu melihat orang-orang yang paling dekat di sekitarmu berjatuhan di dalam fitnah ini. Hikmah apa yang kamu ambil manfaatnya dari sikap diammu. Fiqih apa yang kamu aku-akui (elu-elukan) wahai pemilik ilmu maslahat dan mafsadah? Manakah pengingkaran terhadap kemungkaran? Apakah hal itu cuma berlaku untuk sebagian orang saja? Manakah nasihat? Apakah nasihat itu hanya khusus  untuk sebagian orang saja? Demi Alloh, sungguh perbuatanmu ini sangat meragukan. Sikap diammu ini sungguh aneh.

وأضف إلى ذلك أن سكوته هذا كان سببا لانحراف كثير من الإخوان من أصحاب الشحر فمسجده سقط عن بكرة أبيه ولم يسلم منه إلا النزر اليسير جدا، لا يتجاوزون  الخمسة وإن كنتُ قد بالغت في هذا. وهكذا سقط مسجد ابن باز عن بكرة أبيه، وهكذا سقطت الغالبية الساحقة في المسجد عبد الرحيم. وبقي المسجد مدة في مشاكل وخصومات ولعل مآل أمره يعود إلى الحسنيين. وكم ضاع من أناس وانحرفوا بسبب سكوت عبد الله مرعي هذا المريب حتى إن أحد العوام من محب السنة جاءه وصرخ في وجهه وأغلظ عليه القول وقال له: أنت السبب في هذا لماذ لم تتكلم وتبين!

Tambah lagi sikap diamnya itu merupakan sebab menyelewengnya banyak sekali ikhwan dari wilayah Syihr. Masjidnya jatuh terkapar, dan tiada yang selamat darinya kecuali sangat sedikit sekali. Tidak lebih dari lima masjid yang tersisa. Ini jika aku telah berlebihan dalam bilangan tadi. Demikian pula masjid “Ibnu Baz” jatuh terkapar. Demikian pula mayoritas wilayah masjid “Abdurrohim” jatuh ke tangan mereka. Tinggallah masjid tadi berada dalam keruwetan dan sengketa sekian lama, dan bisa jadi kesudahannya akan kembali ke Hasaniyyun (pengikut Abul Hasan). Berapa banyak orang-orang yang lenyap dan menyeleweng disebabkan oleh sikap diam Abdulloh Mar’i yang meragukan ini, sampai-sampai satu orang awam yang cinta sunnah mendatanginya seraya berteriak di mukanya dan berkata kasar: “Kamulah penyebab ini semua! Kenapa kamu tidak berbicara dan memberikan penjelasan?!”([5])

ومن غرائبه في فتنة أبي الحسن أن الشيخ أحمد بن سفيل سدده الله ألقى  محاضرة في مسجد عبد الله مرعي ولم يكن عبد الله موجودا آنذاك كعادته. وذكر الشيخ أحمد رعاه الله أن مع أبي الحسن ما يقارب ثمانين شخصا وهم أصحاب براءة الذمة. وبعدها كانت لعبد الله مرعي محاضرة في قصيعر وشنع فيها غاية الشناعة على الشيخ أحمد رعاه الله وكان كلامه في الشيخ أحمد سدده الله مجملا إلا أنه عرف مقصوده من كان حاضرا. هكذا أخبرني الأخ أبو محمد الغرابي رعاه الله.

Dan di antara keanehannya dalam fitnah Abul Hasan adalah: pada saat Asy Syaikh Ahmad Ba Sufail –saddadahulloh- menyampaikan ceramah di masjid Abdulloh Mar’i, dan saat itu  Abdulloh Mar’i tidak hadir sebagaimana adat kebiasaannya. Asy Syaikh Ahmad Ba Sufail –ro’ahulloh- menyebutkan bahwasanya Abul Hasan itu ditemani oleh sekitar delapan puluh orang, dan semuanya adalah anggota “Baroatudz Dzimmah”. Dan setelah itu, Abdulloh Mar’i menyampaikan ceramah di Qushoi’ar. Pada kesempatan itu dia mencaci  Asy Syaikh Ahmad –ro’ahulloh- dengan sangat keras. Memang dia hanya menyebut Asy Syaikh Ahmad –saddadahulloh- dengan global, akan tetapi orang-orang yang hadir tahu maksudnya. Demikianlah Akh Abu Muhammad Al Ghurobiy –ro’ahulloh- menceritakannya padaku.

ومن عجائبه في فتنة أبي الحسن عند أن خرج إلى سيئون -وأهل العلم في اليمن منعوا أبا الحسن من التنقلات إلا أن الرجل مارد عنيد – جاءه أصحابه وخواصه المفتونون وطلبوا منه أن يخرج فاعتذر واستأذنوه بأخذ باص الدعوة فأذن لهم (؟!!!) كما أخبرني بذلك الأخ محمد باريدي العمودي حفظه الله.

Dan di antara keanehannya dalam fitnah Abul Hasan adalah: ketika  Abul Hasan keluar ke Seiun (padahal para ulama Yaman telah melarang Abul Hasan untuk pergi kesana-kemari, tapi memang orang itu keras kepala) datanglah kepada Abdulloh Mar’i teman-temannya dan orang-orang khususnya yang terfitnah oleh Abul Hasan. Mereka meminta padanya untuk ikut keluar juga. Maka dia mengemukakan udzur. Lalu mereka minta idzin untuk mengambil bis dakwah, maka diidzinkannya mereka untuk mengambilnya, sebagaimana Akh Muhammad Ba Roidiy Al ‘Amudiy –hafizhohulloh- mengabariku.

ومن غرائبه ما أخبرني الأخ الفاضل أبو مصعب أنيس الحضرمي صاحب الحامي رعاه الله، قال: أتيته ومعي مجموعة من الإخوان نحو من أربعة عشر شخصا وطلب منه أن يجمع من حوله من أصحابه وخواصه ويبين لهم حال أبي الحسن وكان ذلك بعد كلام شيخنا، والشيخ النجمي رعاهما الله. وقال له: أنا والإخوان كلنا على قلب رجل واحد وعلى بينة من أمرنا من هذا الرجل –أعني أبا الحسن-. فلم يبال فيه عبد الله ولم يسمع من نصحه ولم يستجب له فيما أخبره به من نصح إخوانه الذين حوله،

Dan di antara keanehannya juga Akh fadhil Abu Mush’ab Al Hadhromiy –ro’ahulloh- yang tinggal di Hami berkata: aku mendatangi Abdulloh Mar’i bersama sekitar empat belas ikhwan. Abdulloh Mar’i dituntut untuk mengumpulkan teman-teman dan orang-orang khususnya lalu menjelaskan kepada mereka keadaan Abul Hasan. Dan kejadian itu berlangsung setelah Syaikhuna Yahya dan Asy Syaikh An Najmiy –ro’ahumalloh- berbicara. Abu Mush’ab berkata padanya: “Saya dan para ikhwan semuanya telah satu hati dan di atas bayyinah tentang orang ini –yaitu: Abul Hasan-“. Tapi Abdulloh Mar’i tidak mempedulikannya dan tidak mau mendengarkan orang yang menasihatinya, ataupun menerima kabar darinya untuk menasihati orang-orang yang ada di sekelilingnya.

وبعد انجلاء الفتنة كان عبد الله وسالم بامحرز يشنعان على أصحاب الحامي ويرمونهم بالتسرع ومسابقة العلماء وغير ذلك من الظلم والزور والبهتان. قلت –أي: شيخنا العمودي حفظه الله- : لماذا هذا الظلم يا عُبيد ويا سُليم، والإخوان عرفوا حال أبي الحسن ببيان أهل العلم. حسبهم أن الله نجاهم وعصمهم من هذا الفتنة وأركستم فيها أنتما ومن معكما.

Dan setelah fitnah itu sirna, justru Abdulloh dan Salim Ba Muhriz mencaci orang-orang Hami tadi –Abu Mush’ab dan teman-temannya, dan juga Sa’d dan ‘Aqil-, menuduh mereka telah tergesa-gesa dan mendahului ulama, dan berbagai tuduhan kezholiman, kepalsuan dan kedustaan yang lain. Aku (Asy Syaikh Muhammad Al ‘Amudiy) katakan: kenapa kalian berbuat zholim seperti ini wahai Abdulloh kecil, wahai Salim kecil, padahal para ikhwan tadi tahu keadaan Abul Hasan berdasarkan penjelasan ulama. Cukuplah bagi mereka bahwasanya Alloh menyelamatkan mereka dan menjaga mereka dari fitnah ini, dan kalian –kalian berdua dan orang-orang yang bersama kalian berdua- justru terbalik.

ومن عجائبه في هذه الفتنة وهو: أن أحد أصحابه ممن لقح بفتنة أبي الحسن وهو نبيل القعيطي نزع بيده بيان العلماء في هجر أبي الحسن. ونبيل هذا أحد المقربين لعبد الله مرعي وكل واحد يثني على الآخر وكان عبد الله  يشيد به ويثق به ويقول: نحن نأمنه على الدعوة ونمكنه من الكلام في مساجدنا. فهو محل ثقة عند عبد الله مرعي. وقد كان نبيل هذا من كبار المتعصبين لعبد الله الأهدل.

وهكذا نزع أحد الحسنيين فتوى للشيخ ربيع رعاه الله بهجر أبي الحسن، ومع ذلك عند أن أخبروا عبد الله مرعي بما فعله صاحبه ومن يثق به لم يتمعر وجهه، بل أنكر على الإخوان –الذين علقوا هذه الأوراق- بشدة.

Dan di antara keanehannya juga dalam fitnah ini adalah: salah seorang sahabat Abdulloh mar’i yang wajahnya terbakar api fitnah Abul Hasan yang bernama Nabil Al Qu’aithiy, mencabut lembaran bayan para ulama yang berisi pemboikotan terhadap Abul Hasan. Si Nabil ini merupakan salah satu orang dekat Abdulloh Mar’i, satu sama lain saling menyanjung. Si Abdulloh memperkenalkan Si Nabil dan mempercayainya, dan berkata: “Kita mempercayainya untuk dakwah, dan mempersilakannya untuk berbicara di masjid-masjid kita.” Orang ini terpercaya di sisi Abdulloh Mar’i. Dulunya si Nabil ini adalah salah satu tokoh besar pembela Abdulloh Al Ahdal (fitnahnya sebelum fitnah Abul Hasan Al Mishriy). Demikian pula salah seorang pengikut Abul Hasan mencabut lembaran Asy Syaikh Robi’ –ro’ahulloh- yang berisi fatwa pemboikotan terhadap Abul Hasan Al Mishriy. Tapi ketika orang-orang mengabari Abdulloh Mar’i tentang perbuatan orang kepercayaannya dan yang lainnya dia tidak memerah wajahnya, tapi dia justru dengan keras mengingkari ikhwan yang menempelkan lembaran-lembaran tadi.

الوجه الثاني: أن عبد الله مرعي عند أن بدأ يتكلم في أبي الحسن -وكان كلامه مؤخرا جدا كما سبق ولم يكن بذاك البيان والوضوح – أنكر عليه المتعصبون الذين سقطوا في فتنة أبي الحسن حتى إنهم كما يقال مسحوا به البلاط وكانوا يتصلون به هاتفيا فمن قائل له: (كذاب)، ومن قائل له: (كلب) ومن قائل له: (سارق). فكان لا يستطيع أن يمر في بعض الشوارع من كثرة استنكار الناس له كما أخبرني بذلك الأخ الفاضل أبو محمد  باريدي العمودي رعاه الله. إذن القوم كانوا على ثقة من أن عبد الله في صفهم بدليل إتاحة الفرصة لهم وعدم الإنكار عليهم. ويؤكد ذلك شدة هذا الإنكار إذ إنه لا يكون إلا لأمر عظيم وعلاقة وطيدة كانت بينهم وإلا ما الفائدة من هذا الإنكار ومن هذا الذم الشديد؟

Sisi kedua: bahwasanya Abdulloh Mar’i terlambat sekali dalam memulai untuk  berbicara tentang Abul Hasan Al Mishriy. Ketika dia mulai berbicara tentang orang itu –dengan penjelasan yang tidak begitu terang-, mulailah para fanatis yang berjatuhan di fitnah Abul Hasan Al Mishriy mengingkarinya sampai-sampai mereka berkata: “Seret dia di lantai.” Mereka menelponnya, ada yang bilang: “pendusta”, ada yang bilang: “Anjing”, ada yang bilang: “Pencuri”. Dulu dia tak bisa melewati sebagian jalan-jalan dikarenakan banyaknya pengingkaran orang-orang, sebagaimana berita dari Akhunal fadhil Abu Muhammad Ba Roidiy Al ‘Amudiy –ro’ahulloh-. Berarti para pengikut Abul Hasan itu dulunya percaya bahwasanya Abdulloh Mar’i  itu ada di barisan mereka, dengan dalil dia itu memberi mereka kesempatan dan tidak mengingkari mereka. Dan yang lebih menguatkan lagi adalah kerasnya pengingkaran mereka terhadapnya, dan hal itu tidaklah terjadi kecuali karena ada perkara yang besar sekali, dan hubungan yang erat di antara mereka. Jika tidak demikian, maka apa faidah dari pengingkaran mereka tadi dan cercaan mereka yang keras tadi padanya?

الوجه الثالث: وهو أدهى من ذلك والأمرّ. كتب إليّ الأخ الفاضل أبو عبيدة محمد السومحي حفظه الله ورعاه ما نصه:

بسم الله الرحمن الرحيم الحمد لله وحده والصلاة والسلام على من لا نبي بعده محمد صلى الله عليه وآله وسلم  أما بعد: فإنه لما كانت فتنة أبي الحسن وكانت بيني وبين الشيخ ربيع حفظه الله مراسلات حول الموضوع جاءنا فاكس من الشيخ ربيع بالتحذير من أبي الحسن وعدم حضور دروسه ومحاضراته فقمنا بتوزيع ذلك الفاكس فتكالب علينا أصحاب أبي الحسن ومن كان مغرورا به  في تلك الفتنة وحذروا منا ومن مجالساتنا، فقمنا بزيارة إلى الشحر إلى عبد الله مرعي من أجل نصح الإخوة على الثبات على ما هم عليه فوصلنا عنده الساعة السابعة والنصف صباحا وأنا ومن معي وهم: فهد بن شطاب، وعادل بلقيه، وحسن باصالح وماجد بارشيد وغيرهم من الشباب ممن كان معنا. فأخبره أصحابه أن الأخ  محمد السومحي ومجموعة من الشباب يريدون زيارتك ففتحوا لنا المجلس فخرج إلينا عبد الله مرعي فتكلمنا حول الفتنة وأخبرته بفاكس الشيخ ربيع فقال: (هذه الفتنة يريدون إسقاط أبي الحسن وأبو الحسن جبل). فقلت له: إذا أراد الله له السقوط قدر ذلك فيسقط هو أو غيره. ثم تكلمنا حول ما عند أبي الحسن من الأخطاء، وأخبرنا عبد الله بن مرعي أنه في الليلة الماضية كان عنده ميثاق العدني صاحب أبي الحسن. ثم خرجنا من عنده وكلمتُ الإخوة أن كلامه نحتمل له المخارج. هذا ما جرى في المجلس.

Sisi ketiga: dan ini lebih berat dan pahit. Akh yang utama Abu ‘Ubaidah Muhammad As Sumahiy –hafizhohullohu wa ro’ah- menuliskan surat padaku sebagai berikut:

بسم الله الرحمن الرحيم الحمد لله وحده والصلاة والسلام على من لا نبي بعده محمد صلى الله عليه وآله وسلم  أما بعد:

Ketika terjadi fitnah Abul Hasan Al Mishriy aku punya hubungan surat-menyurat dengan Asy Syaikh Robi’ –hafizhohulloh- di seputar kasus tersebut. Lalu datanglah faks dari  Asy Syaikh Robi’ yang berisi tahdzir terhadap Abul Hasan dan agar jangan menghadiri durus dan ceramahnya. Maka kamipun menyebarkan faks tersebut. Ternyata para pengikut Abul Hasan dan orang yang tertipu dengannya dalam fitnah tadi kemudian menyerang kami, mentahdzir orang dari kami dan melarang orang duduk-duduk dengan kami. Lalu kami pergi ke Syihr mengunjungi Abdulloh Mar’i agar dia mau menasihati para ikhwah untuk tegar di atas kebenaran yang telah mereka ketahui. Kami sampai ke tempatnya jam setengah delapan pagi. Aku disertai Fahd bin Syithob, ‘Adil Ba Laqih([6]), Hasan Ba Sholih, Majid Ba Rosyid dan para pemuda yang lain. Teman-teman Abdulloh Mar’i  mengabari bahwasanya Akh Muhammad As Sumahiy dan sekelompok pemuda ingin mengunjungi Anda. Lalu mereka membuka majelis. Kemudia Abdulloh Mar’i keluar menemui kami. Mulailah kami berbicara seputar fitnah ini, dan kukabari dirinya tentang faks dari Asy Syaikh Robi’. Maka Abdulloh Mar’i  berkata: “Dalam fitnah ini mereka ingin menjatuhkan Abul Hasan, padahal Abul Hasan itu gunung.”([7]) Maka aku menjawab: Jika Alloh menghendakinya jatuh, Alloh akan menakdirkannya, maka dia ataupun yang lain akan jatuh. Lalu kami berbicara seputar kesalahan-kesalahan Abul Hasan. Abdulloh Mar’i  mengabari kami bahwasanya pada malam sebelumnya Mitsaq Al ‘Adniy ada si sampingnya.

Kemudian kamipun keluar, dan kukatakan pada para teman bahwasanya ucapan Abdulloh Mar’i ini kita carikan kemungkinan-kemungkinan baiknya. Inilah yang berlangsung di majelis tadi.

قلت: فهذه أمور لا تحتاج إلى تدليل إذ أنها واضحة الدلالة أن الرجل حسني الطريقة كامن بين صفوف أهل السنة وقد قام بخدمة عظيمة لأبي الحسن المصري، وجعل أكثر الشحر لقمة مستساغة له، إنما كان يتعلل بالسكوت لينظر الغلبة لمن تكون. فإذا كانت لأهل السنة تستر بالسكوت وإذا كانت لابي الحسن كشر أنيابه وأبرز مخالبه.

Aku (Asy Syaikh Muhammad Al ‘Amudiy –hafizhohulloh-) berkomentar: perkara ini tidak membutuhkan penjabaran karena penunjukannya telah jelas, bahwasanya orang itu (Abdulloh Mar’i ) thoriqohnya adalah Hasaniy, tapi dia tersembunyi di tengah-tengah barisan Ahlussunnah. Dia telah memberikan pelayanan yang besar buat Abul Hasan Al Mishriy, menjadikan Syihr sebagai hidangan siap santap buatnya. Hanya saja dia itu bergaya diam untuk melihat siapakah yang akan menang dalam fitnah ini. Jika kemenangan itu diraih Ahlussunnah, maka dia telah berlindung dengan sikap diamnya. Tapi jika kemenangan di tangan Abul Hasan Al Mishriy maka diapun akan menyeringaikan taring dan menampakkan cakar-cakarnya.

وإن تعجب فعجب إنكاره على الإخوة أصحاب الحامي والتشنيع عليهم والتشهير بهم ورميهم بالأباطيل والمناكير. ما هو الدافع لهذا الإنكار وهذا التشنيع؟ ما كان حسبه أن يشكر لهم ويمدحهم ويثني عليهم إذ أن الله تعالى سلّمهم من هذه الفتنة؟ أما كان هذا واجبا عليه تجاههم لكن السرّ في هذا والله أعلم انه أغاظه ثباتهم وعدم انخراطهم في الفتنة كما انخرط أكثر أصحاب الشحر وعلى رأسهم أصحابه وخواصه. وإلا فماذا تفسر أخي الكريم هذا الإنكار الشديد؟

Jika engkau keheranan, maka yang lebih mengherankan lagi adalah pengingkaran si Abdulloh terhadap para ikhwah dari Hami, cercaannya pada mereka, dan pembeberannya nama-nama mereka di depan umum, dan tuduhannya terhadap mereka dengan kebatilan dan kemungkaran. Apa pendorongnya untuk membikin pengingkaran dan cercaan pada mereka? Bukankah cukup baginya untuk bersyukur pada mereka, memuji dan menyanjung mereka karena diselamatkan Alloh dari fitnah ini? Bukankah ini yang wajib bagi dirinya kepada mereka? Akan tetapi rahasianya adalah –wallohu a’lam- si Abdulloh ini marah dengan kekokohan mereka dan tidak terperosoknya mereka ke dalam fitnah ini sebagaimana terperosoknya mayoritas orang-orang Syihr, terutama para sahabat dan kepercayaan si Abdulloh. Jika tidak demikian, apa penafsiranmu –wahai saudaraku yang mulia- terhadap pengingkaran keras si Abdulloh ini? (selesai dari kitab “Zajrul ‘Awi”/3/hal. 28-34/ Asy Syaikh Muhammad Al ‘Amudiy –hafizhohulloh-).

            Kukatakan –waffaqoniyallohu-: dengan penjelasan ini jelaslah bahwasanya Abdulloh Mar’i  itu dulunya adalah Hasaniy yang menyamar, kemudian dirinya di akhir-akhir perseteruan fitnah ketika Abul Hasan Al Mishriy hampir tumbang mulailah dirinya menampakkan kritikan pada Abul Hasan. Syaikhuna Yahya Al Hajuriy –hafizhohulloh- berkata:

كان أخونا عبد الله بن مرعي مع أبي الحسن ثم تراجع

“Dulu saudara kita Abdulloh Mar’i itu bersama Abul Hasan, lalu dia rujuk kembali.” (kurang lebih demikian ucapan beliau).

Ternyata seiring dengan pergantian siang dan malam Alloh ta’ala menampakkan kekeruhan yang tersembunyi di dalam hatinya. Tampaklah pemikiran Hasaniyyah-hizbiyyah yang tetap ada di dalam hatinya. Maka tepat sekali ucapan  Asy Syaikh Muhammad Al ‘Amudiy –hafizhohulloh-: “Hanya saja dia itu bergaya diam untuk melihat siapakah yang akan menang dalam fitnah ini. Jika kemenangan itu diraih Ahlussunnah, maka dia telah berlindung dengan sikap diamnya. Tapi jika kemenangan di tangan Abul Hasan Al Mishriy maka diapun akan menyeringaikan taring dan menampakkan cakar-cakarnya.”

Dari penuturan di atas kita bisa mengambil beberapa poin kebatilan Abdulloh Mar’i  dalam kasus Abul Hasan Al Mishriy sebagai berikut:

1- Abdulloh Mar’i  tidak menerangkan pada umat kebatilan Abul Hasan pada saat umat sangat membutuhkan penjelasannya. Tapi sekian tahun setelah fitnah selesai dan terdengar kabar bahwasanya dirinya itu dulunya adalah Hasaniy buru-buru dia mengaku-aku telah tahu kebatilan Abul Hasan Al Mishriy dan telah berbicara sebelum yang lain-lain bicara. Abdulloh Mar’i telah berkhianat dan menipu umat. Asy Syaikh Robi’ bin Hadi Al Madkholiy –hafizhohulloh- berkata:

فإن سكت عمن يستحق الجرح والتحذير منه فإنه يكون خائناً، غاشاً لدين الله وللمسلمين .(“المحجة البيضاء”/ ص28-29).

“Karena jika seseorang itu diam dari orang yang berhak untuk di-jarh dan ditahdzir, maka sungguh dia itu adalah pengkhianat dan penipu terhadap agama Alloh dan Muslimin.” (“Al Mahajjatul baidho’”/hal. 28-29)

Penipuan dan pengkhianatan merupakan salah satu ciri hizbiyyah, di antaranya: Ikhwanul Muslimin. Asy Syaikh Abu Ibrohim bin Sulthon Al ‘Adnaniy –hafizhohulloh- berkata pada Al Ikhwanul Muslimin yang menyembunyikan kebatilan jama’ah-jama’ah:

وإن كنتم تعلمون ذلك فتلك خيانة عظيمة وغش كبير، لا يجوز لكم كتمه عن شباب الأمة خاصة، وعن الناس عامة.

“Jika kalian mengetahui hal itu merupakan pengkhianatan besar dan penipuan besar. Tidak boleh bagi kalian menyembunyikannya dari para pemuda umat ini pada khususnya, dan dari manusia pada umumnya.” (“Al Quthbiyyah Hiyal Fitnah”/hal. 56).

Asy Syaikh Robi’ -hafizhahulloh- berkata tentang Quthbiyyiin dan Ikhwaniyyin:

دعوتهم قائمة على الغش والتلبيس على أحداث الأسنان سفهاء الأحلام …إلخ

 “Dakwah mereka berdiri di atas penipuan dan talbis terhadap anak baru yang masih bodoh.” (“Syarh Ushulis Sunnah Imam Ahmad” /hal. )

Asy Syaikh Ahmad An Najmi rohimahulloh berkata:

إن الدعوة الحزبية كلها مبنية على التكتم، والخيانة، والغدر، والمكر، والتلبيس

“Seluruh dakwah hizbiyyah dibangun di atas takattum (menyembunyikan suatu rahasia), pengkhianatan, makar, kecurangan, dan talbis.” (“Ar Roddul Muhabbir” hal. 124).

2- Abdulloh Mar’i melarang penyebaran fatwa ulama yang berisi tahdzir terhadap Abul Hasan Al Mishriy. Demikian pula para hizbiyyun berusaha agar al haq yang menyelisihi hawa nafsunya tidak tersebar. Asy Syaikh Ahmad An Najmiy –rohimahulloh- berkata tentang Ikhwanul Muslimin:

محاولة إسكات كل من تكلم في حزبيتهم ويبين ما فيها من مثالب وسلبيات واتخاذه عدوا لهم. (“الرد الشرعي” /ص254).

”Upaya mereka untuk membungkam setiap orang yang berbicara tentang hizbiyyah mereka dan menerangkan kejelekan dan kekurangan mereka, dan menjadikannya sebagai musuh bagi mereka.” (“Ar Roddusy Syar’i”/hal. 254).

Beliau rohimahulloh juga berkata pada Syaikh Ibnu Jibrin rohimahulloh yang melarang beliau mencetak kitab bantahan terhadap hizbiyyin:

سمعت أن بعض الحزبيين يشترون الكتب التي تقدح في حزبهم بكميات كبيرة ثم يحرقونها. فما الفرق بين من يحرق الكتاب بعد أن يطبع وبين من يقول: لا تطبع.

“Aku mendengar bahwasanya sebagian hizbiyyin membeli sejumlah besar dari kitab-kitab yang menyebutkan kejelekan mereka, lalu mereka membakarnya. Maka apa beda antara orang yang membakar kitab setelah dicetak dengan orang yang berkata,”Jangan dicetak!”” (“Roddul Jawab” hal. 62-63)

3- Abdulloh Mar’i  melakukan beberapa penyamaran (tasattur). Demikianlah hizbiyyun.

Imam Al Wadi’y rohimahulloh berkata:

إن الشخص يتستر ولا يظهر حزبيته إلا بعد أن تقوى عضلاته ويرى أن الكلام لا يؤثر فيه،

 ”Sesungguhnya seseorang itu bersembunyi dan tidak menampakkan kehizbiyyahannya kecuali setelah menguat otot-ototnya dan menyangka bahwanya ucapan manusia sudah tidak lagi berpengaruh terhadap dirinya.” (“Ghorotul Asyrithoh” 2 hal. 14).

4- Abdulloh Mar’i merasa sakit dan sedih jika para hizbiyyin tadi diserang Ahlussunnah, maka diapun bangkit membela mereka.

Syaikh Robi’ -hafidhahulloh- berkomentar terhadap seorang hizbiy:

فصاحب “المعيار” وحزبه يقتلون المنهج السلفي بتمييعه والتهوين من شأنه والتشويه لحملته والدفاع عن أهل البدع والثأر لهم

“Maka penulis kitab “Al Mi’yar” dan hizbnya berusaha untuk membunuh manhaj salafy dengan cara melumerkannya, dan meremehkan nilainya, dan mencoreng para pembawanya, dan dengan pembelaan mereka terhadap ahlil bida’, dan membalas dendam untuk mereka.” (“Bayan Fasadil Mi’yar” hal. 82).

Al Imam Al Wadi’iy –rohimahulloh- berkata tentang majalah “Al Furqon” milik Sururiyyun:

وقال الإمام الوادعي رحمه الله: وعندنا مجلة (الفرقة) التي تسمى (الفرقان)، تتباكى لأنني تكلمت في عبدالرحيم الطحان، ولماذا أتكلم في راشد الغنوشي، وفي عبدالرحمن عبدالخالق، وفي حسن الترابي. وإنني أحمد الله إذ وفّق أهل السنة بالبعد عن الحزبيات والحزبيين، (“تحفة المجيب” /ص 155).

“Dia menangis karena aku berbicara tentang Abdurrohim Ath Thohhan, dan kenapa aku berbicara tentang Rosyid Al Ghonusiy, tentang Abdurrohman Abdul Kholiq, tantang Hasan At Turobiy. Dan sungguh aku memuji Alloh karena Dia memberikan taufiq pada Ahlussunnah untuk menjauhi hizbiyyah dan para hizbiyyin.” (“Tuhfatul Mujib”/hal. 155).

5- Abdulloh Mar’i mencaci dan mencerca Ahlussunnah yang mengkritik hizbiyyin dengan benar. Demikianlah seorang hizbiy. Asy Syaikh Sholih As Suhaimi -hafizhahulloh- berkata:

وشنوا حملة شعواء على مَن بيَّن أخطاء تلك الجماعات أو ينتقدها أو يرد عليها أو يدعوها لتطهير مناهجها من المخالفات التي لا تتفق مع منهج أهل السنة والجماعة

“Dan mereka melancarkan serangan gencar kepada orang yang menerangkan kesalahan-kesalahan jama’ah-jama’ah itu, atau yang mengkritiknya, atau yang membantahnya, atau yang menyerunya untuk membersihkan manhajnya dari penyelisihan-penyelisihan yang tidak cocok dengan manhaj Ahlussunnah Wal Jama’ah.” (lihat “An Nashrul ‘Aziz” /Syaikh Robi’ -hafizhahulloh-/hal. 48)

6- Abdulloh Mar’i tak menerima nasihat yang sesuai dengan dalil syariat.

Demikianlah hizbiyyun. Al Imam Ibnu Baththoh rohimahulloh berkata:

إعجاب صاحب الرأي برأيه للانفصال والتفريق مع عدم قبول الحق هذا سبب تولد الأحزاب

“Kekaguman pengagung ro’yu dengan ro’yunya untuk memisahkan diri dan memecah-belah tanpa mau menerima kebenaran, inilah sebab lahirnya kelompok-kelompok (hizb-hizb).” (“Al Ibanatul Kubro”/ 1/hal. 26-27)

Asy Syaikh Robi’ Al Madkholiy –hafizhohulloh- berkata:

والآن المبتدع يا إخوان سواء ثوري أو أي شكل ما يرجع إلى الحق، تقيم عشرات الأدلة في القضية ويأتي بأقوال العلماء وما يرجعوا إلى الحق. هذا شأن أهل الأهواء (“شرح الأصول للإمام أحمد” /ص87-88).

“Dan sekarang para mubtadi’ itu wahai saudara, sama saja dia itu pemberontak ataupun dari jenis manapun, dia tak mau kembali kepada kebenaran. Engkau tegakkan padanya belasan dalil tentang suatu kasus, dia membawakan ucapan ulama dan tidak mau kembali pada kebenaran. Ini adalah sifat pengekor hawa nafsu.” (“Syarhu Ushulis Sunnah”/hal. 87-88).

7- Abdulloh Mar’i  diam terhadap kemungkaran hizbiyyin.

Ibnu ‘Aqil -rahimahulloh- berkata:

فَأَيْنَ رَائِحَةُ الْإِيمَانِ مِنْكَ وَأَنْتَ لَا يَتَغَيَّرُ وَجْهُكَ فَضْلًا عَنْ أَنْ تَتَكَلَّمَ، وَمُخَالَفَةُ الله سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَاقِعَةٌ مِنْ كُلِّ مُعَاشِرٍ وَمُجَاوِرٍ فَلَا تَزَالُ مَعَاصِي الله عَزَّ وَجَلَّ وَالْكُفْرُ يَزِيدُ، وَحَرِيمُ الشَّرْعِ يُنْتَهَكُ، فَلَا إنْكَارَ وَلَا مُنْكِرَ، وَلَا مُفَارَقَةَ لِمُرْتَكِبِ ذَلِكَ وَلَا هِجْرَانَ لَهُ. وَهَذَا غَايَةُ بَرَدِ الْقَلْبِ وَسُكُونِ النَّفْسِ وَمَا كَانَ ذَلِكَ فِي قَلْبٍ قَطُّ فِيهِ شَيْءٌ مِنْ إيمَانٍ؛ لِأَنَّ الْغِيرَةَ أَقَلُّ شَوَاهِدِ الْمَحَبَّةِ وَالِاعْتِقَادِ.

“Maka manakah aroma iman darimu sementara engkau tidak berubah wajahmu –lebih-lebih lagi untuk mau berbicara- dalam keadaan penyelisihan terhadap Alloh subhanahu wa ta’ala dilakukan oleh keluarga dan tetangga. Terus-menerus kedurhakaan pada Alloh azza wa jalla dan kekufuran bertambah, garis batas syariat dilanggar, tapi tiada pengingkaran dan tidak ada orang yang mengingkari, dan tiada pula perpisahan diri dari orang yang melanggar syariat. Dan ini adalah puncak dari kebekuan hati dan diamnya jiwa. Dan tiada lagi tersisa iman dari dalam hati, karena kecemburuan adalah alamat cinta dan keyakinan yang paling kecil.” (“Al Adabusy Syar’iyyah” 1/hal. 178)

Demikianlah hizbiyyun. Asy Syaikh Sholih As Suhaimiy –hafizhohulloh- berkata:

هذه الجماعات الحزبية ترى أن الأمر بالمعروف والنهـي عن المنكـر يفرق صفوف  الأمة ويمزق كيانها.

“Jama’ah-jama’ah hizbiyyah ini memandang bahwasanya amar ma’ruf dan nahi mungkar akan memecah belah barisan umat, dan merobek tatanannya.” (“Manhajus Salaf fil ‘Aqidah”/hal. 54-55).

8- Abdulloh Mar’i melakukan takhdzil (tak mau membantu pada saat dibutuhkan) terhadap Ahlussunnah. Demikianlah gaya munafiq dan hizbiy.

Al Imam Ibnul Qoyyim –rohimahulloh- berkata:

وكفى بالعبد عمى وخذلانا أن يرى عساكر الإيمان وجنود السنة والقرآن وقد لبسوا للحرب لأمته، وأعدوا له عدته، وأخذوا مصافهم ووقفوا مواقفهم، وقد حمي الوطيس ودارت رحى الحرب واشتد القتال وتنادت الأقران النزال النزال، وهو في الملجأ والمغارات، والمدخل مع الخوالف كمين وإذا ساعد القدر وعزم على الخروج قعد فوق التل مع الناظرين، ينظر لمن الدائرة ليكون إليهم من المتحيزين، ثم يأتيهم وهو يقسم بالله جهد أيمانه أني معكم وكنت أتمنى أن تكونوا أنتم الغالبين، اهـ المراد.

“Cukuplah bagi seorang hamba kebutaan dan ketertinggalan manakala dia melihat para tentara iman dan pasukan sunnah dan Qur’an telah memakai pakaian perang mereka, mempersiapkan perbekalan mereka, menempati barisan mereka, dan berdiri di posisi-posisi mereka, tungku pertempuran telah memanas, roda penggilingan telah berputar, peperangan semakin dahsyat, para sejawat saling berteriak: “Ayo turun, ayo turun!” tapi orang ini masih saja ada di tempat persembunyian, di lobang-lobang, dan bersembunyi di tempat masuk bersama para perempuan yang tertinggal. Jika takdir membantunya dan dia bertekad untuk keluar, duduklah dia di atas ketinggian bersama para penonton, sambil melihat siapakah yang menang, agar dia bisa bergabung dengan mereka. Lalu diapun mendatangi mereka sambil bersumpah dengan nama Alloh dengan sumpah yang paling berat dan berkata: Sungguh aku ini bersama kalian, dan aku berangan-angan bahwasanya kalian itulah yang menang.” (“Al Qoshidatun Nuniyyah”/Ibnul Qoyyim/1/hal. 8/syaroh Asy Syaikh Muhammad Kholil Harros).

Asy Syaikh Robi’ -hafizhahulloh- membantah Abdurrohman Abdul Kholiq dan berkata:

لم يتخذوا منهجاً؛ وإنما وجدوا منهجاً واضحاً لسادة الأمة في قمع البدع وأهلها فساروا عليه وشذ عنه عبدالرحمن ثم حارب من يسير عليه أشد أنواع الحرب التخذيلية

“Ahlussunnah tidak mengambil suatu manhaj tersendiri, hanya saja mereka mendapati suatu manhaj yang terang dari para pemimpin umat ini di dalam menghantam kebid’ahan dan ahlul bida’, maka mereka berjalan di atas manhaj tadi. Dan ternyata Abdurrohman menyendiri dari mereka, lalu memerangi orang-orang yang menempuh manhaj tadi dengan jenis perang takhdziliyyah (tak mau menolong) yang paling keras.” (“Jama’ah Wahidah” hal. 10)

9- Abdulloh Mar’i  memuji hizbiyyin. Demikianlah salah satu ciri hizbiyyin.

Samahatusy Syaikh Ibnu Baaz rohimahulloh telah ditanya di dalam syaroh beliau terhadap kitab “Fadhlul Islam” yang teksnya sebagai berikut: “Orang yang memuji ahlul bida’ dan menyanjung mereka, apakah orang itu mengambil hukum mereka juga? Maka beliau rohimahulloh menjawab:

نعم ما فيه شكٌّ، من أثنى عليهم ومـدحهم هو داعٍ لهم، يدعو لهم، هذا من دعاتهم، نسأل الله العافيـة

“Iya. Tidak ada di dalamnya keraguan. Orang yang memuji ahlul bida’ dan menyanjung mereka, dia itu adalah penyeru manusia kepada mereka. Dia itu menyeru manusia kepada mereka. Orang ini termasuk dari du’at mereka. Kita mohon pada Alloh keselamatan.” (“Ijma’ul Ulama ‘alal Hajri wat Tahdzir Min Ahlil Ahwa” karya Kholid Azh Zhofairi hal. 137)

Asy Syaikh Ahmad bin Yahya An Najmi –rohimahulloh- berkata pada Ibrohim bin Hasan yang banyak membela hizbiyyin tapi marah saat digelari “hizbiy”:

إن ثناءك عليهم وإعذارك لهم، وإنكارك على من يبين ما عندهم من المخالفات للشرعية الإسلامية عامة، والمنهج السلفي خاصة وذمك له من أعظم الدلائل على أنك حزبي كبير.

“Sesungguhnya pujianmu pada mereka, udzur yang kamu berikan pada mereka, pengingkaranmu pada orang yang menerangkan penyelisihan mereka terhadap syariat Islamiyah pada umumnya, dan manhaj salafiy pada khususnya, dan cercaanmu terhadapnya termasuk dalil terbesar bahwasanya kamu adalah hizbiy besar.” (“Dahrul Hajmah”/hal. 19).

 

 

 

Bab Dua: Keahlian Mengambil Uang Orang Lain Dengan Batil Atas Nama Dakwah

 

Semangat Abdulloh Mar’i  untuk mengumpulkan harta atas nama dakwah sudah terkenal, sebagaimana dikatakan oleh Syaikhuna Yahya Al Hajuriy –hafizhohulloh- di berbagai durus beliau. Demikian pula Syaikhuna Abu Bilal Kholid Al Hadhromiy –hafizhohulloh- di risalah beliau “Naqdhur Rodd” hal. 11-12.

Syaikhuna Abu Bilal Kholid Al Hadhromiy –hafizhohulloh- berkata pada Abdulloh Mar’i  :

وما ذكرتم من الوقوف مع إخواننا الأعاجم هذا لم نره حصل على ما ينبغي فقد أخرج بعض إخواننا الأعاجم من الشحر، وسجن بعضهم في صنعاء شهرًا بسبب أنكم لم توفروا لهم ما وعدتموهم من الإقامات بل بعض إخواننا الأعاجم يئنُّ من بعض ما رأى من الأمور قال: أخذوا على كل واحد منا ثلاثمائة دولار مقدمًا حق ستة أشهر ولم يدرس بعضنا في المعهد إلا نحو شهرين، وبقية الأشهر كنا ندرس في دار الحديث ولا نذهب إلى المعهد؛ بسبب أن الحكومة منعت دراسة اللغة العربية فيه، لعدم الترخيص بذلك ومع ذلك لم يرجعوا لنا بقية أموالنا.

Apa yang kalian sebutkan bahwasanya kalian berdiri bersama saudara-saudara kita orang orang asing ini, kami tidak melihat hasil yang semestinya, sementara sebagian dari saudara-saudara kita orang orang asing telah dikeluarkan dari Syihr, sebagian lagi dimasukkan penjara di Shon’a dikarenakan kalian tidak memberikan pada mereka surat idzin tinggal sebagaimana yang kalian janjikan. Bahkan salah satu dari saudara-saudara kita orang-orang asing mengeluhkan beberapa perkara yang mereka lihat. Dia berkata: “Mereka (anak buah Abdulloh Mar’i) mengambil dari setiap orang dari kami uang sebanyak tiga ratus dolar di muka untuk SPP enam bulan, tapi sebagian dari kami tidak belajar di ma’had (Ma’hadul Hasub Wal Lughot yang ada di bawah pengawasan Abdulloh Mar’i) kecuali sekitar dua bulan saja, sisanya (empat bulan) kami belajar di Darul Hadits (Darul Hadits Syihr yang dipimpin Abdulloh Mar’i) dan kami tidak pergi ke ma’had karena pemerintah melarang pelajaran bahasa Arab di situ karena tiada surat idzin. Walaupun demikian mereka (anak buah Abdulloh) tidak mengembalikan sisa uang kami.”

ومعلوم مما تقدم كما تزعم الإدارة أن معهد الحاسوب واللغات ليس له علاقة بدار الحديث بالشحر، فما هو المسوغ إذن لأخذ أموال إخواننا الأعاجم، فأين الوقوف المزعوم مع إخواننا الأعاجم؟! ونذكر الإدارة بحديث أبي هريرة رضي الله عنه عند مسلم أن رسول الله -صلى الله عليه وسلم- قال « أتدرون ما المفلس ». قالوا المفلس فينا من لا درهم له ولا متاع. فقال: « إن المفلس من أمتى يأتى يوم القيامة بصلاة وصيام وزكاة ويأتى قد شتم هذا وقذف هذا وأكل مال هذا وسفك دم هذا وضرب هذا فيعطى هذا من حسناته وهذا من حسناته فإن فنيت حسناته قبل أن يقضى ما عليه أخذ من خطاياهم فطرحت عليه ثم طرح فى النار ».

Dan sebagaimana diketahui bersama –dari penjabaran terdahulu- sebagaimana perkataan dewan Ma’had bahwasanya Ma’hadul Hasub Wal Lughot tidak punya kaitan dengan Darul Hadits di Syihr. Lalu apakah yang membolehkan mereka mengambil uang saudara-saudara kita orang-orang asing? Mana pelaksanaan dari ucapan mereka “berdiri bersama saudara-saudara kita orang-orang asing”? kami ingatkan dewan Ma’had dengan hadits Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu riwayat Muslim: “Bahwasanya Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wasallam- bertanya: “Tahukah kalian siapa itu orang yang bangkrut?” Mereka menjawab,”Orang yang bangkrut di kalangan kami adalah orang yang tak punya uang ataupun barang.” Maka beliau bersabda: “Sesungguhnya orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan pahala sholat, puasa, dan zakat. Tapi dia datang dalam keadaan telah mencaci si ini, menuduh si itu, makan harta orang ini, menumpahkan darah orang itu, dan memukul si dia. Maka si ini diberi kebaikannya, si itu diberi kebaikannya. Jika kebaikannya telah habis sebelum dia membayar seluruh kewajibannya, diambillah dari kejelekan mereka lalu dipikulkan ke punggungnya, lalu dilemparkanlah dirinya ke dalam neraka.” (HR. Muslim). (selesai penukilan dari “Naqdhur Rodd”/hal. 15).

Di antara kegiatan Abdulloh Mar’i dan anak buahnya adalah mengemis atas nama dakwah, sebagimana penjabaran dari putra Syihr: Akhuna Abu Ibrohim Muhammad bin Faroj Ba Roidiy Al ‘Amudiy Asy Syihriy Al Hadhromiy –hafizhohulloh- di buku beliau “At Tajawwul Fi Ba’dhi Ma ‘Inda Abdillah bin Mar’i Minat Tasawwul”, sebagai berikut:

وكان عبدالله بن مرعي متَفَنُّنًا في التسول. وقد سلك طُرقًا في التسول لم يسلكها أصحاب الجمعيات في الشحر فيما نعلم.

Abdulloh Mar’i memang ahli dalam mengemis, dan setahuku dia menempuh beberapa metode yang tidak ditempuh oleh orang-orang Jam’iyyat di Syihr (hal. 2).

منها حث الصيادين على ركوب البحر يوم الجمعة وما تحصلوا عليه من مال في هذا اليوم يكون لوفاء الدين الذي أخذه عبدالله لتلك الدورة (خمسمائة ألف ريال يماني). هذه الفكرة لم تعرف في ساحل حضرموت إلا بعد مجيئ عبدالله بن مرعي إلى الشحر. وهي استمرت سنوات طويلة حتى ملّ الناس ذلك، ونفروا من عبدالله بن مرعي ودعوته، إلا بعض أصحاب تلك الدعايات، أو من هو مغرور به. وقد تحصلوا على أموال كثيرة فأعجبهم ذلك واسْتَحْلَوهُ، ثم ازدادوا في ذكر (أن الدعوة عليها خمسمائة ألف)، وكأن المال الذي تحصلوا عليه من ركوب البحر لم يؤثر في ذلك الدين شيئًا!

Di antaranya adalah: dia menyemangati para nelayan untuk berlayar pada hari Jum’at, dan uang yang nanti diperoleh dari hasil tadi digunakan untuk membayar utang yang diambil Abdulloh Mar’i untuk membiayai dauroh tersebut (sebanyak limaratus ribu real Yamaniy). Ini merupakan pemikiran yang belum dikenal di pesisir Hadhromaut kecuali setelah datangnya Abdulloh Mar’i ke Syihr. Dan kegiatan ini telah berlangsung dalam tahun-tahun yang panjang sampai-sampai orang-orangpun merasa bosan dan lari dari Abdulloh Mar’i  dan dakwahnya, kecuali orang-orang yang menyerukan slogan tadi atau orang yang tertipu dengannya. Mereka telah memperoleh uang yang banyak dengan slogan tadi sehingga membikin mereka terkagum-kagum dan menilainya manis. Lalu merekapun mengulang-ulang penyebutan: “Dakwah punya tanggungan Limaratus ribu”. Seakan-akan uang yang mereka hasilkan dari berlayar tadi tidak berpengaruh sama sekali terhadap utang tadi!

Catatan dari Abu Fairuz –waffaqoniyallohu-: Mu’awiyah -rodhiyallohu ‘anhu- berkata: Aku mendengar Rosululloh –shollallohu ‘alaihi wasallam- bersabda:

« إِنَّمَا أَنَا خَازِنٌ فَمَنْ أَعْطَيْتُهُ عَنْ طِيبِ نَفْسٍ فَيُبَارَكُ لَهُ فِيهِ وَمَنْ أَعْطَيْتُهُ عَنْ مَسْأَلَةٍ وَشَرَهٍ كَانَ كَالَّذِى يَأْكُلُ وَلاَ يَشْبَعُ ».

“Aku ini hanyalah penjaga harta. Barangsiapa aku beri harta tadi dengan senang hati, maka dia akan diberkahi dalam harta tadi. Tapi barangsiapa aku beri karena dirinya meminta dan rakus, maka dia itu bagaikan orang yang makan tapi tidak kenyang.” (HR. Muslim (1047)).

Lalu Abu Ibrohim Muhammad Ba Roidiy –hafizhohulloh- melanjutkan:

واستمر ذلك الركوب، وكل ما تحصلوا عليه من مال يكون للدعوة حتى جاءت الدورة الثانية، ولا تزال الخمسمائة ألف التي أخذت دينًا من أجل الدورة الأولى موجودة لم يؤثر فيها ركوب الصيادين البحر لمدة سنة كاملة!

Dan berlanjutlah pelayaran tadi, yang mana seluruh uang yang dihasilkannya menjadi milik dakwah, sampai datang dauroh yang kedua. Dan selalu saja “Limaratus ribu yang diambil dengan utang untuk dauroh pertama” itu ada, sementara pelayaran para nelayan selama setahun penuh tidak berpengaruh pada utang tadi! (hal. 4).

Catatan Abu Fairuz –waffaqoniyallohu-: Anas bin Malik -rodhiyallohu ‘anhu- berkata: Rosululloh –shollallohu ‘alaihi wasallam- bersabda:

« لَوْ كَانَ لاِبْنِ آدَمَ وَادِيَانِ مِنْ مَالٍ لاَبْتَغَى وَادِيًا ثَالِثًا وَلاَ يَمْلأُ جَوْفَ ابْنِ آدَمَ إِلاَّ التُّرَابُ وَيَتُوبُ الله عَلَى مَنْ تَابَ ».

“Andaikata anak Adam memiliki dua lembah uang pastilah dia mencari lembah yang ketiga. Dan tidak ada yang bisa memenuhi rongga anak Adam selain tanah. Dan Alloh menerima tobat dari orang yang bertobat.” (HR. Muslim (1048)).

Hakim bin Hizam rodhiyallohu ‘anhu berkata:

سَأَلْتُ رَسُولَ الله  صلى الله عليه وسلم فَأَعْطَانِى، ثُمَّ سَأَلْتُهُ فَأَعْطَانِى ثُمَّ قَالَ لِى: « يَا حَكِيمُ ، إِنَّ هَذَا الْمَالَ خَضِرٌ حُلْوٌ، فَمَنْ أَخَذَهُ بِسَخَاوَةِ نَفْسٍ بُورِكَ لَهُ فِيهِ، وَمَنْ أَخَذَهُ بِإِشْرَافِ نَفْسٍ لَمْ يُبَارَكْ لَهُ فِيهِ، وَكَانَ كَالَّذِى يَأْكُلُ وَلاَ يَشْبَعُ، وَالْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى». قَالَ حَكِيمٌ فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ الله، وَالَّذِى بَعَثَكَ بِالْحَقِّ لاَ أَرْزَأُ أَحَدًا بَعْدَكَ شَيْئًا حَتَّى أُفَارِقَ الدُّنْيَا.

“Aku meminta pada Rosululloh -shalallohu ‘alaihi wa sallam- maka beliau memberiku, lalu aku minta lagi padanya, maka beliau memberiku, lalu beliau bersabda padaku: “Wahai Hakim, sesungguhnya harta itu hijau dan manis. Barangsiapa mengambilnya dengan kedermawanan jiwa, dia akan diberi keberkahan padanya. Tapi barangsiapa mengambilnya dengan keinginan dan harapan jiwa, maka tak akan diberkahi untuknya. Seperti orang yang makan tapi tidak kenyang. Dan tangan di atas itu lebih baik daripada tangan di bawah.” Maka aku berkata,”Wahai Rosululloh, Demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, saya tak akan lagi mengurangi harta orang setelah Anda dengan permintaan sedikitpun, sampai saya meninggalkan dunia. (HSR Al Bukhory (2750))

Imam Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin -rahimahulloh- berkata tentang sabda Nabi -shalallohu ‘alaihi wa sallam-: (Tapi barangsiapa mengambilnya dengan keinginan dan harapan jiwa, maka tak akan diberkahi untuknya.) “Maka bagaimana dengan orang yang mengambilnya dengan cara meminta? Tentunya lebih jauh dan lebih jauh lagi dari keberkahan.” (“Syarh Riyadhush Sholihin” di bawah no. 524).

Lalu Abu Ibrohim Muhammad Ba Roidiy –hafizhohulloh- melanjutkan:

فلما أنكر عليهم الصيادون بقولهم: إلى متى وهذا الدين لم يسدد؟!! وأصحاب عبدالله غير مبالين بهذا الإنكار، إلا بعد فترة من الزمن سكتوا عن تحديد وتقييد الدين بخمسمائة ألف، وأطلقوا أمر (دين الدعوة) من غير تقييد بعدد معين إلى وقتنا هذا

Ketika para nelayan mengingkari mereka dengan perkataan: “Sampai kapan pelayaran ini sementara utang tidak terlunasi?!!” anak buah Abdulloh Mar’i  tidak mempedulikannya. Hanya saja setelah sekian lama merekapun tidak lagi menyebutkan pembatasan utang sebanyak limaratus ribu. Mereka cuma berkata: “Utang dakwah” tanpa ada pembatasan dengan jumlah tertentu sampai sekarang ini. (hal. 4-5).

Catatan Abu Fairuz –waffaqoniyallohu-: Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu berkata: Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wasallam- bersabda:

« مَنْ سَأَلَ النَّاسَ أَمْوَالَهُمْ تَكَثُّرًا فَإِنَّمَا يَسْأَلُ جَمْرًا فَلْيَسْتَقِلَّ أَوْ لِيَسْتَكْثِرْ ».

“Barangsiapa meminta harta orang lain dalam rangka memperbanyak harta, maka dia itu sebenarnya hanyalah meminta bara api. Maka silakan menyedikitkan atau memperbanyak.” (HR. Al Bukhoriy (2047) dan Muslim (1041)).

Qobishoh bin Mukhoriq Al Hilaliy -rodhiyallohu ‘anhu- berkata:

عَنْ قَبِيصَةَ بْنِ مُخَارِقٍ الْهِلاَلِىِّ قَالَ تَحَمَّلْتُ حَمَالَةً فَأَتَيْتُ رَسُولَ الله -صلى الله عليه وسلم- أَسْأَلُهُ فِيهَا فَقَالَ « أَقِمْ حَتَّى تَأْتِيَنَا الصَّدَقَةُ فَنَأْمُرَ لَكَ بِهَا ». قَالَ ثُمَّ قَالَ « يَا قَبِيصَةُ إِنَّ الْمَسْأَلَةَ لاَ تَحِلُّ إِلاَّ لأَحَدِ ثَلاَثَةٍ رَجُلٍ تَحَمَّلَ حَمَالَةً فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَهَا ثُمَّ يُمْسِكُ وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ اجْتَاحَتْ مَالَهُ فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ – أَوْ قَالَ سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ – وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ حَتَّى يَقُول ثَلاَثَةٌ مِنْ ذَوِى الْحِجَا مِنْ قَوْمِهِ لَقَدْ أَصَابَتْ فُلاَنًا فَاقَةٌ فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ – أَوْ قَالَ سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ – فَمَا سِوَاهُنَّ مِنَ الْمَسْأَلَةِ يَا قَبِيصَةُ سُحْتًا يَأْكُلُهَا صَاحِبُهَا سُحْتًا ».

“Aku pernah memikul suatu tanggungan, maka kudatangi Rosululloh –shollallohu ‘alaihi wasallam- untuk meminta beliau membantu melunasinya. Maka beliau bersabda: “Tinggallah di sini sampai datang shodaqoh, maka kami akan memerintahkan mereka untuk memberikannya padamu.” Lalu beliau bersabda: “Wahai Qobishoh, sesungguhnya meminta-minta itu tidak halal kecuali untuk salah satu dari tiga orang saja: Orang yang memikul suatu tanggungan, halal baginya meminta sampai bisa membayarnya, lalu dia berhenti dari minta-minta. Dan (yang kedua) orang yang tertimpa malapetaka yang menghabiskan hartanya, halal baginya minta-minta sampai bisa tegak hidupnya. Dan (yang ketiga) orang yang tertimpa kemiskinan sampai ada tiga orang berakal dari kaumnya berkata: “kemiskinan telah menimpa si Fulan.” Maka halal baginya minta-minta  sampai bisa tegak hidupnya. Adapun minta-minta yang selain tiga jenis itu –wahai Qobishoh- dia itu adalah keharoman, pelakunya memakannya dengan harom.” (HR. Muslim (1044)).

Lalu Abu Ibrohim Muhammad Ba Roidiy –hafizhohulloh- melanjutkan:

وأعلن عبدالله بن مرعي محاضرة في قرية معيان المساجدة -قرية من ضواحي الشحر-، وسجلت ثم أخفوا الشريط من أول يوم، ولما سأل بعض الناس عنه قالوا: قد ملأه الشيخ عبدالله بالتسول، وبعد فترة من هذه المحاضرة ذهب الأخ عبدالله إلى هذه القرية من أجل أن يشتري أرضًا تكون مركزًا له، وطلب من أصحاب الأراضي أن يساعدوا الدعوة فيبيعوها برخص.

Dan Abdulloh Mar’i  mengumumkan akan adanya ceramah di desa Mi’yanul Masajidah- desa di Syihr wilayah atas-, ceramah tersebut direkam dalam kaset, tapi kemudian mereka menyembunyikannya sejak hari pertama. Ketika sebagian orang menanyakannya mereka menjawab: “Asy Syaikh Abdulloh memenuhi kaset tadi dengan tasawwul (meminta-minta)([8])”. Setelah selang waktu dari ceramah tadi pergilah Akh Abdulloh ke desa ini untuk membeli tanah yang akan menjadi markiz miliknya. Dia meminta para pemilik tanah untuk untuk membantu dakwah sehingga merekapun menjual tanah tadi dengan harga murah.

Catatan Abu Fairuz –waffaqoniyallohu-: Anas bin Malik rodhiyallohu ‘anhu berkata: Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wasallam- bersabda:

« يَهْرَمُ ابْنُ آدَمَ وَتَشِبُّ مِنْهُ اثْنَتَانِ الْحِرْصُ عَلَى الْمَالِ وَالْحِرْصُ عَلَى الْعُمُرِ».

“Anak Adam menjadi renta tapi ada dua kondisi dirinya yang menjadi muda: semangat mencari harta, dan semangat mendapatkan umur panjang.” (HR. Muslim (1047)).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -rahimahulloh- berkata:

فأعظم ما يكون العبد قدرا وحرمة عند الخلق إذا لم يحتج اليهم بوجه من الوجوه فإن أحسنت اليهم مع الإستغناء عنهم كنت أعظم ما يكون عندهم ومتى إحتجت اليهم ولو فى شربة ماء نقص قدرك عندهم بقدر حاجتك اليهم وهذا من حكمة الله ورحمته ليكون الدين كله لله ولا يشرك به شىء إلخ (“مجموع الفتاوى” – (ج 1 / ص 39))

“Maka nilai seorang hamba yang paling agung dan paling terhormat di sisi para makhluk adalah jika dia tidak butuh sama sekali pada mereka. Jika engkau berbuat baik pada mereka bersamaan dengan ketidakbutuhan kepada mereka, engkau menjadi makhluk paling agung di sisi mereka. Dan kapan saja engkau butuh kepada mereka –meskipun seteguk air- berkuranglah nilaimu di sisi mereka sesuai dengan kadar kebutuhanmu pada mereka. Dan ini adalah bagian dari hikmah Alloh dan Rohmat-Nya agar ketundukan itu hanya diberikan untuk Alloh, dan tiada sesuatupun yang disekutukan dengan-Nya dst (“Majmu’ul Fatawa” 1/39).

Sungguh Abdulloh Mar’i telah menghinakan dirinya, lalu sekaligus menghinakan dakwah Salafiyyah dengan kegemarannya untuk mengemis. Dakwah ini milik Alloh ta’ala. Alloh telah memerintahkan kita untuk hanya meminta pada-Nya saja, memerintahkan kita menjaga kehormatan diri dan agama-Nya, melarang kita untuk mengemis. Tapi Abdulloh Mar’i dan para tokoh Jam’iyyat selalu saja di hadapan masyarakat menggambarkan dakwah Salafiyyah Islamiyyah berada dalam posisi lemah, hina, dan sangat butuh uluran tangan.

Lalu Abu Ibrohim Muhammad Ba Roidiy –hafizhohulloh- melanjutkan:

فلما حثهم وكيل المرعي على ركوب معهم البحر في ذلك اليوم فوافقه اثنان ورفض البقية. فقال الوكيل أمام الناس: أين محبتهم للدعوة؟! هل هؤلاء يحبون الدعوة؟! سلام الله على الصوفية، سلام الله على الحزبية. (“التجول” ص 5)

Ketika wakil si Mar’i menyemangati mereka –para nelayan- untuk berlayar bersama pada hari itu, hanya dua orang saja yang menyetujui, sementara sisanya menolak. Maka berkatalah sang wakil tadi di hadapan orang-orang: “Di manakah kecintaan mereka pada dakwah?! Apakah mereka mencintai dakwah?! Salam sejahtera buat Shufiyyah, salam sejahtera buat hizbiyyah.” (hal. 5).

Catatan Abu Fairuz –waffaqoniyallohu-: Sahl Ibnul Handholiyyah rodhiyallohu ‘anhu berkata:

َقَالَ رَسُولُ الله -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ سَأَلَ وَعِنْدَهُ مَا يُغْنِيهِ فَإِنَّمَا يَسْتَكْثِرُ مِنَ النَّارِ ». –وفي رواية- « مِنْ جَمْرِ جَهَنَّمَ ». فَقَالُوا يَا رَسُولَ الله وَمَا يُغْنِيهِ –وفي رواية- وَمَا الْغِنَى الَّذِى لاَ تَنْبَغِى مَعَهُ الْمَسْأَلَةُ قَالَ « قَدْرُ مَا يُغَدِّيهِ وَيُعَشِّيهِ ». –وفي رواية- « أَنْ يَكُونَ لَهُ شِبَعُ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ أَوْ لَيْلَةٍ وَيَوْمٍ ».

Rosululloh -shalallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Barangsiapa meminta-minta, dan di sisinya ada sesuatu yang telah mencukupinya, maka dia itu hanyalah sedang memperbanyak api.” –dalam riwayat lain: “Dari api Jahannam” Maka mereka bertanya: “Wahai Rosululloh, apa itu sesuatu yang telah mencukupinya?” dalam riwayat lain: “Apa itu kekayaan yang dengan tidak diperbolehkan meminta-minta?” Beliau menjawab,“Sekadar makan siang, atau makan malam.” dalam riwayat lain: “Yang bisa mengenyangkannya sehari semalam.” (HR Abu Dawud (5/hal. 177) dan dishohihkan Al Imam Al Wadi’iy -rahimahulloh-).

عن رجل من بني أسد أنه سمع رسول الله -صلى الله عليه وسلم- قال: «مَنْ سَأَلَ مِنْكُمْ وَلَهُ أُوقِيَّةٌ أَوْ عَدْلُهَا فَقَدْ سَأَلَ إِلْحَافًا ». قَالَ الأَسَدِىُّ فَقُلْتُ لَلَقِحَةٌ لَنَا خَيْرٌ مِنْ أُوقِيَّةٍ وَالأُوقِيَّةُ أَرْبَعُونَ دِرْهَمًا.

Salah seorang dari Bani Asad berkata bahwasanya dirinya mendengar  Rosululloh -shalallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Barangsiapa dari kalian meminta-minta, padahal dirinya memiliki satu uqiyyah atau yang semisal dengannya, maka sungguh dia telah meminta dengan merengek-rengek.” Maka berkatalah orang Bani Asad ini: “Aku sungguh memiliki onta betina yang tentu saja lebih baik daripada satu uqiyyah”. Dan satu uqiyyah adalah empat puluh dirham.” (HR. Abu dawud (5/hal. 175) dan dishohihkan Al Imam Al Wadi’iy –rohimahulloh-).

Terus-menerus Abdulloh Mar’i dan anak buahnya mengemis dengan memakai dakwah. Apakah mereka pura-pura lupa dengan dalil-dalil di atas, yang menunjukkan bahwasanya dakwah seperti itu menyelisihi jalan Rosululloh –shollallohu ‘alaihi wasallam-? Anas bin Malik -rodhiyallohu ‘anhu- menyebutkan kisah pembangunan masjid Nabawy:

وأنه أمر ببناء المسجد فأرسل إلى ملأ من بني النجار فقال: «يا بني النجار ثامنوني بحائطكم هذا». قالوا: لا والله لا نطلب ثمنه إلا إلى الله.

“… dan Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wasallam- memerintahkan untuk membangun masjid. Maka beliau mengirimkan utusan kepada Bani Najjar seraya berkata: “Wahai bani Najjar, kasih aku harga untuk kebun kalian ini.” Tapi mereka berkata,”Tidak, demi Alloh kami tidak meminta harganya kecuali kepada Alloh.” (HR. Al Bukhory dan Muslim).

Bahkan Abdulloh Mar’i dan pengikutnya telah menyelisihi jalan dakwah para Nabi –shollallohu ‘alaihim wasallam-. Alloh ta’ala berfirman menukil dari nabi Nuh –‘alaihis salam-:

وَيَا قَوْمِ لَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مَالًا إِنْ أَجْرِيَ إِلَّا عَلَى الله [هود : 29]

“Dan wahai kaumku, aku tidak meminta pada kalian dengan dakwah ini harta. Tidaklah upahku kecuali tanggungan Alloh.” (QS. Hud: 29).

Dan secara khusus mereka tidak minta upah atas dakwah mereka. Alloh ta’ala berfirman menukil dari nabi Hud –‘alaihis salam-:

يَا قَوْمِ لَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِنْ أَجْرِيَ إِلَّا عَلَى الَّذِي فَطَرَنِي أَفَلَا تَعْقِلُونَ [هود : 51]

“Wahai kaumku, aku tidak meminta pada kalian dengan dakwah ini upah. Tidaklah upahku kecuali tanggungan Dzat yang menciptakan aku. Maka apakah kalian tidak berpikir?” (QS. Hud: 51).

Dan Alloh ta’ala memerintahkan Nabi Muhammad -shollallohu ‘alaihi wasallam-:

قُلْ لَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِنْ هُوَ إِلَّا ذِكْرَى لِلْعَالَمِين [الأنعام : 90]

“Katakanlah: Aku tidak meminta pada kalian dengan dakwah ini upah. Tidaklah dakwah ini kecuali peringatan untuk seluruh alam.” (QS. Al An’am: 90).

Seakan-akan ciri khas ini –tidak minta upah- telah melekat di dalam dakwah para Nabi dan Rosul, dan menjadi alasan yang mendorong orang-orang berakal untuk menerimanya. Alloh ta’ala berfirman:

َجَاءَ مِنْ أَقْصَى الْمَدِينَةِ رَجُلٌ يَسْعَى قَالَ يَا قَوْمِ اتَّبِعُوا الْمُرْسَلِينَ * اتَّبِعُوا مَنْ لَا يَسْأَلُكُمْ أَجْرًا وَهُمْ مُهْتَدُونَ [يس : 20 ، 21]

“Dan datanglah seorang pria dari ujung kota itu dengan bergegas seraya berkata: Wahai kaum, ikutilah para utusan itu. Ikutilah orang yang tidak meminta upah, dan mereka itu mendapatkan petunjuk.” (QS. Yasin: 20-21).

Anak buah Abdulloh Mar’i juga memanfaatkan rasa malu para nelayan untuk menyumbangkan harta dengan jumlah yang sedikit. Demikian juga yang terjadi di sekolah anak-anak yang mereka selenggarakan. Lihat secara lengkap dan terperinci pada hal. 6 risalah “At Tajawwul”.

Selanjutnya Abu Ibrohim Muhammad Ba Roidiy –hafizhohulloh- menyebutkan:

فقد نشروا بين الناس في بدء أمرها أن الدراسة في هذه المدرسة ستكون مجانية،  ثم إذا بعبدالله بن مرعي يجتمع بآباء الأولاد وينصحهم ويرشدهم ثم يبين لهم حال الدعوة وحاجتها والديون التي عليها، وأن المدرسين يحتاجون إلى مرتبات ثم يقترح عليهم أن تكون على المستطيع خمسمائة ريال يمني كل شهر على كل طالب. واستغلوا بحياء بعض الآباء، لأن بعضهم يستحيي أن يدفع خمسمائة ريال كل شهر فيدفع خمسة آلاف كل شهر! وبعضهم أربعة آلاف كل شهر عن ولده. (“التجول” ص 6)

Mereka telah menyiarkan di masyarakat pada awal penyelenggaraan sekolah tersebut (sekolah anak-anak) bahwasanya pendidikan yang dilaksanakan di sekolah tersebut akan BERSIFAT GRATIS. Ternyata di kemudian hari Abdulloh Mar’i  mengumpulkan orang tua anak-anak tadi, menasihati mereka, mengarahkan mereka, dan kemudian menjelaskan pada mereka tentang kondisi dakwah, kebutuhannya, dan hutang-hutang yang dipikulnya. Juga menjelaskan bahwasanya para pengajar butuh gaji. Lalu dia menyodorkan ide pada mereka agar orang yang mampu hendaknya membayar limaratus real Yamaniy tiap bulan per murid. Mereka (Abdulloh Mar’i dan pengikutnya) memanfaatkan rasa malu sebagian orang tua, karena sebagian dari mereka merasa malu untuk menyodorkan limaratus real per bulan, makanya mereka menyodorkan lima ribu per bulan! Sebagian dari mereka membayar empat ribu per bulan atas nama anaknya. (hal. 6).

Selanjutnya Abu Ibrohim Muhammad Ba Roidiy –hafizhohulloh- menyebutkan:

وقد طلب عبدالله بن مرعي رئيس جمعية صيادي الخور بالشحر، أن تساهم هذه الجمعية في بناء سقف صرح مسجد التقوى، فأعطاهم هذا الرئيس مائة ألف،

Abdulloh bin Mar’i telah meminta kepala Jam’iyyah Shoyyadil Khour (jam’iyyah nelayan yang ada di Khour) di Syihr agar Jam’iyyah ini ikut ambil bagian menyumbang pembangunan atap yang tinggi dari masjid “At Taqwa”, maka sang kepala memberinya seratus ribu real.

Catatan Abu Fairuz –waffaqoniyallohu-: telah lewat penyebutan dalil yang menunjukkan bahwasanya perbuatan ini –meskipun banyak yang melakukannya- termasuk penyelisihan terhadap jalan dakwah Rosululloh saw. Al Imam Al Wadi’iy rohimahulloh berkata:

وهكذا بناء المسجد لا يجوز أن يهين نفسه، ويهين العلم والدعوة، من أجل بناء مسجد، فالرسول صلى الله عليه وعلى آله وسلم لما أراد أن يبني مسجدًا قال: «يا بني النّجّار ثامنوني بحائطكم»، أي: من أجل أن يبني فيه مسجدًا، فقالوا: بل هو لله ولرسوله.

على أنه يمكن أن يبني مسجدًا من الطين واللبن بنحو مائة ألف ريال يمني، والوقت الذي تصرفه في المسألة، يمكن أن تصرفه في عمارة المسجد والعمل فيه ودعوة الناس إلى العمل بأيديهم. فالأموال التي تكون فيها إهانة للعلم وللدعاة إلى الله، أو دعوة إلى حزبية، أو جعل المساجد للشحاذة، فلسنا بحاجتها. (“ذم المسألة” ص217)

“Demikian pula dalam membangun masjid. Tidak boleh menghinakan diri, menghinakan ilmu dan dakwah demi membangun masjid. Rosul –shollallohu ‘alaihi wa alihi wasallam- ketika ingin membangun masjid bersabda: “Wahai bani Najjar, kasih aku harga untuk kebun kalian ini.” Yaitu: beliau mau membangun masjid di situ. Tapi mereka berkata,”Tidak, justru kebun ini untuk Alloh dan Rosul-Nya.” Seseorang itu mungkin saja untuk membangun masjid dari tanah liat dan bata dengan dana sekitar seratus ribu real Yamaniy. Dan waktu yang dipakainya untuk meminta-minta bisa digunakannya untuk memakmurkan masjid, beramal di situ, dan mengajak orang untuk bekerja dengan tangan-tangan mereka. Harta yang di situ ada penghinaan terhadap ilmu dan dakwah ilalloh, atau dakwah kepada hizbiyyah, atau menggunakan masjid-masjid untuk mengemis, maka kami tidak membutuhkannya.” (“Dzammul Mas’alah”/hal. 217).

Selanjutnya Abu Ibrohim Muhammad Ba Roidiy –hafizhohulloh- menyebutkan:

وبعد استلامهم لهذا المال الذي أخذوه من أجل بناء سقف صرح المسجد لم ينفذوا من البناء شيئًا حتى الآن وله قرابة ثلاثة سنوات. (“التجول” ص 6-7)

Setelah mereka menerima uang tadi yang maunya dipakai untuk membangun atap bangunan tinggi  masjid, ternyata sampai saat ini (sekitar tahun 1428 H) mereka tidak juga melaksanakan pembangunannya sedikitpun padahal sudah lewat hampir tiga tahun. (hal. 6-7).

Catatan Abu Fairuz –waffaqoniyallohu-: kita tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Semoga mereka tidak sampai terkena hadits Khoulah Al Anshoriyyah -rodhiyallohu ‘anha-: Aku mendengar Nabi –shollallohu ‘alaihi wasallam- bersabda:

«إِنَّ رِجَالاً يَتَخَوَّضُونَ فِى مَالِ الله بِغَيْرِ حَقٍّ ، فَلَهُمُ النَّارُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ»

“Sesungguhnya ada orang-orang yang mempergunakan harta Alloh tanpa alasan yang haq, maka mereka berhak mendapatkan neraka pada hari kiamat.” (HR. Al Bukhoriy (3118)).

Selanjutnya Abu Ibrohim Muhammad Ba Roidiy –hafizhohulloh- menyebutkan:

واشتغلوا بحياء بعض جمعية صيادي الخور بالشحر في قضية تسجيل بعض أسماء المساهمين وخوفهم أن يتهموا بالبخل.

Mereka memanfaatkan rasa malu sebagian anggota jam’iyyah Shoyyadil Khour di Syihr dalam kasus pencatatan nama orang-orang yang mau menyumbang Darul Hadits di Syihr dan memanfaatkan rasa takut mereka untuk dituduh sebagai orang pelit. (hal. 7).

Catatan Abu Fairuz –waffaqoniyallohu-: Mestinya dia dan semisalnya merasa malu memakai nama besar Al Imam Muqbil Al Wadi’iy –rohimahulloh- tapi menyelisihi ajarannya yang syar’iy-salafiy. Al Imam Al Wadi’iy –rohimahulloh- berkata:

بل وصلتني قبل أيام خمسة عشر ألفا ريال سعودي، فقلت: من أين هذا؟ قالوا: من مجموعة من العمال يشتغلون ويفرضون على كل واحد منهم في الشهر مائة ريال، فقلت: أقرئوهم السلام وقولوا لهم: إن هذا الفعل ليس بمشروع وهذا المال قد وصل ولكن لا يفعلون هذا مرة أخرى، فمن تيسر له شيء وأراد أن يساعد الدعوة فعل، أما هذا فما كان النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم يفعله، فنحمد الله سبحانه وتعالى على ما هيأ وعلى ما يسر. (“غارة الأشؤطة” 1 ص 483)

“Bahkan telah sampai padaku beberapa hari yang lalu uang sebanyak lima belas real Su’udiy. Kutanyakan: “Ini dari mana?” mereka menjawab,”Dari sekelompok buruh yang bekerja, lalu mengharuskan setiap orang Dari mereka untuk mengumpulkan sumbangan seratus real per bulan.” Kukatakan:”Sampaikanlah salamku buat mereka, dan katakan pada mereka: perbuatan seperti ini tidak disyariatkan. Uang ini telah sampai kemari, tapi lain kali jangan lagi mereka melakukannya. Barangsiapa dimudahkan punya uang dan berhasrat untuk membantu dakwah silakan membantu. Adapun yang seperti ini tidaklah dulunya Nabi –shollallohu ‘alaihi wasallam- melakukannya. Kami memuji Alloh subhanahu wata’ala atas apa yang dipersiapkannya dan dimudahkan-Nya.” (“Ghorotul Asyrithoh”/1/hal. 483).

Selanjutnya Abu Ibrohim Muhammad Ba Roidiy –hafizhohulloh- menyebutkan perbuatan Abdulloh Mar’i:

تتبع أسماء التجار لأخذ أموالهم باسم الدعوة، بل إلى تجار الخليج (“التجول” ص 7)

Mendaftar nama para pedagang untuk mengambil dana dari mereka atas nama dakwah, bahkan para pedagang dari kawasan Teluk. (hal. 7).

Catatan Abu Fairuz –waffaqoniyallohu-: Abdulloh bin ‘Umar -rodhiyallohu ‘anhuma- berkata: Rosululloh –shollallohu ‘alaihi wasallam- bersabda:

«مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ حَتَّى يَأْتِىَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَيْسَ فِى وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ».

“Senantiasa seseorang itu meminta pada orang lain sampai dia datang pada hari kiamat dalam keadaan di wajahnya tiada potongan daging.” (HR. Muslim (2445)).

Imam An Nawawy -rahimahulloh- berkata:

مَقْصُود الْبَاب وَأَحَادِيثه : النَّهْي عَنْ السُّؤَال، وَاتَّفَقَ الْعُلَمَاء عَلَيْهِ إِذَا لَمْ تَكُنْ ضَرُورَةٌ ، وَاخْتَلَفَ أَصْحَابنَا فِي مَسْأَلَة الْقَادِر عَلَى الْكَسْب عَلَى وَجْهَيْنِ أَصَحُّهُمَا : أَنَّهَا حَرَام ؛ لِظَاهِرِ الْأَحَادِيث . وَالثَّانِي : حَلَال مَعَ الْكَرَاهَة بِثَلَاثِ شُرُوط : أَلَّا يُذِلَّ نَفْسه ، وَلَا يُلِحَّ فِي السُّؤَال ، وَلَا يُؤْذِيَ الْمَسْئُول ، فَإِنْ فُقِدَ أَحَد هَذِهِ الشُّرُوط فَهِيَ حَرَام بِالِاتِّفَاقِ . وَالله أَعْلَم .

“Maksud dari bab ini dan hadits-haditsnya adalah larangan dari meminta-minta. Dan para ulama telah bersepakat dalam larangan ini, jika bukan dalam keadaan darurat. Adapun masalah orang yang mampu untuk bekerja tapi dia meminta-minta, para sahabat kami –Asy Syafi’iyyah- berselisih menjadi dua pendapat. Yang paling shohih adalah dia itu harom, berdasarkan lahiriyah dari hadits-hadits tersebut. Dan pendapat yang kedua: halal tapi dibenci, dengan tiga syarat: tidak sampai dia merendahkan dirinya, tidak berbuat “ilhah” (merengek-rengek) dalam meminta, dan tidak menyakiti atau mengganggu orang yang dimintai. Apabila salah satu dari syarat-syarat ini tidak terpenuhi, maka dia itu harom secara kesepakatan. Wallohu a’lam. (“Syarh Shohih Muslim” 3/488).

Selanjutnya Abu Ibrohim Muhammad Ba Roidiy –hafizhohulloh- menyebutkan:

وفي بعض الأحيان يذهب هو وعبدالله باسعد إلى بعض من يرسل إليه بعض المال، من قِبَلِ تجار الخليج، فيقفان له خارج البيت بعد الظهر ولو كلفهم ذلك الوقوف في الشمس. (“التجول” ص 7)

Pada sebagian kesempatan pergilah Abdulloh Mar’i dan Abdulloh Ba Sa’d ke sebagian orang yang mengirimkan uang padanya dari para saudagar Teluk. Lalu keduanya setelah zhuhur berdiri di luar rumah pemilik uang tadi menunggunya, meskipun harus berdiri di terik matahari. (hal. 7).

Catatan Abu Fairuz –waffaqoniyallohu-: Wahb bin Munabbih –rohimahulloh- berkata pada ‘Atho Al Khurosaniy:

«كان العلماء قبلنا استغنوا بعلمهم عن دنيا غيرهم ، فكانوا لا يلتفتون إلى دنياهم ، فكان أهل الدنيا يبذلون لهم دنياهم ، رغبة في علمهم ، فأصبح أهل العلم منا اليوم يبذلون لأهل الدنيا علمهم ، رغبة في دنياهم ، فأصبح أهل الدنيا قد زهدوا في علمهم ، لما رأوا من سوء موضعه عندهم ، فإياك وأبواب السلاطين ، فإن عند أبوابهم فتنا كمبارك الإبل، لا تصيب من دنياهم شيئا إلا أصابوا من دينك مثله »

“Dulu para ulama sebelum kita merasa cukup dengan ilmu mereka dari dunia orang lain. Dulu mereka tidak menoleh kepada dunia mereka. Makanya ahli dunia mencurahkan dunianya untuk ulama tadi karena berhasrat mendapatkan ilmu mereka. Sekarang jadilah ulama dari kalangan kita mencurahkan ilmu mereka kepada ahlu dunia karena berhasrat kepada dunia mereka. Maka jadilah ahlu dunia telah merasa tidak butuh kepada ilmu mereka karena melihat jeleknya posisinya di sisi mereka. Maka hindarilah olehmu pintu-pintu para penguasa, karena sungguh ada fitnah di pintu-pintu mereka, bagaikan tempat mendekamnya onta. Tidaklah kamu mengambil dunia mereka sedikitpun kecuali mereka akan mengambil semisalnya dari agamamu.” (“Asy Syari’ah”/oleh Al Imam Al Ajurriy –rohimahulloh-/no. 70).

Lalu Al Imam Al Ajurriy –rohimahulloh- berkata:

فإذا كان يخاف على العلماء في ذلك الزمان ، أن تفتنهم الدنيا ، فما ظنك في زمننا هذا ؟ الله المستعان ما أعظم ما قد حل بالعلماء من الفتن ، وهم عنه في غفلة

“Jika dulunya ditakutkan pada para ulama pada zaman itu untuk terfitnah dengan dunia, maka bagaimana dugaanmu pada zaman kita ini? Wallohul musta’an, alangkah besarnya fitnah yang menimpa ulama dalam keadaan mereka melalaikannya.”

Catatan Abu Fairuz –waffaqoniyallohu-: sesungguhnya fitnah dan kebatilan itu datang perlahan-lahan. Jika Abdulloh Mar’i sudah siap untuk berdiri di bawah terik matahari demi uang para saudagar –padahal dia masuk dalam jajaran ulama-, maka bukan mustahil suatu saat keadaannya bisa seperti yang diucapkan Al Imam Al Wadi’iy –rohimahulloh- tentang keadaan sebagian hizbiyyin:

..وخصوصًا إذا كنت تاجرًا، فهو مستعد أن يأخذ عمامته ويمسح الغبار عن نعليك، أو كان لك من السلطة شيء، أو كنت متبوعًا، فهم مستعدون أن يتابعوك حتى يظفروا بك ويصطادوك. (“تحفة المجيب” ص 151)

“… dan khususnya jika engkau adalah seorang pedagang, maka dia siap untuk mengambil sorbannya dan menghapus debu yang ada di kedua sandalmu. Atau jika kamu punya sedikit kekuasaan, atau kamu adalah seorang pemimpin yang diikuti, maka mereka siap untuk membuntutimu sampai bisa merekrutmu dan menjaringmu.” (“Tuhfatul Mujib”/hal. 151).

Selanjutnya Abu Ibrohim Muhammad Ba Roidiy –hafizhohulloh- menyebutkan:

وأحيانا يستدين من بعض التجار إلى أجل محدود، فلما جاء الأجل قال لهم: اجعلوه من الزكاة. (“التجول” ص 7)

Terkadang Abdulloh Mar’i berutang kepada sebagian pedagang sampai ke batas tertentu. Manakala tiba saat pembayaran dia berkata pada mereka: “Jadikanlah utangku tadi bagian dari zakatmu.” (hal. 7).

Catatan Abu Fairuz –waffaqoniyallohu-: bacalah di risalah “At Tajawwul” hal. 8 tentang keunikan Abdulloh Mar’i dalam mengemis kaset dan tape recorder yang baru dan lama di masjid “At taqwa”, dan juga masjid “Abdurrohim” di Syihr.

Al Imam Muqbil Al Wadi’iy –rohimahulloh- berkata:

ويالله كم من داعية كبير تراه يحفظ الآيات التي فيها ترغيب في الصدقة، وينتقل من هذا المسجد إلى هذا المسجد: ﴿وما تقدّموا لأنفسكم من خير تجدوه عند الله هو خيرًا وأعظم أجرًا. وانقلب المسكين من داعية إلى شحاذ، وصدق الرسول صلى الله عليه وعلى آله وسلم إذ يقول: ((لكلّ أمّة فتنةً، وفتنة أمّتي المال)).

“Ya Alloh, alangkah banyaknya da’i besar yang menghapal ayat-ayat yang mengandung penyemangatan untuk bershodaqoh, dia pindah dari masjid ini ke masjid itu, membacakan: “Dan kebaikan apapun yang kalian lakukan untuk diri kalian sendiri, kalian akan mendapatkannya di sisi Alloh dengan yang lebih baik dan lebih besar pahalanya.” Dan berbaliklah si miskin ini dari posisi da’i kepada posisi pengemis. Sungguh benar Rosululloh –shollallohu ‘alaihi wa alihi wasallam- ketika bersabda: “Setiap umat itu punya fitnah, dan fitnah umatku adalah harta.” (“Dzammul Mas’alah”/hal. 218).

Selanjutnya Abu Ibrohim Muhammad Ba Roidiy –hafizhohulloh- menyebutkan:

تأجير باص الدعوة للمحاضرات، فإذا بقي للراكب شيء من المال المدفوع، كخمسين أو ثلاثين ريالًا أو نحو ذلك، قال: محصل الباص للراكب للدعوة. أي اتركه للدعوة، فيستحيي الراكب، ويتركه ولا يطالب به  (“التجول” ص 9)

Penyewaan bis dakwah untuk menghadiri ceramah-ceramah. Jika ada sisa uang kembalian milik si penumpang seperti lima puluh, atau tiga puluh real dan sebagainya. Maka berkatalah si penarik uang: “Sisa uang bis dari penumpang adalah untuk dakwah.” Yaitu: tinggalkanlah uang kembalian tadi buat dakwah. Maka si penumpangpun malu, meninggalkan uang sisa tadi, dan tidak mengambilnya. (hal. 9).

Juga menyebutkan:

واستغلال الباقي من مال مشتري البقالة فقال: اتركه للدعوة، فيستحيي المشتري ويتركه ولا يطالب به، وهكذا لمدة طويلة، وفي الآونة الأخيرة وبعد تحويلها إلى مشاركة بالأسهم تركوا ذلك. (“التجول” ص 9)

 Mereka memanfaatkan sisa dari uang pembeli sayur dan sebagainya seraya berkata: “Tinggalkanlah uang kembaliannya untuk dakwah.” Maka sang pembelipun malu, meninggalkan uang sisa tadi, dan tidak mengambilnya. Demikianlah hal itu berlangsung sekian lama. Dan pada masa-masa terakhir dan setelah toko tadi dirubah jadi perserikatan saham merekapun meninggalkan cara tadi. (hal. 9).

Inilah contoh ringkas dari proyek mengemis si Abdulloh Mar’i yang dilakukannya dan anak buahnya di Syihr. Semuanya secara rinci berjumlah dua puluh poin. Sebagiannya dilakukan di Syihr bagian atas. Belum lagi proyek minta-minta yang dilakukannya di Saudi dan sebagian Negara Teluk sampai sekarang.

Para ulama Salaf -rohimahumulloh- sangat menjunjung tinggi nilai-nilai ‘iffah (kehormatan diri) sebagaimana yang diajarkan oleh Alloh ta’ala, dan Rosul-Nya -shollallohu ‘alaihi wasallam-, dan tidak mau menghinakan diri dengan mengemis kecuali jika terpaksa.

Abul ‘Aliyah -rahimahulloh- berkata:

عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ وَكَانَ ثَوْبَانُ مَوْلَى رَسُولِ الله -صلى الله عليه وسلم- قَالَ قَالَ رَسُولُ الله -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ تَكَفَّلَ لِى أَنْ لاَ يَسْأَلَ النَّاسَ شَيْئًا وَأَتَكَفَّلَ لَهُ بِالْجَنَّةِ ». فَقَالَ ثَوْبَانُ أَنَا. فَكَانَ لاَ يَسْأَلُ أَحَدًا شَيْئًا. (أخرجه أبو داود ج 5 / ص 195)

“Dari Tsauban –dan beliau adalah maula dari Rosululloh -shalallohu ‘alaihi wa sallam—yang berkata: Rosululloh -shalallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Siapakah menjamin kepadaku untuk tidak meminta pada manusia sedikitpun, dan aku menjamin untuknya dengan Jannah?” Maka Tsauban berkata,”Saya”. Dan Tsauban tak pernah meminta kepada seorangpun sesuatu apapun.” (HSR Abu Dawud/5/hal. 195 dan dishohihkan oleh Imam Al Wadi’y -rahimahulloh-)

‘Auf bin Malik Al Asyja’iy rodhiyallohu ‘anhu berkata:

كُنَّا عِنْدَ رَسُولِ الله -صلى الله عليه وسلم- تِسْعَةً أَوْ ثَمَانِيَةً أَوْ سَبْعَةً فَقَالَ: « أَلاَ تُبَايِعُونَ رَسُولَ الله » وَكُنَّا حَدِيثَ عَهْدٍ بِبَيْعَةٍ فَقُلْنَا: قَدْ بَايَعْنَاكَ يَا رَسُولَ الله. ثُمَّ قَالَ: «أَلاَ تُبَايِعُونَ رَسُولَ الله ». فَقُلْنَا: قَدْ بَايَعْنَاكَ يَا رَسُولَ الله. ثُمَّ قَالَ: «أَلاَ تُبَايِعُونَ رَسُولَ الله ». قَالَ: فَبَسَطْنَا أَيْدِيَنَا وَقُلْنَا قَدْ بَايَعْنَاكَ يَا رَسُولَ الله فَعَلاَمَ نُبَايِعُكَ قَالَ « عَلَى أَنْ تَعْبُدُوا الله وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَالصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ وَتُطِيعُوا – وَأَسَرَّ كَلِمَةً خَفِيَّةً – وَلاَ تَسْأَلُوا النَّاسَ شَيْئًا ». فَلَقَدْ رَأَيْتُ بَعْضَ أُولَئِكَ النَّفَرِ يَسْقُطُ سَوْطُ أَحَدِهِمْ فَمَا يَسْأَلُ أَحَدًا يُنَاوِلُهُ إِيَّاهُ .

“Kami pernah ada di sisi Rosululloh -shalallohu ‘alaihi wa sallam-, sembilan, atau delapan atau tujuh orang. Maka beliau bersabda:“Berbai’atlah kalian kepada Rosululloh”, padahal kami baru saja membai’at beliau. Maka kami berkata,”Kami telah membai’at Anda wahai Rosululloh.” Lalu beliau bersabda:“Berbai’atlah kalian kepada Rosululloh”. Maka kami berkata,”Kami telah membai’at Anda wahai Rosululloh.” Lalu beliau bersabda:“Berbai’atlah kalian kepada Rosululloh”. Maka kami mengulurkan tangan kami seraya berkata,” Kami telah membai’at Anda wahai Rosululloh. Maka kami membai’at Anda untuk berbuat apa?” Beliau bersabda:“Agar kalian beribadah pada Alloh dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Dan untuk sholat lima waktu, dan agar kalian taat.” Dann beliau berbicara dengan lirih: “Dan agar kalian tidak meminta pada manusia sedikitpun.” Maka sungguh aku melihat sebagian dari rombongan tadi, cambuk dari salah seorang dari mereka terjatuh. Maka dia tidak meminta pada seorangpun untuk mengambilkannya untuknya.” (HSR Muslim /1043)

Dari Ummud Darda’ -rahimahalloh-, beliau berkata:

قال لي أبو الدرداء : لا تسألي الناس شيئا ، قالت : فقلت : فإن احتجت ؟ قال : فإن احتجت فتتبعي الحصادين فانظري ما سقط منهم فاخبطيه ثم اطحنيه ثم كليه، ولا تسألي الناس شيئا 

“Abud Darda’ –rodhiyallohu ‘anhu – berkata padaku,”Janganlah engkau meminta pada manusia sedikitpun.” Maka aku bertanya,”Kalau aku berhajat?” Beliau menjawab,”Jika engkau berhajat, maka ikutlah di belakang para tukang panen, lalu lihatlah apa yang berjatuhan dari bawaan mereka, lalu pungutlah ia, masaklah dan makanlah, dan jangan kau meminta pada manusia sedikitpun.” (“Az Zuhd”/2/291/ Imam Ahmad -rahimahulloh-, dan dishohihkan Syaikhuna Yahya Al Hajury – hafidzahulloh – di tahqiq “As Sunanul Kubro” Imam Al Bauhaqy -rahimahulloh-)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah –rohimahulloh- berkata:

وقد تواترت الأحاديث عن النبي صل بتحريم مسألة الناس إلا عند الضرورة

“Hadits-hadits telah mutawatir bahwasanya Nabi –shollallohu ‘alaihi wasallam- mengharomkan minta-minta pada manusia kecuali di saat darurat.” (“Majmu’ul Fatawa”/8/hal. 316).

Al Imam Al Hafizh Ibnul Qoththon Al Fasiy –rohimahulloh- berkata:

واتفقوا أن المسألة حرام. (“الإقناع في مسائل الإجماع”/7/3/ص397).

“Para ulama telah sepakat bahwasanya meminta-minta itu harom.” (“Al Iqna’ Fi Masailil Ijma’”/7/3/hal. 397).

Dan mengemis atas nama dakwah sudah menjadi sifat kebanyakan hizbiyyun, bukan sifat Ahlussunnah Wal Jama’ah. Al Imam Al Wadi’iy –rohimahulloh- berkata:

فالحق أنّهم شوهوا الدعوة، – إلى قوله: – وقد ساءت النيات بسبب الدنيا، فقد كان يأتيني أصحاب إبّ ويقولون لي: يا أبا عبدالرحمن قل للأستاذ محمد المهدي يجلس لنا في المسجد، يعلمنا العلم. وقد كنت أحسن به الظن، وهم كذلك يحسنون به الظن، فقلت له فأبى، وما عرفنا أنه جوال لجمع الدنانير والأموال، فلا تسمع به إلا في دولة قطر، وأخرى في السعودية، ومرة في أمريكا، -إلى قوله: – ثم يأتي عقيل ويقول: قال رسول الله صلى الله عليه وعلى آله وسلم: ((أنا وكافل اليتيم كهاتين)). ويأتي محمد المهدي ويقول:﴿وما تقدّموا لأنفسكم من خير تجدوه عند الله﴾. وانظروا إلى المجلة الشحّاذة (مجلة الفرقان) هل تجدون عددًا ليس فيه شحاذة.

“Sebenarnya mereka itu sungguh telah memperburuk citra dakwah –sampai ucapan beliau:- niat-niat telah menjadi jelek karena dunia. Dulu orang-orang propinsi Ibb mendatangiku dan berkata: “Wahai Abu Abdirrohman, katakanlah pada Al Ustadz Muhammad Al Mahdi agar mau duduk untuk kami di masjid dan mengajari kami ilmu.” Dulu aku berbaik sangka padanya. Demikian pula mereka berbaik sangka padanya. Kukatakan padanya yang demikian itu tapi dia menolak. Kami tidak tahu bahwasany dirinya itu gemar bepergian demi mengumpulkan dinar-dinar dan harta. Tidaklah kamu dengar berita tentang dirinya kecuali dia itu sudah ada di Negara Qothor, terkadang di Saudi, dan suatu kali di Amerika. –sampai ucapan beliau:- lalu datanglah ‘Aqil (Al Maqthoriy) dan berkata: Rosululloh –shollallohu ‘alaihi wasallam- bersabda: “Aku dan pengasuh anak yatim bagaikan kedua jari ini.” Dan datang Muhammad Al Mahdi dan berkata: “Dan kebaikan apapun yang kalian lakukan untuk diri kalian sendiri, kalian akan mendapatkannya di sisi Alloh.” Dan lihatlah majalah pengemis: Majalah “Al Furqon”. Apakah kalian mendapatkan edisi yang di situ tidak ada sikap mengemis?” (lihat lengkap di “Tuhfatul Mujib”/hal. 75-79).

 

Bab Tiga: Teknik Khusus Hizbiyyun: Ceramah Lalu Mengemis

 

Di antara metode dakwah yang batil adalah meminta-minta setelah ceramah. Ini merupakan gaya hizbiyyin dan beberapa kelompok ahlul bida’. Sudah banyak fatwa Imam Al Wadi’iy -rahimahulloh- tentang hal itu. Beliau pernah ditanya:

يأتي إلى أمريكا من ينسب نفسه إلى أهل السنة، ومنهم عقيل المقطري، ويخطب في المساجد، وبعدها يقوم بجمع التبرعات للجمعية فما حكم ذلك؟

“Ada seseorang yang datang ke Amerika dan menisbatkan dirinya kepada Ahlussunnah. Di antara mereka adalah ‘Aqil Al Maqthory. Dia berkhothbah di beberapa masjid, dan setelah itu dia berdiri untuk mengumpulkan sumbangan buat jam’iyyah. Maka apa hukum perbuatan itu?

Maka beliau menjawab:

دعوة الإخوان المسلمين دعوة مادية دنيوية، ولجمع الأموال، ففي ذات مرة خرجنا دعوة، وخرج معنا عبدالله النهمي رحمه الله فقد قتل في أفغانستان ، وعبدالوهاب صهر حزام البهلولي، وقالوا: نحن نطلب تبرعات، فقلنا: هذه ليست من سمات أهل السنة

“Dakwah Ikhwanul Muslimin adalah dakwah materiil keduniaan, untuk mengumpulkan harta. Pernah pada suatu hari kami keluar untuk berdakwah, dan keluarlah bersama kami Abdulloh An Nahmy -rahimahulloh- -beliau telah terbunuh di Afganistan- dan juga Abdul Wahhab besan Hizam Al Bahluly. Dan mereka berkata,”Kami akan meminta sumbangan. Maka kami berkata,”Ini bukanlah alamat Ahlussunnah.” dst (“Tuhfatul Mujib” hal. 75 dst)

Al Imam Al Wadi’i rohimahulloh berkata dalam masalah minta-minta: “Dan bukanlah kami mendakwahi manusia untuk mengambil harta mereka. Kalaupun engkau pergi ke negri manapun dari negri-negri Islam engkau tak akan melihat seorang sunni yang berdiri dan memberikan nasihat kepada manusia hingga membikin mereka menangis, lalu setelah itu dia menggelar sorbannya di pintu (“Tuhfatul Mujib” hal. 75-76).

Beliau rohimahulloh juga berkata:

وقد أخبرني أخ جاء من أمريكا أنّهم كانوا يتجولون في أمريكا، ويلقون المحاضرات ويقولون: أنا وكافل اليتيم كهاتين، فقام شخص عليهم وقد كان يريد مساعدة البوسنة والهرسك فقال لهم: كافل اليتيم الذي يكفله، وليس الذي يشحذ فجرى بينهم الخصام من أجل الدنيا. والدعوة عند أن دخلتها المطامع الدنيوية قلّت بركتها: ﴿ألا لله الدّين الخالص﴾، ويقول: ﴿وما أمروا إلا ليعبدوا الله مخلصين له الدّين﴾. (“تحفة المجيب” ص 147)

“Telah mengabariku seorang saudara  yang datang dari Amerika bahwasanya mereka itu (tokoh-tokoh hizbiyyun yang tersebut sebelumnya) berkeliling di Amerika, menyampaikan ceramah-ceramah dan berkata (Menyebut sabda Rosululloh –shollallohu ‘alaihi wasallam-): “Aku dan pengasuh anak yatim bagaikan kedua jari ini.” Maka seseorang berdiri menghadap mereka -dan dia menginginkan pengumpulan bantuan buat Bosnia dan Herzegovina- seraya berkata pada mereka, “Pengasuh yatim adalah orang yang benar-benar mengasuhnya, bukan orang yang mengemis.” Maka terjadilah pertengkaran di antara mereka karena dunia. Dakwah jika dimasuki hasrat-hasrat duniawi itu kecil barokahnya. (Alloh ta’ala berfirman yang artinya:) “Ketahuilah: Hanya milik Alloh sajalah agama yang murni.” Dan berfirman: “Dan tidaklah mereka diperintahkan kecuali agar mereka beribadah kepada Alloh dalam keadaan memurnikan agama kepada-Nya.” (“Tuhfatul Mujib”/hal. 147).

Masjid adalah rumah Alloh ta’ala yang di situ wajib para hamba mengagungkan Alloh ta’ala, dan memuliakan agama-Nya. Adapun mempergunakan masjid untuk sarana mengemis dan agar dakwah itu dikasihani, maka ini merupakan pelanggaran dari tujuan di atas. Imam Al Wadi’iy -rahimahulloh- di antara fatwanya adalah:

خذوا لكم مكبر صوت واخرجوا في الشوارع. أما بيوت الله فلم تبن إلا لذكر الله ولم تبن للشحاذة. وأقول إنه ينبغي  أن يخرج من المسجد هذا الذي  يقوم في بيت الله للشحاذة إلخ

“Ambil saja oleh kalian pengeras suara dan keluarlah ke jalan-jalan. Adapun rumah-rumah Alloh, maka dia itu dibangun untuk dzikrulloh, dan bukan dibangun untuk mengemis. Dan aku katakan: Orang ini, yang berdiri di masjid untuk mengemis dia harus dikeluarkan dari masjid” dst (“Ghorotul Asyrithoh” 1/536-537)

 

Bab Empat: Abdulloh Mar’i Lebih Pantas Jadi Juragan Daripada Menjadi Sosok Seorang Ulama dakwah Salafiyyah

 

Semula ana hendak merincikan sekian banyak proyek yang yang dikelola oleh Abdulloh Mar’i , baik secara langsung ataupun secara perwakilan, sebagaimana ditulis oleh Akhuna Muhammad Ba Roidiy Al Hadhromiy –hafizhohulloh- dalam kitab beliau “Nubdzatun Mukhtashoroh”. Akan tetapi manakala ana lihat bahwasanya hampir semuanya telah tersebut di “Mukhtashorul Bayan” maka ana tak perlu lagi mengulangnya. Apa yang disebutkan di situ telah sangat cukup sebagai bukti bahwasanya orang ini adalah pecinta dunia, tapi berlindung di balik jubah “Demi Dakwah”. Dan ini merupakan metode para hizbiyyin.

Syaikhuna Abu Bilal Kholid Al Hadhromiy –hafizhohulloh- telah menasihatinya:

وانظر إلى واقع الحزبيين من أين دخل عليهم الشر ومن أين أوتوا، وإلى أي بلاء صاروا، فالشيخ عبد الله توسع في المشاريع، وأكثر بحجة أن الدعوة محتاجة، وليس معنا من يساعدنا وغيرها من الأعذار الباردة، والشخص إذا هوى أمراً ركب الصعب والذلول في التماس المعاذير ليبرر صنيعه. (“نقض الرد” ص11)

“Lihatlah kenyataan para hizbiyyin, darimana masuknya kejelekan kepada mereka? Dari mana mereka tertimpa musibah? Kepada musibah yang mana mereka beranjak? Asy Syaikh Abdulloh Mar’i telah memperluas proyek-proyek, dan memperbanyak alasan bahwasanya dakwah ini sedang butuh, tiada orang yang membantu kita, dan udzur-udzur dingin yang lain. seseorang itu jika telah berhasrat pada sesuatu dia akan menempuh jalan yang susah ataupun mudah. Untuk mencari udzur yang membolehkan perbuatannya. (“Naqdhur Rodd” hal. 11).

Dikarenakan banyaknya kesibukan duniawi melemahlah perhatian Abdulloh Mar’i terhadap majelis ilmu para muridnya dari kadar yang semestinya dia berikan sebagai pemilik markiz dakwah, apalagi dia telah dimasukkan ke dalam jajaran ulama dakwah Salafiyyah. Kecilnya perhatian dirinya untuk mengajari muridnya secara rutin telah berkali-kali disebut oleh Syaikhuna Yahya Al Hajuriy –hafizhohulloh-, dan juga dibahas oleh Asy Syaikh Abu Abdillah Muhammad Ba Jammal Al Hadhromiy –hafizhohulloh- di risalah beliau “Al Manzhorul Kasyif” hal. 4. Demikian pula dikatakan oleh Akhuna Abu Sholih Dzakwan Al Maidaniy Al Indonesiy dan yang lainnya –hafizhohumulloh- yang sempat belajar di markiz Syihr.

            Di dalam risalah “Mulhaqun Manzhor” hal. 8 Asy Syaikh Muhammad Ba Jammal Al Hadhromiy –hafizhohulloh- mengisyaratkan juga bahwasanya Abdulloh Mar’i tersibukkan dari memperdalam ilmu, mencurahkan perhatian ke ilmu dan penyebarannya karena proyek-proyek bisnis tadi.

Di antara buktinya adalah ketika dia datang ke pedalaman Hadhromaut setelah ‘Idul Adha pada tahun 1427 H, setelah menyampaikan ceramah pada hari Kamis dan Hari Jum’at diumumkanlah dua ceramah yang lain untuk hari Sabtu dan Ahad, tapi ternyata dia tidak menghadirinya, dalam keadaam dia masih berada di situ juga -pedalaman Hadhromaut-, ternyata penyebabnya adalah kesibukannya untuk membeli sebuah mobil yang bersih. (“Mulhaqun Manzhor” hal. 4).

Kita tidak mengharomkan para hamba Alloh untuk berdagang. Hanya saja banyaknya proyek bisnis Abdulloh Mar’i dan beraneka ragamnya metode mengemis yang ditempuhnya, dan juga semangatnya jalan-jalan untuk merauh uang dari para saudagar menunjukkan kerakusan jiwanya terhadap harta. Padahal dia dimasukkan ke dalam jajaran ulama. Dia juga gemar membawa bendera Salafiyyah yang tidak mungkin akan tegak kecuali dengan zuhud terhadap dunia. Sampai-sampai hampir gelar “Syahbandar Abdulloh” mengalahkan julukan “Asy Syaikh Abdulloh” dikarenakan banyaknya perdagangannya.

Makanya yang lebih pantas untuk dituduh merusak jalan dakwah Al Imam Al Mujaddid Muqbil Al Wadi’iy –rohimahulloh- adalah Abdulloh dan saudaranya. Adapun Syaikhuna Yahya Al Hajuriy –hafizhohulloh- justru tokoh yang paling setia dan tegar dengan Dakwah Salafiyyah yang dipancangkan oleh Imam –rohimahulloh- tersebut.

 

Bab Lima: Mengapa Asy Syaikh Robi’ –hafizhohulloh- Tidak Dijuluki Bagian Dari “Mar’iyyin”?

 

Di antara kengawuran Abdul Ghofur Al Malangiy adalah tuntutannya pada kami untuk menggelari Asy Syaikh Robi’ Al Madkholiy –hafizhohulloh- sebagai “Mar’iy” atau “Kibarul Mar’iyyin”, karena beliau masih mengatakan Abdurrohman Mar’iy itu Salafiy dsb. Dia bilang: “Sikap tegas dan jelas dari Asy Syaikh Rabi’ (yang jelas-jelas berlawanan dengan mereka) bahwa Asy Syaikh Ubaid Al Jabiri, Asy Syaikh Abdullah dan Abdurrahman Mar’i adalah SALAFY (dan bukan hizby!) belum lagi mampu menumbuhkan kejantanan mereka sehingga berani menvonis Asy Syaikh Rabi’ sebagai KIBAR MAR’IYYAIN!” (hal. 20).

Jawaban pertama: Asy Syaikh Robi’ Al Madkholiy –hafizhohulloh- tidak memiliki pemikiran Mar’iyyah sehingga boleh dinisbatkan kepadanya. Sekian banyak pemikiran batil Mar’iyyin tidak ada pada Asy Syaikh Robi’ Al Madkholiy –hafizhohulloh-, maka bagaimana beliau bisa dikatakan sebagai Mar’iy atau Kibarul Mar’iyyin?

Jawaban kedua: jelas beliau salah dalam membela si Mar’iy, tapi yang demikian itu bukanlah dikarenakan beliau menyetujui kejahatan si Mar’iy dan antek-anteknya. Hanya saja kami memahami keadaan beliau yang terus-menerus ditempel oleh Hani’ Buroik, Arofat dan lain-lain, mereka selama ini terus-menerus tampil manis di hadapan beliau sehingga amat menyulitkan beliau untuk mengetahui jati diri orang ini. Abu Malik Ali Al Baitiy Al Lahjiy –hafizhohulloh- (kepala Al Maktabatul ‘Ammah Darul Hadits di Dammaj) bercerita pada ana bahwasanya sebagian dari orang-orang tadi telah menempeli Asy Syaikh Robi’ Al Madkholiy –hafizhohulloh- sejak berlangsungnya perang komunis di Yaman (lebih dari sepuluh tahun yang lalu). Asy Syaikh Abu Abdillah Thoriq bin Muhammad Al Ba’daniy –hafizhohulloh- juga bercerita pada kami bahwasanya Hani’ Buroik itu sangat dihormati oleh Asy Syaikh Robi’ Al Madkholiy –hafizhohulloh-, dan dirinya dipercaya untuk membacakan soal-soal yang ditujukan kepada beliau. Dan orang ini termasuk yang selalu menghiasai berita-berita tentang Abdurrohman Al ‘Adniy, dan sekaligus menghasung Asy Syaikh Robi’ Al Madkholiy –hafizhohulloh- untuk men-jarh Syaikhuna Yahya Al Hajuriy –hafizhohulloh-. Makanya hingga kini kami terus-menerus memberikan udzur pada Asy Syaikh Robi’ Al Madkholiy –hafizhohulloh-.

Jawaban ketiga: Jasa yang luar biasa dari Asy Syaikh Robi’ Al Madkholiy –hafizhohulloh- di dalam menjaga dakwah Salafiyyah dari gempuran musuh, dan sekaligus beliau puluhan tahun yang panjang menggempur para ahlul bida’, sangat tidak bisa disepelekan. Al Imam Ibnul Qoyyim –rohimahulloh- berkata:

من قواعدالشرع والحكمة ايضا ان من كثرت حسناته وعظمت وكان له في الاسلام تأثير ظاهر فإنه يحتمل له ما لا يحتمل لغيره ويعفى عنه مالا يعفي عن غيره فإن المعصية خبث والماء إذا بلغ قلتين لم يحمل الخبث بخلاف الماء القليل فإنه لا يحمل ادنى خبث ومن هذا قول النبي صلى الله عليه و سلم لعمر وما يدريك لعل الله اطلع على اهل بدر فقال اعملوا ما شئتم فقد غفرت لكم وهذا هو المانع له صلى الله عليه و سلم من قتل من حس عليه وعلى المسلمين وارتكب مثل ذلك الذنب العظيم فأخبر صلى الله عليه و سلم انه شهد بدرا فدل على ان مقتضى عقوبته قائم لكن منع من ترتب اثره عليه ماله من المشهد العظيم فوقعت تلك السقطة العظيمة مغتفرة في جنب ماله من الحسنات ولما حض النبي صلى الله عليه و سلم على الصدقة فأخرج عثمان رضى الله عنه تلك الصدقة العظيمة قال ماضر عثمان ما عمل بعدها وقال لطلحة لما تطاطأ للنبي صلى الله عليه و سلم حتى صعد على ظهره الى الصخرة اوجب طلحة وهذا موسى كلم الرحمن عز و جل القى الالواح التي فيها كلام الله الذي كتبه له القاها على الارض حتى تكسرت ولطم عين ملك الموت ففقأها وعاتب ربه ليلة الاسراء في النبي صلى الله عليه و سلم وقال شاب بعث بعدي يدخل الجنة من امته اكثر مما يدخلها من امتي واخذ بلحية هارون وجره اليه وهو نبي الله وكل هذا لم ينقص من قدرة شيئا عند ربه وربه تعالى يكرمه ويحبه فإن الامر الذي قام به موسى والعدو الذي برز له والصبر الذي صبره والاذى الذي اوذيه في الله امر لا تؤثر فيه امثال هذه الامور ولا تغير في وجهه ولا تخفض منزلته وهذا امر معلوم عند الناس مستقر في فطرهم ان من له الوف من الحسنات فإنه يسامح بالسيئة والسيئتين ونحوها حتى انه ليختلج داعي عقوبته على إساءته وداعي شكره على إحسانه فيغلب داعي الشكر لداعي العقوبة كما قيل: وإذا الحيب أتى بذنب واحد … جاءت محاسنه بألف شفيع

“Termasuk dari kaidah-kaidah Syari’at dan hikmah juga adalah bahwasanya jika seseorang itu banyak dan besar kebaikannya, dan dia punya pengaruh baik yang nyata terhadap Islam, maka dia itu mendapatkan udzur yang tidak didapatkan oleh yang lain. Dimaafkan kesalahan darinya yang tidak bisa dimaafkan untuk orang yang lain. Yang demikian itu adalah karena kemaksiatan adalah kotoran. Dan air itu jika mencapai dua qullah tidaklah memikul kotoran. Beda dengan air yang sedikit, yang dia itu tak bisa memikul sedikit saja kotoran. Termasuk dari bab ini adalah sabda Rosululloh –shollallohu ‘alaihi wasallam- kepada ‘Umar: “Tahukah engkau wahai ‘Umar, bisa jadi Alloh melihat kepada pasukan Badar dan berkata: “Beramallah kalian semau kalian, karena sungguh Aku telah mengampuni kalian.” inilah yang menghalangi Rosululloh –shollallohu ‘alaihi wasallam- membunuh orang yang memata-matai beliau dan kaum Muslimin dan mengerjakan dosa besar macam ini. Maka Rosululloh –shollallohu ‘alaihi wasallam- memberitakan bahwasanya orang ini ikut dalam perang Badar. Ini menunjukkan bahwasanya kesalahan yang menuntut dia dihukum itu ada, akan tetapi ikutnya dia dalam peperangan yang agung itu menghalangi dilaksanakannya hukuman tadi. Maka ketergelinciran yang besar tadi ditutup dengan kebaikan-kebaikannya. Ketika Rosululloh –shollallohu ‘alaihi wasallam- menyemangati orang untuk bershodaqoh, Utsmanpun mengeluarkan shodaqoh yang sangat besar. Maka bersabdalah Nabi –shollallohu ‘alaihi wasallam-: “Apa yang dikerjakan ‘Utsman setelah ini tidaklah membahayakannya.” Beliau juga bersabda pada Tholhah ketika dirinya merundukkan dirinya agar Nabi –shollallohu ‘alaihi wasallam- menaiki punggungnya saat mendaki suatu batu besar (saat beliau –shollallohu ‘alaihi wasallam- terluka di perang Uhud) maka beliau bersabda: “Ini mengharuskan Tholhah masuk Jannah.” Ini juga Musa Kalimur Rohman ‘azza wajalla. Dirinya melemparkan lembaran-lembaran papan Taurot yang di situ ada kalamulloh yang dituliskan untuknya. Dilemparkannya papan tadi ke tanah sampai pecah (saat beliau marah karena melihat kaumnya menyembah patung anak sapi). Dan beliau juga menempeleng mata malakul maut sehingga tercungkillah matanya. Beliau juga sedikit mengkritik Robbnya di malam Isro tentang Nabi –shollallohu ‘alaihi wasallam- dan berkata: “Anak muda ini datang setelahku, tapi yang masuk Jannah dari umatnya lebih banyak daripada orang yang masuk Jannah dari umatku.” Beliau juga mengambil jenggot Harun dan menariknya ke arahnya padahal Harun adalah Nabi Alloh. Ini semua tidak mengurangi kadar beliau sedikitpun di sisi Robbnya. Robbnya ta’ala memuliakannya, mencintainya, karena perkara yang ditegakkan Musa, dan musuh yang menantangnya, juga kesabaran yang dipikulnya, serta gangguan yang beliau alami di jalan Alloh merupakan perkara yang tidak terpengaruh oleh semisal perbuatan-perbuatan tadi, tidak merubah nilai beliau, tidak menurunkan kedudukan beliau. Ini merupakan perkara yang telah diketahui oleh manusia dan menetap di fitroh mereka, bahwasanya orang yang punya ribuan kebaikan, dia itu dimaafkan karena satu atau dua kesalahan dan semisalnya, sampai terjadi tarik-menarik antara penyeru hukuman karena kesalahan, dan penyeru syukur karena kebaikan, hingga penyeru syukur mengalahkan penyeru hukuman, sebagaimana dikatakan: “Apabila sang kekasih melakukan satu dosa, datanglah kebaikan-kebaikannya dengan seribu pemberi syafaat.” (“Miftah Daris Sa’adah”/1/hal. 176-177).

Demikianlah penilaian kami terhadap Asy Syaikh Robi’ Al Madkholiy –hafizhohulloh-, wallohu a’lam. Dan bukanlah beliau itu pengekor hawa nafsu, ataupun tukang bid’ah dan penyelewengan. Dan keadaan serta sikap beliau sangatlah beda dibandingkan dengan ‘Ubaid Al Jabiriy ataupun Muhammad bin Abdil Wahhab Al Wushobiy.

            Jawaban keempat: Adapun Asy Syaikh Robi’ Al Madkholiy –hafizhohulloh- maka beliau adalah mujtahid, dan kita tahu bersama kejujuran beliau. Maka sama sekali tidak pantas kamu dan para majikan kamu mengharuskan kami mengatakan bahwasanya beliau itu adalah termasuk Mar’iyyin. Kita katakan bahwasanya beliau itu tidak ma’shum. Kita tidak tahu isi hati beliau. Tapi jika beliau telah berijtihad semampunya ternyata salah, maka ( إن شاء الله) beliau akan mendapatkan satu pahala dan beliau diampuni. Al Imam Ibnul Qoyyim –rohimahulloh- berkata kepada para ahli taqlid:

أجل هو مأجور لاجتهاده ، وأنت غير مأجور لأنك لم تأت بموجب الأجر ، بل قد فرطت في الاتباع الواجب فأنت إذا مأزور . فإن قال : كيف يأجره الله على ما أفتى به ويمدحه عليه ويذم المستفتي على قبوله منه ؟ وهل يعقل هذا ؟ قيل له : المستفتي إن هو قصر وفرط في معرفته الحق مع قدرته عليه لحقه الذم والوعيد ، وإن بذل جهده ولم يقصر فيما أمر به واتقى الله ما استطاع فهو مأجور أيضا. وأما المتعصب الذي جعل قول متبوعه عيارا على الكتاب والسنة وأقوال الصحابة يزنها به فما وافق قول متبوعه منها قبله وما خالفه رده ، فهذا إلى الذم والعقاب أقرب منه إلى الأجر والصواب. (“إعلام الموقعين عن رب العالمين” /2 / ص 470).

“Memang beliau mendapatkan pahala karena ijtihadnya, sementara kamu tidak mendapatkan pahala karena kamu tidak mendatangkan perkara yang mengharuskan adanya pahala. Bahkan kamu telah bersikap kurang dalam menjalankan ittiba’ (ikut dalil) yang wajib dilakukan, makanya kamu justru berdosa. Jika dia berkata: “Bagaimana Alloh memberi beliau pahala terhadap apa yang difatwakannya, dan memujinya, tapi Alloh mencela orang yang memintanya fatwa karena menerima fatwanya tadi? Apakah ini masuk akal?” jawabannya adalah: Si penanya jika dirinya kurang bersungguh-sungguh dalam mencari al haq padahal dirinya mampu untuk mencarinya, maka dia itu pantas terkena cercaan dan ancaman. Tapi jika dia telah mencurahkan kesungguhannya dan tidak bersikap kurang dalam melaksanakan apa yang Alloh perintahkan untuk mencarinya, dan dirinya telah bertaqwa pada Alloh semampunya, maka diapun mendapatkan pahala juga. Adapun orang yang muta’ashshub (fanatis) dan menjadikan ucapan orang yang diikutinya itu sebagai timbangan Al Kitab, As Sunnah dan ucapan para shohabat, dan dia itu menimbang semua itu dengan ucapan orang yang diikutinya, yang cocok dengan ucapan orang yang diikutinya diterimanya, tapi yang tidak cocok dengan ucapan orang yang diikutinya itu ditolaknya, maka orang macam ini lebih dekat kepada celaan dan hukuman daripada pahala dan kebenaran.” (“I’lamul Muwaqqi’in”/2/hal. 470).

Jawaban kelima: hizbiyyun itu memang tidak adil. Pada awal-awal fitnah ini ketika ana mendapati sebagian dari mereka berjalan di atas kaidah yang batil, maka ana mengkritik mereka dan berkata: “Berarti kesimpulannya kalian itu begini, begini, dan begini.” Bingunglah mereka dalam menjawab dan berlindung di balik kedustaan. Ternyata berteriaklah si Ihsan (salah ustadz kebanggaan mereka): “Kok sukanya pakai lazimul qoul, padahal lazimul qoul kan bukan qoul!” dan didukung oleh Mundzir (ustadz kebanggaan mereka juga) dengan memakai ucapan Al Imam Asy Syaukaniy –rohimahulloh- di “As Sailul Jarror”. Maka cukuplah ana surati si Mundzir, ana tampilkan kaidah-kaidah yang benar di situ, dan bagaimana praktek salaf dan zaman dulu sampai sekarang, dan ana jelaskan bahwasanya  Al Imam Asy Syaukaniy –rohimahulloh- di “As Sailul Jarror” sedang bicara tentang pengkafiran orang yang zhohirnya masih Muslim. Ana jelaskan pembahasan ini panjang lebar, silakan dirinya dan si Ihsan bekerja sama untuk membantahnya secara ilmiyyah sebagai seorang pengikut Al Qur’an, As Sunnah dengan manhaj salaf.

Semoga tulisan ini sampai kepada Mundzir dkk, dan silakan mereka menampilkan surat ana tiga tahunan yang lalu itu di tempat-tempat yang bisa dilihat oleh umat sehingga umat yang berakal bisa menilai siapakah yang berada di atas dalil dan kebenaran, dan siapakah yang cuma pakai sepenggal-dua penggal dalil atau atsar ternyata salah dalam penerapan. Wallohul muwaffiq. Dan sampai sekarang mereka masih menyembunyikan surat jawaban Abul ‘Abbas Luthfi As Sulawesiy buat ana dengan alasan takut terjadi fitnah. Demikianlah alasan para hizbiyyun sejak dulu. Ana yakin mereka takut akan tersingkapnya kelemahan argumentasi si Luthfi tersebut jika sampai ke tangan ana. Di antara contoh kelemahan si Luthfi (tapi bukan manhajiy dan bukan dari sisi argumentasi) adalah bahwasanya Si Alimuddin Al Maidaniy Al Hizbiy (Abu Mahfut?) menyebutkan bahwasanya Luthfi dalam surat tersebut berkata bahwasanya dirinya menjawab surat Abu Fairuz (yang berbahasa Arab) dengan bahasa Indonesia karena tidak lancar menulis dengan bahasa Arab. Kurang lebih demikian ucapannya.

Kita kembali ke inti pembahasan. Para hizbiyyun menuduh para Salafiyyun dalam membeberkan dan meruntuhkan kebatilan mereka memakai lazimul qoul. Padahal sekarang justru si Dul Malang justru pakai lazimul qoul dalam menghantam kami. Seakan-akan dirinya bilang: “Al Hajuriy menganggap malzamah-malzamah dari Dammaj telah dijamin kebenaran. Berarti dia meyakini telah lepas dari kesalahan. Berarti sejajar dengan sabda Nabi –shollallohu ‘alaihi wasallam-. Berarti sama dengan Al Qur’an. Berarti … berarti …”

Ini semua telah terbantah di Apel (seri 1).

Sekarang si Dul juga main-main dengan lazimul qoul. Seakan-akan dirinya bilang: “Kalian menuduh para ustadz itu Mar’iyyun. Berarti para masyayikh juga Mar’iyyun. Berarti Asy Syaikh Robi’ menurut kalian juga Mar’iyyun! Berarti…”

Bukan demikian wahai aborigin yang bodoh (sering lempar bumerang (pinjam kamus si Dul sendiri di hal. 41) tapi balik kena sendiri). Orang yang tidak mengatakan kedua anak Mar’i itu hizbiy, bukan berarti dia juga anggota Mar’iyyin. Tapi manakala para ustadz kamu itu membelanya habis-habisan, mencaci Syaikhuna Yahya Al Hajuriy –hafizhohulloh- dan yang bersama beliau, memancangkan panji-panji permusuhan dengan Salafiyyin Dammaj, dan punya beberapa pemikiran yang selaras dengan si Mar’i, maka memang mereka itu Mar’iyyun. Adapun Asy Syaikh Robi’ –hafizhohulloh- tidak sampai demikian. Jauh sekali perbedaannya.(1)

Banyaklah belajar dan mohon taufiq biar kamu paham dan tidak jadi katak dalam tempurung (pinjam kamus si Dul sendiri hal. 3).

Sungguh memalukan, bahwasanya kamu punya banyak kitab-kitab salaf ternyata kamu cuma bagaikan keledai yang memanggul kitab-kitab (pinjam kamus si Dul sendiri hal. 34).

Banyaklah belajar dan jangan sibuk menjadi kolektor sepatu perempuan (lihat cover buku si Dul).

Ternyata hizbiyyun memang tidak adil dalam menerapkan kaidah sendiri. Caci-maki orang karena dianggap pakai lazimul qoul, ternyata mereka sendiri melakukannya.

Ana cukupkan sampai di sini, dan semua ini cukup sebagai pelajaran bagi orang-orang yang berakal dan mendapatkan taufiq. Dan ana ucapankan (جزاكم الله خيرا) kepada Akhuna Abu Yusuf Al Ambony dan yang lainnya atas seluruh bantuan yang diberikan.

 

والله تعالى أعلم. سبحانك اللهم وبحمدك لا إله إلا أنت أستغفرك وأتوب إليك.

والحمد لله رب العالمين.

 

Dammaj, tanggal revisi 6 Romadhon 1431 H

Ditulis oleh Al Faqir Ilalloh ta’ala

Abu Fairuz Abdurrohman Al Qudsiy

Al Indonesiy

 

 

 


([1]) Tulisan ini dikeluarkan sebelum wafatnya Asy Syaikh Ahmad An Najmiy –rohimahulloh-.

([2]) Abu Fairuz berkata waffaqohulloh: dia itu (sebagaimana pengakuannya sendiri) telah tahu kebatilan Abul Hasan. Jika memang dia itu membencinya (dan wajib baginya untuk membencinya) kenapa membiarkan teman-teman dekatnya mengikuti Abul Hasan?

([3]) Kata Abu Fairuz waffaqohulloh: harom baginya untuk melarang penyebaran tahdzir ulama terhadap kebatilan Abul Hasan. Adapun penampilan dirinya untuk melarang tulisan-tulisan pihak Abul Hasan, maka yang demikian itu hanyalah kamuflase belaka. Silakan ikuti terus pemaparan Syaikh Al ‘Amudiy agar makin jelas bagi kita bahwasanya Abdulloh itu termasuk Hasaniyyun.

([4]) Makna ushuliy: Ahli ushul fiqh. Ini diucapkan oleh Asy Syaikh Al ‘Amudiy –hafizhohulloh- karena Abdulloh Mar’i dalam malzamahnya “Mi’yar” membangga-banggakan hikmah dan ilmu ushul fiqhnya.

([5])  Abu Fairuz  waffaqohulloh menjawab: karena Abdulloh demi syiar “maslahat dan mafsadah” lebih memilih mengurusi bisnis dan mengemis atas nama dakwah, sebagaimana akan datang penjabarannya dalam bab berikutnya.

([6])  Demikianlah lafazhnya di “Zajrul ‘Awi/3/hal. 33. Adapun Abu Umar Ahmad Al Hadhromiy –hafizhohulloh- berkata: yang benar adalah Adil Ba Faqih. Wallohu a’lam.

([7]) Asy Syaikh Muhammad Al ‘Amudiy –hafizhohulloh- berkomentar: saudara dia Abdurrohman Mar’i si ular belang juga berkata semacam ini.

([8]) Catatan Abu Fairuz –waffaqoniyallohu-: anak buah Abdulloh Mar’i telah mahir mengemis dan terbiasa dengan ajaran dari syaikhnya tersebut. Tapi entah seperti apa isi ceramah tadi sehingga mereka malu untuk menyebarkan kasetnya.

(1) – Bukti yang paling kongkrit dari masalah ini adalah bahwa Syaikh Robi’ hafidhohulloh- masih menghormati Syaikh Yahya dan Darul Hadits Dammaj, tidak pernah kita dapatkan beliau menyebut Syaikh Yahya dengan sebutan-sebutan miring model Mar’iyyin seperti si Dul ini, bahkan untuk menyebut nama langsung beliau (Yahya tanpa julukan Syaikh) jarang kita dapatkan apalagi kalau sampai mencacinya, demikian pula beliau masih menganjurkan para pelajar untuk rihlah ke Dammaj, ini semua menunjukkan bahwa beliau sangat sayang terhadap keutuhan Darul Hadits dan benar-benar usahanya adalah untuk membela manhaj dan dakwah dan ahlus sunnah bukan sekedar bantai-membantai atau tahdzir-tahdziran atau banyak banyakan pengikut, atau berlaku nifaq dan kedustaan, jelas sangat jauh perbedaan kondisi dan mauqif beliau dengan para Mar’iyyin, baik yang di Yaman atau cabangnya di Indonesia yang terkordinir di dalam tempurung Dammaj Habibah, yang penuh dengan sikap dan sifat kemunafikan dan kefasikan serta tidak adanya rasa taqwa yang membawa kepada kejujuran dan inshof serta mengikuti fakta dan realita.[Abu Turob]

Mengingat Kembali

Kebusukan Abdul Ghofur Al Malangi (3)

Apel Manalagi Buat Cak Malangi (seri 3)

Kesembronoan Abdul Ghofur Al Malangiy

Dalam Kasus Syaikh Salim Al Hilaliy

 

Ditulis oleh:

Abu Fairuz Abdurrohman Al Qudsy Al Jawy

Al Indonesy

-semoga Alloh memaafkannya-

 

Darul Hadits Dammaj

Yaman

-Semoga Alloh menjaganya-

 

بسم الله الرحمن الرحيم

Kata Pengantar Seri Tiga

 

الحمد لله واشهد أن لا إله إلا الله وأن محمدا عبده ورسوله، اللهم صلى الله عليه وآله وسلم وسلم على محمد وآله وسلم، أما بعد:

Ini adalah risalah ketiga dari rangkaian  jawaban ana buat tulisan “Hampir-hampir Mereka … Jantan” karya Abdul Ghofur Al Malangiy yang isinya kritikan, tapi juga caci-makian, tuduhan palsu, kedustaan, dan kengawuran terhadap Asy Syaikh Al Ghoyur Yahya bin ‘Ali Al Hajuriy dan seluruh Salafiyyin Dammaj juga yang bersama mereka -hafizhohumulloh-.

Sebagaimana telah ana sebutkan pada seri sebelumnya bahwasanya perkara-perkara yang terbukti bahwasanya kesalahan itu memang ada pada kami, kami dengan jujur mengakuinya dan mengumumkannya. Kami tahu bahwasanya ini merupakan kewajiban kami (dan kewajiban setiap orang yang paham kesalahannya). Maka untuk apa menyombongkan diri di muka bumi sementara ubun-ubun kami ada di tangan Alloh?

Adapun Cak Dul perbuatannya benar-benar membuktikan bahwasanya dia ingin menjadikan para pembaca menjadi saksi akan kesombongannya untuk mengakui kesalahannya yang telah nyata terbongkar pada jawaban ana pada seri satu dan dua. Langkah lembut yang ana tempuh pada seri pertama ternyata tidak bisa melunakkan hatinya. Demikian pula tahap berikutnya pada seri dua yang tetap saja lebih lembut daripada tulisan Cak Dul, tetap saja tidak bisa menggerakkan hatinya yang tampak membatu. Ana beriman pada firman Alloh ta’ala:

إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ الله يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ  [القصص/56]

 “Sesungguhnya engkau tidak bisa memberikan petunjuk kepada orang yang engkau cintai, akan tetapi Alloh itulah yang memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Dia itu lebih tahu tentang orang-orang yang mengikuti petunjuk.” (QS. Al Qoshshosh: 56).

            Di dalam tulisan Cak Dul “Hampir-hampir…” secara bertubi-tubi dia menyerang Salafiyyin Dammaj melalui kasus Asy Syaikh Salim bin ‘Id Al Hilaliy -hafizhohulloh-. Inti kasus yang dituduhkannya adalah:

1- Masa lalu  Asy Syaikh Salim bin ‘Id Al Hilaliy -hafizhohulloh- yang sering dakwah bersama Sururiyyin dan Turotsiyyin.

2- Pencurian karya Yusuf Al Qordhowiy kitab “Ash Shobr”

3- Penyalahgunaan dana dari Ihya’ut Turots

Maka risalah ana ini akan membahasnya satu-persatu, -semoga Alloh memberikan taufiq-Nya-. Cak Dul silakan bersiap-siap.

 

Bab Satu: Masalah Kebersamaan Asy Syaikh Salim Al Hilaliy -hafizhohulloh- dengan  Sururiyyin dan Turotsiyyin

 

Cak Dul berkata: Telah sama kita ketahui betapa besar peran Salim Al Hilaly dalam mencabik-cabik dakwah Salafiyyah di Indonesia bersama Irsyadiyyun dan Sururiyyun (dan bukan hanya Indonesia!) bahkan bertahun-tahun malang melintang di berbagai penjuru dunia dengan peran besarnya sebagai gembong besar beking Hizbiyyun Ihya’ut Turats yang mendunia bersama Ali Hasan Al Halaby dkk. atau yang lebih dikenal sebagai Masyayikh Urdun.

Masih tersimpan rekam jejak kejahatannya ketika dia memuji gembong Irsyadiyyun Demokrathiyyun Chalid Bawazir sebagai si “Tangan Putih”.  (hal. 46).

 

Abu Fairuz -waffaqohullohu- berkomentar:

Komentar pertama: Pada asalnya ana sangat menghormati dan mencintai Al Imam Al Albaniy -rohimahullohu- (sejak mulai mengenal beliau sampai sekarang) dan seluruh murid beliau. Dari berbagai kitab yang dikarang oleh para murid beliau dan juga semangat para ustadz untuk menerjemahkan dan mengajarkan kitab-kitab mereka tampaklah bagi ana bahwasanya para murid Al Imam Al Albaniy adalah ulama Salafiyyun.

Komentar kedua: pada saat sengitnya pertempuran kita dengan Sururiyyun-Quthbiyyin-Turotsiyyin di Indonesia ana amat ingin para ulama Ahlussunnah itu bahu-membahu memerangi mereka, membantu sebagian kecil ulama yang menegakkan kewajiban ini (melawan Sururiyyin). Tapi pada saat itu ana dapati kenyataan yang menyedihkan: hanya sebagian kecil ulama yang menegakkan jihad ini, sebagiannya diam, dan justru sebagiannya malah berbaik sangka terhadap para hizbiyyun itu, dan membela mereka serta memenuhi undangan mereka. Akibatnya para hizbiyyun benar-benar memanfaatkan keadaan ini untuk menyerang Ahlussunnah. Di antara syubuhat mereka adalah:

“Kami ini adalah Salafiyyun. Buktinya para masyayikh bersama kami!”

“Kita tunggu ulama kibar!” (berhubung yang menyerang mereka cuma Asy Syaikh Robi’ Al Madkholiy dan beberapa masyayikh saja, sementara para masyayikh Sunnah yang saat itu bersama hizbiyyin –karena tertipu oleh mereka- tidaklah sedikit).

“Kalau memang kami itu salah, niscaya para masyayikh tadi tidak diam terhadap kami”

(Catatan: pola syubuhat semacam ternyata dipakai juga oleh Mar’iyyin yang terus-menerus dibela oleh Nyak Dul Ghofur).

Ini semua adalah syubuhat Sururiyyin-Quthbiyyin-Turotsiyyin yang juga diwarisi oleh Mar’iyyun. Kamu paham wahai Katak dalam tempurung!?

Jangan kamu jadikan kasus Sururiyyun-Quthbiyyin-Turotsiyyin cuma sebagai senjata untuk menyerang orang-orang yang kamu benci. Kamu juga hendaknya mengambil pelajaran agar tidak terjatuh ke dalam jurang tersebut. Tapi kenyataannya si katak Malang ini memang tidak puas sembunyi dalam tempurung di kebun apel Malang, ternyata malah jalan-jalan dengan sepatu merah jambunya sehingga terpeleset dan nyemplung di jurang sehingga wajahnya harus di Face-off. Akhirnya menjadi kodok berkepala keledai yang telinganya ditusuk bunga mawar.

            Komentar ketiga: Termasuk para masyayikh tipe tadi pada waktu itu adalah Asy Syaikh Salim bin ‘Id Al Hilaliy, Mashur Hasan Alu Salman, dan Ali Hasan Abdil Hamid Al Halabiy. Pada waktu itu ana –meskipun sedih- berusaha untuk tetap menempuh jalan yang disyari’atkan oleh Alloh ta’ala dan Rosul-Nya -shollallohu ‘alaihi wasallam- dan Salafush Sholih: BAIK SANGKA PADA ULAMA YANG PADA ASALNYA BERADA DI ATAS AS SUNNAH. Mengapa? Karena para hizbiyyun memang pandai –dan sengaja- bersandiwara di hadapan ulama Ahlussunnah untuk mengambil hati mereka.

Syaikhuna Yahya Al Hajuriy -hafizhohulloh- berkata:

والحزبيون الآن عندهم زحف على مشايخ السنة، يعني من حيث المجالسة والحضور والاحتفاء والالتفاف.

 “Para hizbiyyun sekarang gemar mengunjungi masyayikhus Sunnah, dalam bentuk duduk-duduk dengan mereka, hadir di sisi mereka, mengerumuni dan mengerubungi mereka.” (“Zajrul ‘Awi”/hal. 12/Asy Syaikh Al ‘Amudiy).

Asy Syaikh Shofiyur Rohman bin Ahmad -rohimahullohu- menyebutkan kesamaan firqotut Tabligh dengan Qodiyaniyyah:

وكلتا الاثتنين تفرغان جهودهما على الاختلاس والاختناس والاصتياد والتزلف إلى الحكام وأصحاب الاعتبار وذوي النفوذ، واجتذابهم إلى أنفسهم إلخ.

“Kedua firqoh ini mencurahkan kesungguhan mereka untuk menarik dan menjaring serta mendekat ke para penguasa, orang-orang terpandang dan para pejabat agar bisa menarik mereka ke dalam kelompok mereka …” (“Al Qoulul Baligh”/Asy Syaikh Hamud At Tuwaijiriy/hal. 21).

Ini pula yang dilakukan oleh Mar’iyyun terhadap para masyayikh di Yaman maupun di Saudi.

Ana berbaik sangka bahwasanya para masyayikh Yordan tadi pada waktu itu hanyalah tertipu oleh kamuflase para hizbiyyun tadi.

Cak Dul “Si Katak Dalam Tempurung” coba-coba bergaya menyebut-nyebut nama Al Imam Muqbil Al Wadi’iy -rohimahullohu- untuk menghantam Asy Syaikh Salim Al Hilaliy -hafizhohulloh-. Seberapa kitab Al Imam Al Wadi’iy yang telah ditelaah si katak dalam tempurung itu? Tahukah si Dul Apa hukum beliau terhadap para ulama yang tertipu?

Al Imam Al Wadi’iy -rohimahullohu- ditanya:

هل من ينسب إلى هذه الجماعات من الذين لا يعرفون عنهم أي شيء يعدّ منهم أم لا؟

“Apakah orang orang yang menisbatkan diri kepada jama’ah-jama’ah ini dari kalangan orang-orang yang tidak tahu keadaan mereka sedikitpun berarti dia itu termasuk dari kelompok mereka ataukah tidak?”

Maka beliau menjawab:

الذي ينتسب إليهم وهمه نصرة الدين ولا يعرف عنهم شيئاً فهو على نيته، لكن بعد أن يبلغ بأن هذه الجماعات مبتدعة ولا يجوز أن ينتسب إليها فقامت عليه الحجة وجب عليه أن يبتعد عن هذا. (“غارة الأشرطة”/2/ص34/دار الآثار).

“Orang yang menisbatkan diri kepada mereka padahal tujuannya adalah untuk menolong agama, dan dia itu tidak tahu keadaan mereka sedikitpun, maka dia itu berdasarkan niatnya. Tapi setelah sampai kepadanya bahwasanya jama’ah-jama’ah tadi adalah mubtadi’ah dan tidak boleh baginya untuk  menisbatkan diri kepada mereka maka telah tegak hujjah terhadapnya dan wajib baginya untuk menjauh dari yang demikian ini.” (“Ghorotul Asyrithoh”/2/hal. 34).

 

Komentar keempat: Ketika kitab-kitab yang membahas kebatilan  Sururiyyin-Quthbiyyin-Turotsiyyin makin banyak ditulis dan disebarkan, dan umat makin banyak yang sadar –kecuali yang telat mikir dsb- ternyata kita dapati  Asy Syaikh Salim bin ‘Id Al Hilaliy, Mashur Hasan Alu Salman, dan Ali Hasan Abdil Hamid Al Halabiy masih ikut acara-acara mereka dan menghadiri undangan-undangan mereka. Maka kamipun mulai berubah pandangan terhadap ketiga orang tadi, dan penghormatan kamipun terhadap mereka tidaklah seperti semula. Ana malas untuk mempelajari buku-buku mereka ataupun menukil kitab-kitab mereka.

Begitu pula gaya Asy Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab Al Wushobiy saat ini. Sudah jelas bahwasanya Ikhwanul Muslimin itu hizbiyyun, demikian pula Hasaniyyun, dan juga hizbul Ishlah. Tapi tetap saja dia rajin menghadiri undangan mereka –dengan alasan mendakwahi mereka agar tidak makin jauh-, makan-makan bersama mereka meskipun mereka mensyaratkan pada dirinya untuk tidak berbicara tentang kelompok-kelompok tadi saat ceramah. Bayangkan: bukan saja di masjid-masjid Mar’iyyin yang Cak Dul buta (atau membutakan diri sampai ada komando dari atasan untuk berobat) terhadap hizbiyyah mereka, bahkan kelompok-kelompok yang para Salafiyyun telah sepakat atas kehizbiyyahan mereka pun rajin juga dikunjungi oleh Muhammad bin Abdil Wahhab Al Wushobiy.

Gimana Cak Dul? Tulisan-tulisan tentang Al Wushobiy sudah kami sebar banyak sekali. Juga ada di Aloloom As Salafiyyah yang kamu cari-cari kekurangannya. Kenapa kamu teriaki mereka, tapi kamu bungkam terhadap yang ini? Mana keadilan yang kalian gembar-gemborkan? Mana kejantanan yang kamu suarakan? Pakai saja kaos kebanggaanmu: SAIF-SAIF DZULWAJHAIN (hal. 45).

Jika benar-benar kamu tidak tahu kejadian tersebut (padahal kasus itu terulang lebih dari tigapuluh kali) maka dengan jantan pakailah kaos Dagadu kamu: “Katak Dalam Tempurung”. Silakan rujuk kembali data-data yang amat menjengkelkan dalam kasus itu di dalam malzamah: “Adhror Nuzulisy Syaikh Muhammad Al Wushobiy fi Masajidil Hizbiyyin” karya mustafid Abu Zaid Mu’afa Al Hudaidiy. Sekarang telah dicetak oleh Maktabah Al Falah menjadi kitab dengan judul yang sama.

Kalau Abdul Ghofur Al Malangiy tidak cukup jantan untuk mengakui “Gap-For”nya (gagap informasinya) atau takut mengakui ketidakadilannya, maka untuk apa menggambar PDL dan sepatu perempuan? Pakai sendiri saja sepatu female-mu tadi, gantung saja PDL di lehermu, kibarkan bendera: Biarlah hamba menjadi seorang yang penakut” (pinjam pengakuan si Dul di hal. 45).

Komentar kelima: Ketika terbongkarnya hizbiyyah Abul Hasan Al Mishriy, berbagai tahdzir dan bayan disebarkan oleh Asy Syaikh Yahya Al Hajuriy -hafizhohulloh- beserta masyayikh Darul Hadits Dammaj, dan akhirnya didukung oleh para ulama yang lain sampai terbuka mata umat bahwasanya Abul Hasan bersama Jam’iyyatul Birr itu hizbiyyun, ternyata Ali Hasan Al Halabiy gigih membela Abul Hasan –sampai sekarang-. Sementara Asy Syaikh Salim Al Hilaliy tidak ketahuan suaranya. Kadar kebatilan memang bertingkat-tingkat, tapi tetap saja para masyayikh Yordan tadi luntur pamornya di mata kami selama mereka tidak mengumumkan baro’ terhadap para hizbiyyun di atas.

Komentar keenam: Pada awal-awal tahun 1430 H Asy Syaikh Yahya Al Hajuriy -hafizhohulloh- ditanya tentang para masyayikh Yordan tadi, maka beliaupun mengkritik mereka. Ternyata suara beliau langsung menyebar ke mana-mana. Pada tanggal 13 atau 14 Robi’ul Awwal 1430 H sampailah ke Dammaj surat dari Asy Syaikh Salim Al Hilaliy  (yang telah diterjemahkan) sebagai berikut:

بسم الله الرحمن الرحيم

الحمد لله وحده، والصلاة على نبيه وعبده، وآله وصحبه ووفده.

Dari Salim bin ‘Ied Al Hilaaly.

Untuk saudaranya fillah Syaikh Yahya Al Hajury semoga Allah memberikan kepadanya taufiq dalam segala kebaikan dan menjaganya dari setiap kejelekan dan kejahatan dan juga untuk saudara-saudaranya para masyayikh da’wah salafiyyah di negri Yaman yang bahagia semoga Allah membahagiakan mereka dengan kebaikan dan menjaga mereka dari kemungkaran.

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Kemudian daripada itu:

Setelah bertanya tentang keadaan dan kabar Anda, aku berharap kepada Allah subhanahu wata’ala agar Anda dalam keadaan kebaikan dan keselamatan baik agama maupun dunia serta keluarga dan juga saudara-saudara Anda para masyayikh dan semua murid-murid Anda.

            Saudaraku yang mulia, sesungguhnya menjaga hubungan di antara kita termasuk sebab terbesar dalam menjelaskan kebanyakan permasalahan yang terkadang tercampur di dalamnya penukilan, tergoncang di dalamnya ucapan, serta dikacaukan oleh orang-orang yang memiliki tujuan yang dalam hati mereka ada hasrat-hasrat.

Hal ini dengan karunia Allah kepada kita termasuk perkara yang paling jelas sebagai dalil dan penguat, yang mana barangkali Anda ingat saat aku kirim surat kepada Syaikh Muqbil: meminta musyawarah pada beliau tentang pembangunan markiz Al Imam Al Albani : dan Andalah -semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan- yang menyampaikan jawaban beliau dan sikap beliau saat kita bertemu di Inggris dalam pertemuan yang bersifat persaudaraan itu.

Saudaraku yang tercinta, -semoga Allah memuliakannya dengan ketaatan dan menolongnya dengan sunnah-, sesungguhnya aku dengan karunia Allah dan taufiq-Nya masih terus -dan juga sebelum itu- dengan idzin Allah mencintai da’wah salafiyyah, menyeru kepadanya, kokoh di atasnya sebagaimana yang telah kami pelajari dari para Masyayikh kami Syaikh Albani Syaikh ibnu Baaz, Syaikh Al Utsaimin, Syaikh Muqbil rohimahumulloh jami’an saling menolong dengan salafiyyin di setiap tempat dan waktu, kami berlepas diri kepada Allah dari ahlil bid’ah, hizbiyyun dan orang-orang yang menempuh jalan mereka.

Maka untuk itu sikapku terhadap pergerakan hizbiyyah dan yang bercabang atasnya atau darinya telah diketahui sebagaimana dalam kitabku “Al Jama’at Al Islamiyyah Al Mu’ashiroh fi Dho’il Kitab was Sunnah bi Fahmi As Salafish Sholih” yang aku tulis sejak tiga puluh tahun yang lalu.

Adapun mereka para da’i-da’i yang awal mulanya -yang nampak bagi kita- di atas rel keumuman bersama salafiyyin kemudian berbalik haluan dari salafiyyah dan para masyayikh kami dengan kasar seperti Ar’ur[1], Al Magrowi[2], dan Al Ma’ribi[3], maka aku bukanlah dari mereka sedikitpun, tidak di waktu sekarang dan tidak pula di waktu mendatang sampai mereka kembali ke da’wah yang berkah ini dan meninggalkan ahlal bid’ah, yang mana mereka memujinya dan kembali dari ucapan-ucapan yang menyelisihi dasar-dasar da’wah salafiyyah dan yang mengokohkannya.

Dan juga yang mengikuti mereka, dari kalangan berbagai Jam’iyyat (Yayasan) di Kuwait, di Emirat, di Yaman… yang zhohirnya salafiyyah tapi batinnya hizbiyyah yang patut dibenci. Adapun Muhammad Hassan[4] dan Al Huwaini[5] serta anak buahnya dari orang-orang Mesir sungguh telah aku jelaskan keadaan mereka di sebagian kitab-kitabku dan di berbagai macam pelajaran-pelajaranku maka mereka bukanlah salafiyyin sejak awal bahkan mereka Quthbiyyun hingga akarnya.

Dan adapun siapa yang memuji mereka di negri kami, merekomendasinya, memberikan berbagai udzur untuk mereka, maka mereka tidak ada hubungan denganku sejak dua tahun yang lalu baik dekat maupun jauh.

Adapun  permasalahan pemilu, itu menurutku rancangan iblis yang dipergunakan oleh pedagang-pedagang da’wah sebagai batu loncatan, dan aku tidak mendukungnya baik pangkal atau kulit arinya, dan telah aku jelaskan hal itu dengan rinci dan asal muasalnya dan dalam kitabku “Manahij Al Harokat Al Islamiyyah Al Mu’ashiroh Fi Taghyir ‘Ardh wa Naqd”.

Dan meskipun sedikitnya hubungan di antara kita, akan tetapi kami senantiasa menyebutmu dengan baik dan kami menganjurkan Thullab –setiap kami diminta pendapat- untuk berhubungan dengan Darul Hadits di Dammaj. Markiz ini telah dianggap sejak zaman Syaikh Muqbil : termasuk dari tempat-tempat Salafiyyah yang benar di alam ini, dan aku berharap untuk tetap seperti itu.

Barangkali risalah ini bisa sebagai pembuka kebaikan untuk saling menolong sesama kita dalam kebaikan dan taqwa dan untuk saling nasehat menasehati di dalam kebenaran dan kesabaran, saling menyayangi, bertukar pendapat dalam perkara yang membantu kita semuanya untuk istiqomah di atas manhaj salafy yang benar, dan aku  mengharap Anda dan juga para masyayikh di Negri Yaman yang bahagia untuk mendapatkan setiap kebaikan dan Taufiq.

Aku memohon kepada Allah  subhanahu wata’ala untuk menyatukan kalimat kita di atas kitab-Nya dan Sunnah Nabi-Nya dan di atas pemahaman Shohabat yang mulia menyatukan lagi keretakan kita, mengkokohkan persatuan kita, menolong da’wah kita, memberkahi perjuangan kita dan menjaga kita dan kalian dari kejahatan orang-orang kafir, ahlul ahwa dan bid’ah serta tidak menjadikan untuk mereka jalan untuk menyerang kita.

إنه وليّ ذلك والقادرعليه

Saudaramu yang mencintai

Abu Usamah Al Hilaly

12/Robi’ul Awwal/1430

 

            Komentar ketujuh: surat di atas cukup untuk menunjukkan pernyataan rujuk beliau dari kesalahan-kesalahan di masa lalu.

Adapun jika perkataan si Dul: “Asal dia datang ke Darul Hadits Dammaj, menyatakan sikap idemnya, mengeluarkan pujiannya, tak perlu lagi bagi dirinya untuk mengikuti syarat-syarat taubat yang sedemikian ketat sebagaimana syarat yang diajukan kepada da’i lokal Ja’far Umar Thalib …” (hal. 48).

Terkesan bahwasanya Syaikh Salim -hafizhahulloh- cukup datang ke Darul Hadits Dammaj, menyatakan sikap idemnya, mengeluarkan pujiannya, tak perlu lagi bagi dirinya untuk mengikuti syarat-syarat taubat.

Jika benar inilah yang dimaksudkan oleh si Dul, maka tentunya si Dul salah besar. Pernyataan rujuknya dari kesalahan di masa silam itu dikeluarkan kepada kami sekian bulan sebelum beliau datang ke sini. Rentang waktu di antara dua kejadian ini cukup untuk menilai apakah tokoh tadi konsekuen dengan pernyataan rujuknya ataukah tidak. Kan tidak harus setahun, Dul untuk membuktikan kejujuran rujuk itu.

            Ibnu Hajar -semoga Alloh merohmatinya- berkata,”Adapun hukum yang kedua –yaitu kapankah jelasnya tobat pelaku maksiat?- maka para ulama itu berselisih pendapat juga. Ada yang berkata,”dilihat kebersihannya selama setahun”. Ada yang berkata,”Enam bulan.” Ada yang bilang,”Limapuluh hari sebagaimana dalam kisah Ka’ab -bin Malik-.” Ada yang bilang,“Tiada batasan yang tertentu. Akan tetapi dia itu berdasarkan dengan ada faktor penyerta yang menunjukkan kejujuran pengakuan tobatnya. Akan tetapi yang demikian itu tidak cukup satu jam atau satu hari saja. Dan juga yang demikian itu berbeda-beda sesuai dengan perbedaan kriminalitas dan pelakunya.” Ad Dawudy membantah orang yang membatasinya dengan lima puluh hari karena mengambil kisah Ka’b. Beliau berkata,”Nabi -shollallohu ‘alaihi wasallam- tidak membatasinya dengan lima puluh hari. Namun beliau menunda berbicara dengan mereka sampai Alloh mengidzinkannya.” Yaitu: Kisah itu merupakan kejadian khusus, maka tidak bisa dipakai untuk dalil umum.

An Nawawy berkata,”Adapun mubtadi’ dan orang yang membikin suatu dosa besar dan dia belum bertobat darinya, maka dia itu jangan disalami, dan jangan dijawab salamnya, sebagaimana pendapat sekelompok ulama. Al Bukhory mendukung pendapat tadi dengan dalil kisah Ka’b bin Malik.”

Pembatasan pendapat tadi dengan ucapan beliau “bagi orang yang belum bertobat” itu bagus. Akan tetapi pendalilannya dengan kisah Ka’b perlu diteliti lagi, karena Ka’b telah menyesali perbuatannya dan bertobat. Namun Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wasallam- menunda berbicara dengannya sampai Alloh menerima[6] tobatnya. Maka kasusnya adalah bahwasanya dia itu tidak diajak bicara sampai tobatnya itu diterima[7].

Bisa kita menjawab: bahwasanya mungkin saja kita mengetahui penerimaan tobat di dalam kisah Ka’b. Adapun bagi orang-orang setelah Ka’b, maka cukuplah dengan penampakan alamat penyesalan, berhenti dari kejahatannya, dan adanya tanda kejujuran tobatnya.”

(selesai penukilan dari “Fathul Bari”/17/hal. 485).

Apalagi, Dul, ternyata surat Asy Syaikh Salim Al Hilaliy tadi juga berisi berita bahwasanya beliau telah lama baro’ dari para penjahat yang dulu bersamanya, dan bahwasanya beliau telah menebarkan tulisan-tulisan yang berisi penjelasan kebatilan mereka dan kemudian mentahdzir umat terhadap mereka. Jika Cak Dul tak percaya silakan banyak-banyak chatting menelaah  tulisan-tulisan tadi, jangan jadi katak dalam tempurung.

Sekian bulan kemudian (tanggal 23-25 Jumadits Tsany 1430), datanglah  Asy Syaikh Salim Al Hilaliy -hafizhohulloh- ke Dammaj, dan ucapannya tidak melemah, tapi bahkan bertambah mantap. Bukan sekedar tahdzir terhadap Jam’iyyah Ihyaut Turots saja, tapi mentahdzir seluruh jam’iyyat, dan bahwasanya semuanya adalah hizbiyyah. Saat ditanya:

ما حال الجمعيات مطلقا ؟

“Bagaimana keadaan jam’iyyah-jam’iyyah secara mutlak?”

Maka beliau menjawab:

أما الجمعيات فمن معرفتي بواقعها وإن أسست على مبدأ التعاون فإن مسيرها إلى التحزب ، ما رأيت جمعية إلا وهي متحزبة ، وإن بدت في بدايتها بعيدة عن الحزبية ، أو أنها تحول أن تتملص عن الحزبية إلا أنيابها تنالها وتدخلها بين فكيها ، فالجمعيات كلها متحزبة ، إلا من رحم الله وقليل ما هي، حسب معرفتي، وحسب علمي، وحسب خبرتي في هذه الجمعيات

“Adapun Jam’iyyah maka yang aku tahu berdasarkan kenyataannya, walaupun didirikan pada mulanya atas dasar tolong-menolong, namun dalam perjalannya menuju hizbiyyah. Aku tidak melihat sebuah jam’iyyah pun kecuali dia itu hizbiyyah. Walaupun tampak pada awalnya jauh dari hizbiyyah atau dia telah berusaha untuk menyelamatkan diri dari hizbiyyah, namun taring-taring hizbiyyah telah mencengkramnya. Maka semua jam’iyyah adalah hizbiyyah, kecuali yang Alloh rahmati dan itu sangat sedikit. Ini sebatas pengetahuanku dan ilmuku serta pendalamanku tentang jam’iyyah-jam’iyyah tersebut.”

Lalu beliau ditanya:

الشيخ الكريم سليم الهلالي – سددكم الله – قلتم : لا تعرفون جمعية إلا وهي حزبية إلا من رحم الله وقليل ما هم ، ما مقصودكم ، ولمن هذا الاستثناء جزاكم الله خيرا .؟؟

“Syaikh yang mulia, Salim Al Hilaly –Semoga Alloh meluruskan Anda-, Anda mengatakan bahwa anda tidak mengetahui  jam’iyyah melainkan ada hizbiyyahnya, kecuali yang Alloh rahmati. Dan yang demikian itu yang jumlahnya sedikit. Apa maksud dari perkataan ini?? Dan untuk siapakah pengecualian ini?? Jazakumullohu Khoiron.”

Maka beliau menjawab:

يعني قصدي من هذا الاستثناء إن علم أحد أن هناك جمعية ليست حزبية فليخبرني حتى أغير موقفي من الجمعيات.

“Maksudku dengan pengecualian ini adalah: Jika ada seseorang mengetahui bahwa di sana ada sebuah jam’iyyah yang bukan hizbiyyah, maka beri tahukan kepadaku, supaya aku mengubah sikap terhadap jam’iyyah-jam’iyyah (tersebut).”

 

Komentar kedelapan: ( الحمد لله) Salafiyyun Dammaj telah matang –dengan seidzin Alloh dan karunia-Nya- dengan pertempuran menghadapi para mubtadi’ah dan berbagai tipe hizbiyyun, dan juga memperhatikan beraneka tipe watak manusia. Al Imam Al Wadi’iy -rohimahullohu- berkata:

كلما ازداد الداعي إلى الله ممارسة لأمر ازداد بصيرة به (“المخرج من الفتنة” /ط. الخامسة /ص 270).

“Setiap kali bertambah latihan seorang da’i ilalloh terhadap suatu perkara, bertambahlah bashiroh (ilmu yang dalam) dirinya terhadap perkara tersebut.” (“Al Makhroj Minal Fitnah”/hal. 170/cet. 5).

( الحمد لله) kami bisa melihat kejujuran beliau, juga keberanian beliau untuk menyelisihi kebanyakan ulama dalam masalah Jam’iyyat, juga keberanian beliau untuk mentahdzir tokoh-tokoh besar yang bisa saja anak buah mereka marah dan menyakiti beliau. Berdasarkan ini semua dan qorinah-qorinah yang lain maka kami merasa cukup untuk menerima rujuknya beliau. Lagi pula di tengah perjalanan nanti ada yang perlu diperbaiki tinggal saling tegur dan nasihat.

Adapun si Dul –pemegang panji “Katak dalam Tempurung Yang Jauh dari Kejantanan” maka tentu saja semua ini tidak cukup. Dengan apa si Dul merasa cukup sementara ilmunya terlalu dangkal, dan firasatnya terlalu lemah untuk memahami perkara seperti ini. Dia sendiri bilang:

“kami yang penuh kelemahan ini” (hal. 2)

“hamba yang penuh kelemahan ini” (hal. 45)

Tentu saja seluruh manusia itu punya banyak kelemahan, hanya saja kami sangat bersyukur atas bimbingan Alloh ta’ala sehingga bisa melihat seringai taring-taring serigala Mar’iyyah di balik tirai sutra. Beda dengan si Dul yang sok nulis tapi bebal dengan bayyinah dan hujjah karena sembunyi di tempurung yang terlalu tebal, ditambah lagi dengan tumpukan pupuk kandang yang dipakai para pekebun untuk menyuburkan kebun apel –semoga Alloh memberkahi dan membimbing mereka- tapi juga menimbun tempurung si Kodok Malang itu. Bagaimana kemilau surya hidayah masuk ke tempurung itu?

Di antara bukti kelemahan akal si Dul adalah dia menyamakan kasus Asy Syaikh Salim Al Hilaliy -hafizhohulloh- dengan kasus Ja’far Umar Tholib sang politikus. Kamu sendiri sudah tahu -wahai pencaci yang zholim- bagaimana Ja’far merusak sendiri pernyataan tobatnya untuk kembali ke Salafiyyah dengan bekerja sama dengan Yusuf Utsman Ba’itsa dan kelompoknya. Seperti ini tak ada dalam kasus Asy Syaikh Salim.

Kamu sendiri telah paham paham kelihaian JUT dalam berpolitik dan kelicinan lidahnya dalam berdebat. Bagaimana kamu samakan kasusnya dengan  kasus Asy Syaikh Salim? Di tempurung yang mana kamu taruh akalmu?

Sungguh tepat ucapan Abu ‘Ali -rohimahullohu- :

رسائل المرءٍ في كتُبه أدَلُّ على مِقدار عقله، وأصْدَقُ شاهداً على غيبه لك

“Risalah-risalah seseorang itu di dalam kitab-kitabnya itu paling bisa menunjukkan kadar akal dirinya, dan menjadi saksi yang paling jujur terhadap keadaan dirinya yang tersembunyi darimu.” (“Al Bayan Wat Tabyin”/1/hal. 67).

Sudah cukup puaskah engkau dengan bab ini, wahai Abdul Ghofur Malang? Jika sudah, maka ( الحمد لله) dan maafkan ana atas ucapan yang kasar. Sekedar sedikit pembalasan dari ana, dengan banyak mengembalikan istilah-istilah kotormu. Tapi jika engkau belum juga merasa ngeh (pinjam istilahmu) dengan penjelasan ini semua, cari dulu akalmu yang barangkali ada di bawah pijakan sepatu merah jambumu, baru kita lihat bersama: kamu sepadan atau tidak untuk adu hujjah dengan para Salafiyyun yang jarang chatting.

 

Bab Dua: Tuduhan Pencurian kitab “Ash Shobr”

 

Adapun tuduhan Cak Dul yang kedua adalah bahwasanya Asy Syaikh Salim Al Hilaliy -hafizhohulloh- mencuri kitab Ash Shobr karya si fajir Yusuf Al Qordhowiy Al Ikhwaniy.

Cak Dul berkata: “…tidak sedang melakukan PENCURIAN hasil karya orang lain (yang kemudian di atasnamakan sebagai tulisannya sendiri) sebagaimana perbuatan orang licik dan tercela yang telah paduka sekalian beri jubah kemuliaan dan kehormatan (Salim bin ‘Ied Al Hilaly yang “MENCURI” (plagiat kitab Sabar,red) ilmu SABARnya Gembong Besar Ikhwanul Muslimin Yusuf Al Qaradhawi) hanya karena dia sejalan dengan paduka dan memuji dakwah paduka!! (hal. 25)

Cak Dul juga menyuruh bagi yang belum ngeh (istilah dia) untuk merujuk kepada Oleh-oleh Abu Karimah Askari dari ‘Umroh. Di antara isinya adalah penukilan ucapan Abdulloh Al Bukhoriy:

Salim Hilali diantaranya salah satunya yang mirip dengan ‘Ali Hasan, beberapa tahun sebelumnya beliau (‘Abdulloh Al-Bukhori-red) membaca satu kitab kecil yang berjudul “Ash-Shobru Bil Kitab wa Sunnah aw Fil Qur’an was Sunnah” sabar dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Buku ini dikarang oleh Yusuf Al-Qordhowi, salah seorang tokoh Ikhwanul Muslimin, yang saya kira bukan terlalu asing mendengarkan namanya, ini tulisan buku Yusuf Al-Qordhowi , kemudian beberapa tahun berikutnya ada keluar tulisan berjudul “Ash-Shobr fi Dhou’I Al-Kitab was Sunnah” bersabar dalam cahaya Al-Kitab was Sunnah, maka saya membaca buku ini. Ketika dibaca, kata beliau seakan-akan aku pernah membaca buku ini tapi bingung dimana ini, setelah dingat lama, bukunya Yusuf Al-Qordhowi yang beliau dapatkandi perpusyakaan beliau sendiri, setelah dicocokkan ternyata foto copy, apa yan disebutkan didalam kitab Ash-Shobr fi Dhou’ul Kitab was Sunnah disitu tertulis karya Salim Al-Hilali, ternyata itu adalah foto copy dari buku Yusuf Al-Qordhowi, maka kata beliau bukunya Salim Al-Hilali saya masukkan ditengah-tengah buku Yusuf Al-Qordhowi, karena itu adalah induknya dan itu berjalan sekian lamabertahun-tahun lamanya kita biarkan seperti itu maka setelah sekian lama maka karena bukunya Salim Hilali sudah balik, maka dipisahkan dari Ibunya “. [menit +34]

Selesai penukilan.

 

            Tanggapan pertama: Kondisimu cukup mengkhawatirkan wahai katak dalam tempurung yang panjang lidah. Buku kamu setebal 51 halaman sama sekali tidak berisi bayyinah tentang kebenaran tuduhan tadi. padahal Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wasallam- bersabda:

لو يعطى الناس بدعواهم لادعى رجال أموال قوم ودماءهم ، ولكن البينة على المدعي ، واليمين على من أنكر

“Seandainya manusia diberikan sesuai dengan dakwaan mereka pastilah sekelompok orang akan mengaku-aku berhak atas darah orang dan harta mereka. Akan tetapi orang yang menuduh wajib untuk memberikan bayyinah. Orang yang mengingkari wajib bersumpah.” (HSR. Al Baihaqiy (3/hal. 312) dalam “As Sunan As Sughro”. Sebagiannya ada di “Ash Shohihain”).

Al Imam An Nawawiy -rohimahullohu- berkata:

وهذا الحديث قاعدة كبيرة من قواعد أحكام الشرع ، ففيه أنه لا يقبل قول الإنسان فيما يدعيه بمجرد دعواه ، بل يحتاج إلى بينة أو تصديق المدعى عليه ، فإن طلب يمين المدعى عليه فله ذلك . وقد بين صلى الله عليه وسلم الحكمة في كونه لا يعطى بمجرد دعواه ، لأنه لو كان أعطي بمجردها لادعى قوم دماء قوم وأموالهم واستبيح ، ولا يمكن المدعى عليه أن يصون ماله ودمه ، وأما المدعي فيمكنه صيانتهما بالبينة .

“Dan hadits ini adalah suatu kaidah yang besar dari kaidah-kaidah hukum-hukum syari’at. Di dalamnya ada penjelasan bahwasanya ucapan seseorang itu tidak diterima tuduhannya dengan semata-mata dakwaan. Bahkan wajib untuk mendatangkan bayyinah atau pembenaran dari si tertuduh. Boleh juga bagi sang penuduh untuk menuntut sumpah dari si tertuduh.” (“Syarh Shohih Muslim”/6/hal. 136).

Maka amatlah disayangkan: Cak Dul Ghofur dengan bangganya menampilkan tulisan setebal 51 halaman dan disebarnya di berbagai penjuru menuduh Asy Syaikh Salim Al Hilaliy -hafizhohulloh- tapi tanpa membawakan bayyinah. Orang yang berakal mestinya paham bahwasanya perbuatan macam ini bisa jadi akan menjadi bumerang bagi dirinya sendiri.

Bumerang pertama: ketahuan rendahnya kadar IQ Cak Dul sampai-sampai tidak mempertimbangkan adab-adab syari’at dalam bertindak. Yahya bin Kholid -rohimahullohu- berkata:

ثلاثةُ أشياء تدلُّ على عُقول أرْبابها: الكتاب يدُل على عقل كاتبه، والرسولُ يَدُل على عقل مُرْسِله، والهديَّةُ تدل على عقل مُهديها.

“Ada tiga perkara yang menunjukkan akal pemiliknya: Kitab menunjukkan akal penulisnya. Utusan menunjukkan akal sang pengutus. Hadiah  menunjukkan akal sang pemberi.” (“Al ‘Aqdul Farid”/1/hal. 170).

Bumerang kedua: Al Imam Ibnu ‘Asakir -rahimahulloh- berkata:

واعلم يا أخي وفقنا الله وإياك لمرضاته وجعلنا ممن يخشاه ويتقه حق تقاته أن لحوم العلماء مسمومة، وعادة الله في هتك أستار منتقصيهم معلومة؛ لأن الوقيعة فيهم بما هم منه براء أمره عظيم والتناول لأعراضهم بالزور والافتراء مرتع وخيم والاختلاف على من اختاره الله منهم لنعش العلم خلق ذميم… اهـ

“Dan ketahuilah wahai saudaraku –semoga Alloh memberi kami dan engkau taufiq kepada perkara yang diridhai-Nya, dan menjadikan kita termasuk orang yang takut kepada-Nya dan bertaqwa kepada-Nya dengan sebenar-benar taqwa- bahwasanya daging ulama itu beracun. Dan sudah diketahui bersama kebiasaan Alloh untuk merobek tabir penutup orang-orang yang merendahkan mereka. Hal itu dikarenakan celaan terhadap para ulama dengan suatu hal yang mereka itu berlepas diri darinya itu perkaranya besar sekali. Dan mengusik kehormatan mereka dengan kedustaan dan berita bohong itu adalah padang yang membahayakan. Dan menyelisihi orang yang telah dipilih oleh Alloh untuk mengangkat ilmu adalah merupakan akhlaq yang tercela…dst (“Tabyiin Kadzibil Muftari”/ Ibnu ‘Asakir / 29).

Bumerang ketiga: dosa riba terbesar: panjang lisan (menuduh atau mencaci) terhadap kehormatan Muslim tanpa kebenaran.

Bumerang keempat: masuk ke rodghotul khobal (perasan penduduk neraka)

Bumerang kelima:   orang yang bangkrut: datang pada hari kiamat dengan pahala sholat, puasa, dan zakat. Tapi dia datang dalam keadaan telah mencaci si ini, menuduh si itu, makan harta orang ini, menumpahkan darah orang itu, dan memukul si dia. Maka si ini diberi kebaikannya, si itu diberi kebaikannya. Jika kebaikannya telah habis sebelum dia membayar seluruh kewajibannya, diambillah dari kejelekan mereka lalu dipikulkan ke punggungnya, lalu dilemparkanlah dirinya ke dalam neraka.

Waduh Cak, bumerang-bumerang sebanyak ini berseliweran mengancam kepalamu. Seandainya kamu mau bertaqwa dan tidak menyombongkan diri terhadap nasihatku, dan mau merundukkan kepala kepada Alloh, ana amat berharap kamu selamat. Tapi ternyata ana dapati kamu memang bersikeras untuk mendongakkan kepala dengan sombong. Ungkapan Arob:

أنف في السماء واست في الماء

 “Hidungnya ada di langit, sementara pantatnya ada di air.”

Al Maidaniy -rohimahullohu- berkata:

يضرب للمتكبر الصغير الشأن.

“Permisalan ini diberikan buat si hina yang sombong.” (“Majma’ul Amtsal”/1/hal. 7).

Waduh Cak, Cak. Ini cocok sekali buat katak macam kamu. Cepat Cak, masuk dalam tempurung, keburu dihantam bumerang sendiri.

O ya mana si Abu Mahfut? Suruh bikin lawak: “Bumerang Itu Kini Telah Membikin Benjol Si Aborigin.”

            Tanggapan kedua: kamu mengambil berita dari Askariy, dan Askariy ambil berita dari Abdulloh Al Bukhoriy yang mengatakan bahwasanya buku Asy Syaikh Salim Al Hilaliy adalah fotokopi dari buku “Ash Shobr” punya si Qordhowiy. Maka ana tuntut kalian untuk menunjukkan bayyinah bahwasanya buku Asy Syaikh Salim Al Hilaliy adalah fotokopi dari buku “Ash Shobr” punya si Qordhowiy. Halaman berapa saja? Coba tunjukkan gambarnya jika kalian masih punya sisa kejujuran dan kejantanan. Jangan hanya bisa omong dan main tuduh. Berilah kami bayyinah.

Tanggapan ketiga: sekalipun Cak  “kodok” Dul sudah masuk tempurung, ana akan tetap memburunya dan menyumpal mulutnya dengan sepatu merah jambunya. Buka mulutmu, Cak:

            Setelah kalian menyerahkan bukti pada kami tentang kesamaan kedua buku tersebut, maka tunjukkanlah bayyinah lengkap dengan tanggal penulisan kedua buku tersebut yang menunjukkan bahwasanya buku Asy Syaikh Salim Al Hilaliy memang dikarang setelah buku si Qordhowiy.

            Tanggapan keempat: carilah tempurung yang lebih dalam, Cak karena sepatu merah jambumu masih terus mengincar kepalamu.

            Jika memang kalian bisa membuktikan bahwasanya buku Asy Syaikh Salim Al Hilaliy memang dikarang setelah buku si Qordhowiy, mana bukti bahwasanya beliau memang mencurinya dari buku si Qordhowiy?

Adapun sekedar adanya kemiripan tulisan dan terakhirnya tanggal pembuatan Asy Syaikh Salim, maka pertanyaan dariku adalah sebagai berikut: manakah dalil dari Al Qur’an yang menerangkan bahwasanya data semacam itu merupakan bayyinah yang cukup untuk menuduh? Kalian tak bisa jawab?

Sekarang tunjukkan dalil dari As Sunnah yang menjelaskan bahwasanya data macam tadi cukup sebagai bayyinah dalam menuduh. Kalian tak bisa tunjukkan dalil?

Kini berikanlah pada kami penjelasan dari para Shahabat atau tabi’in atau atba’ut tabi’in yang menyatakan bahwasanya data macam tadi cukup untuk menggelari si fulan sebagai pencuri atau telah mencuri. Tak mampu menunjukkan?

Jika maka kalian tak sanggup, hendaknya Cak Dul membacakan tulisannya sendiri pada dia dan teman-temannya: “Sesungguhnya hamba yang penuh kelemahan ini –Allahummaghfirli- hanya ingin mengetuk rasa malu paduka dan orang-orang yang sebarisan dengan paduka” (hal. 45)

Ucapkanlah juga omonganmu sendiri: “Kalaulah tidak memiliki rasa malu di depan ummat, tidakkah paduka sekalian masih memiliki sisa-sisa rasa malu terhadap diri sendiri” (hal. 45).

Bagus juga kalian muroja’ah lagi ucapan si Dul: “Masih pula memiliki muka menampakkan diri dan bermegah-megah kepada ummat dengan berhiaskan nama Asy Syaikh Rabi’ hafizhahullah untuk melariskan dagangan fitnah kalian?” (hal. 45)

Catatan: bukannya ana hendak memotong-motong ucapanmu. Hanya saja tulisan kamu itu kamu jadikan hidangan yang kamu sajikan pada kami. Dan ana senang untuk mengembalikan sebagiannya padamu agar kamu juga turut menikmatinya.

Tanggapan kelima: dengan jawaban-jawaban ana di atas, mestinya si Dul masih punya malu untuk menjuluki omongan Abdullah Al Bukhari sebagai “faidah ilmiyah” (hal. 49).

Dan tidak pantas baginya untuk mengelu-elukan tuduhan lembek kayak tadi. Maka silakan sekarang si Dul  mengeluh-eluhkannya (pinjam istilahmu hal. 49).

Coba perhatikan baik-baik: sekian banyak omonganmu jadi bumerang terhadap kalian sendiri. Bahkan lafazh “Bumerang” (istilahmu di hal. 41) benar-benar jadi bumerang buat dakwah kalian. Aborigin yang malang.

            Tanggapan keenam: Misalkan kita menerima bahwasanya Asy Syaikh Salim Al Hilaliy memang membaca buku Qordhowiy tadi. Lalu dia meringkasnya, dan merapikannya, dan memperbaiki kesalahan-kesalahan yang ada. Maka barangkali beliau punya imam yang berpendapat bahwasanya yang seperti itu tidak mengapa untuk dikatakan bahwasanya buku baru ini adalah jerih payah Salim Al Hilaliy.

Kamu tidak percaya bahwasanya beliau punya imam dalam hal ini? Jangan kalian jadi katak dalam tempurung, Cak. Coba baca “Al Badruth Tholi’” karya Al Imam Asy Syaukaniy -rohimahullohu- pada bagian tarjumah As Suyuthiy -rohimahullohu-. Setelah menyebutkan tuduhan yang bertubi-tubi dari Al Imam As Sakhowiy -rohimahullohu- terhadap As Suyuthiy -rohimahullohu- bahwasanya dirinya banyak mencuri karya para imam sebelumnya, Al Imam Asy Syaukaniy -rohimahullohu- membelanya:

فان هذا مازال دأب المصنفين يأتى الاخر فيأخذ من كتب من قبله فيختصر أو يوضح او يعترض أو نحو ذلك من الأغراض التى هى الباعثة على التصنيف ومن ذاك الذى يعمد الى فن قد صنف فيه من قبله فلا يأخذ من كلامه

“Ini memang menjadi kebiasaan para penulis, yaitu: penulis yang lain datang dan mengambil faidah dari kitab-kitab penulis yang sebelumnya lalu diringkas atau diperjelas atau ditentang dan sebagainya sesuai dengan tujuan-tujuan yang mendorongnya untuk menulis tersebut. Dan siapakah orang yang mengambil suatu bidang ilmu yang di situ orang-orang sebelumnya telah menulis ilmu di bidang tadi lalu orang yang berikutnya tidak mengambil ucapannya?” (“Al Badruth Tholi’”/1/hal. 316).

            Coba Cak, kurangilah jam chattingmu. Buka “Nailul Author”, dan bandingkanlah dengan “Fathul Bari” karya Ibnu Hajar. Apa kesimpulanmu?

Bukalah buku-buku fiqh Shiddiq Hasan Khon, dan bandingkanlah dengan buku-buku fiqh Asy Syaukaniy. Apa kesimpulanmu?

Jika benar bahwasanya Asy Syaikh Salim Al Hilaliy memang membaca buku Qordhowiy tadi, lalu dia meringkasnya, merapikannya, dan memperbaiki kesalahan-kesalahan yang ada, lalu menisbatkan buku yang baru ini kepada dirinya, maka barangkali Asy Syaikh Salim mengikuti madzhab Al Imam Asy Syaukaniy -rohimahullohu- atau yang sejalan dengan beliau.

Tentu saja ana pribadi ingin setiap orang yang mengambil manfaat dari tulisan orang lain dia menisbatkan faidah tadi pada pemiliknya, dan pandai bersyukur dan menghargai jerih payah pemiliknya. Yakni: sebaiknya dia menyebutkan darimanakah dia mengambil faidah tadi?

Tapi berhubung madzhab Asy Syaikh Salim memang ada imamnya mestinya kalian menghormatinya dan tidak menyalahkannya, sebagaimana kaidah orang-orang Mar’iyyun sendiri: “Kita jangan saling mengkritik, karena masing-masing pihak punya ulama juga.” Sementara Asy Syaikh Salim bukan cuma punya ulama, bahkan imam!

Wahai para pengekor Mar’iyyun, jangan cuma pandai bikin kaidah untuk melindungi kebatilan kelompok sendiri. Hendaknya kalian juga adil dalam menerapkannya.

            Tanggapan ketujuh: kalo kalian belum ngeh juga dengan penjelasan di atas, maka sekarang tiba waktunya untuk memperhatikan jawaban langsung dari Asy Syaikh Salim Al Hilaliy -hafizhohulloh-, ana nukilkan dari “Ar Roddul Matsaliy Haulas Sariqotil ‘Ilmiyyah Wa Hukmusy Syar’i fiha”:

سئل فضيلة الشيخ سليم بن عيد الهلالي –حفظه الله- في لقاءٍ مفتوح يوم عقد معه في 1/ذو الحجة/1426هـ – الموافق 1/1/2006:

“Fadhilatusy  Syaikh Salim bin ‘Id Al Hilaliy -hafizhohulloh- ditanya dalam pertemuan terbuka pada suatu hari yang telah disepakati dengan beliau pada tanggal 1 Dzul Hijjah 1426 H (bertepatan dengan tanggal 1/1/2006 M):

قال السائل: سؤالي فضيلة الشيخ؛ لا يخفى على فضيلتكم أنّ الواحد حين يكون في أثناء المطالعة والقراءة ربما يرسخ في ذهنه بعض الأفكار، وهو أثناء التأليف قد ينسى عزو هذه الأفكار لأصحابها، فيُنْسَب بذلك إلى السرقة العلميّة الموصوفة أو غير الموصوفة، فهل لكم -حفظكم الله تعالى- بما لكم من باعٍ في هذا الباب، وبما فتح الله -تعالى- عليكم فيه -أقصد باب التأليف- فتزيلوا هذه الشُّبهة، خاصَّةً أنه صرنا نسمع عن فضلاء علمائنا أنهم سُرَّاق، ولصوص، ونحو هذه الأمور، مسائل لا نظنها فيهم، ولا نزكي على الله أحداً، فأفيدونا نفع الله –تعالى- بكم، وحياكم الله جميعاً ؟

Ucapan si penanya: pertanyaan saya wahai  Fadhilatusy  Syaikh: tidaklah tersembunyi dari pengetahuan Anda bahwasanya seseorang itu di tengah-tengah penelaahan dan pembacaan kitab-kitab terkadang akan mengakar di benaknya sebagian pemikiran. Dan dia tadi di tengah-tengah proses menyusun suatu kitab terkadang lupa untuk menisbatkan pemikiran tadi kepada pemilik asal dari pemikiran tadi. Maka akibatnya adalah bahwasanya orang ini akhirnya dinisbatkan kepada pencurian ilmu yang telah disebutkan ataupun tidak disebutkan. Barangkali Anda –hafizhokumullohu ta’ala- dengan luasnya pengetahuan Anda dalam bab ini dan dengan ilmu yang Alloh karuniakan pada Anda dalam bab ini –yang saya maksudkan adalah bab tulis-menulis- berkenan untuk menghilangkan syubuhat ini, terutama dikarenakan kami telah mendengar tuduhan terhadap para ulama kita bahwasanya mereka itu adalah pencuri, maling dan semisalnya, yang mana yang demikian itu merupakan masalah-masalah yang tidak kami duga ada pada mereka. Dan kami tidak bermaksud mensucikan seseorang atas nama Alloh. Berilah kami faidah, semoga Alloh ta’ala memberikan umat manfaat dengan keberadaan Anda. Semoga Alloh memberikan penghormatan pada Anda semuanya.

فأجاب فضيلة الشيخ سليم بن عيد الهلالي – حفظه الله – قائلاً :

Maka  Fadhilatusy  Syaikh Salim bin ‘Id Al Hilaliy -hafizhohulloh- menjawab:

الحمد لله، والصَّلاة والسَّلام على رسول الله، وآله وصحبه ومن والاه، واتَّبع هُداه، وبعد: فجزى الله أخانا أبا المنذر خيراً على التنبيه على هذه المسألة، وهذه المسألة – أعني: الاتهام بالسَّرقات العلميّة -، من الدعاوى العريضة التي اتَّخذها الحزبيُّون لمحاربة المنهج السلفي، ومحاربة دعاة المنهج السلفي، وهم يخرجون بين الفينة والفينة بهذه الدعاوى، فنقول:

(setelah menyebutkan dzikir pembuka beliau berkata) semoga Alloh memberikan balasan kebaikan buat saudara kita Abul Mundzir atas peringatannya terhadap masalah ini. Dan permasalahan ini -yaitu: tuduhan pencurian ilmiyah- merupakan salah satu tuduhan yang sangatlah luas yang dipergunakan oleh para hizbiyyun untuk memerangi manhaj Salafy, dan memerangi para da’i manhaj Salafiy. Mereka dari waktu ke waktu keluar dengan membawa tuduhan-tuduhan ini. Maka kami katakan:

أولاً: من باب الإلزام وليس من باب التوصيف له لأنّ أفضل ما ترد به على خصمك هو أن تُلزمه بِحجَّتِهِ، وهذا ليس من باب الضعف في إقامة الحجّة على ما نقول أو ما سنسرد، وإنّما هو من باب إلزام الخصم بحجَّته إنْ كان يحتج بها معتقداً صحتها فلازمها لازمه،

Pertama: [jawaban kami yang pertama ini adalah] dalam bab ilzam (mengharuskan lawan untuk menaati hujjahnya sendiri) dan bukan dalam bab taushif (penyifatan) karena senjata yang paling utama dalam membantah lawanmu adalah: engkau  mengharuskan lawan untuk menaati hujjahnya sendiri. Dan ini bukanlah menunjukkan lemahnya kami dalam menegakkan hujjah terhadap apa yang kami katakan atau kami sebutkan. Akan tetapi ini hanyalah dalam bab  mengharuskan lawan untuk menaati hujjahnya sendiri jika dia memang meyakini kebenarannya. Maka konsekuensi dari hujjah tadi merupakan konsekuensi dari keyakinannya tadi.

فنقول:  إن كنتم تعتقدون أنّ ما ذكرتم، وأنّ ما أشرتم إليه من باب السّرقات العلميّة فهذا سينطبق علينا ابتداءً؛ لأننا المشار إلينا، وسينطبق على العلماء من قبلنا، وسينطبق على مشايخكم ورؤوس دعوَتِكُم، فإن أقررتم بحثنا المسألة، وإن فرَّقتم أين دليل التفريق،

Maka kami katakan: jika memang kalian meyakini apa yang kalian sebutkan itu, dan bahwasanya perkara yang kalian isyaratkan itu masuk dalam bab pencurian ilmiyah, maka yang demikian itu akan cocok untuk diterapkan pertama kali kepada kami, karena kami memang yang ditunjuk dengan tuduhan tadi. Dan tuduhan tadi juga akan cocok untuk diterapkan kepada para ulama sebelum kami. Dan juga akan cocok untuk diterapkan kepada masyayikh kalian dan pimpinan dakwah kalian. Jika kalian mengakui itu, maka kita akan membahas masalah ini. Tapi jika kalian membedakan permasalahannya, maka manakah dalil adanya perbedaan?

فإن قالوا: أقررنا، نأتي لهم بعشرات الأمثلة، بل بمئات الأمثلة ابتداءً من عصر الصحابة إلى واقعنا المعاصر، سواءً في توارد الأفكار، أو في تشابه العبارات، أو في عناوين الكُتب، أو فيما شابه ذلك، فأنا أذكر مثالاً لإخوتنا طلبة العلم، أقول – مثلاً – : خطبة الإمام أحمد لكتابه «الرد على الجهميّة» هي خطبة لأمير المؤمنين علي بن أبي طالب كما أخرجها الوضّاح في «البدع والنهي عنها»، فأخذها الإمام أحمد وجعلها ديباجة كتابه ولم يرجعها، حرفٌ بحرف، وجملةً بجملة، وكلمة بكلمة، وأخذها من المعاصرين الشيخ بكر أبو زيد في كتابه «حلية طالب العلم» أو «التعالم» لا أذكر الآن أيُّهما،

Jika mereka bilang: (Kami mengakui), maka kita akan mendatangkan buat mereka belasan dan bahkan ratusan contoh yang dimulai dari zaman Shohabat sampai ke masa kita sekarang ini, sama saja: dalam bentuk kecocokan pemikiran ataukah kemiripan gaya bahasa, ataupun dalam judul kitab, atau yang seperti itu. Aku akan menyebutkan satu contoh buat saudara-saudara kita para penuntut ilmu. Aku katakan misalkan: khothbah Al Imam Ahmad dalam kitab beliau “Ar Roddu ‘alal Jahmiyyah” dia itu adalah khothbah dari Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Tholib sebagaimana ditakhrij oleh Al Wadhdhoh –yakni: Ibnu Wadhdhoh- dalam “Al Bida’ wan Nahyu ‘anha”. Maka Al Imam Ahmad mengambilnya dan menjadikannya sebagai permulaan kitab beliau, tanpa menisbatkannya kepada ‘Ali. Benar-benar sama persis hurufnya, katanya, dan kalimatnya. Lalu dari kalangan orang sekarang yang mengambilnya adalah Asy Syaikh Bakr Abu Zaid dalam kitabnya “Hilyah Tholibil ‘Ilm” atau “At Ta’alum”, aku tidak ingat.

فماذا تقولون؟! ولو علوتم طبقة وطبقات فانظر إلى الأمثلة الكثيرة بين كتب التفسير، وكتب التراجم، وكتب الطب، وكتب شروح الحديث، بس تدبروا «شروح صحيح مسلم» تجدوا أنّ النووي ينقل عن القاضي عياض، وأنّ الأُبّي ينقل عن القاضي عياض، وأنّ. . .، وأنّ . . .، وأنّ . . .، إلى غير ذلك، فهل هؤلاء كلُّهم سُرَّاق في نظركم، فإن كان هؤلاء عشرات مئات العلماء، كذلك فنحن في زمرتهم.

Maka apa yang akan kalian katakan!? Jika kalian naik lagi  satu tingkat dan berbagai tingkatan, maka perhatikanlah contoh-contoh yang banyak di antara kitab-kitab tafsir, kitab-kitab biografi, kitab-kitab pengobatan, kitab-kitab syaroh hadits. Cukuplah kalian merenungkan “Syaroh Shohih Muslim”, kalian akan mendapati An Nawawiy menukil dari Al Qodhi ‘Iyadh, dan bahwasanya Al Ubbiy juga menukil dari Al Qodhi ‘Iyadh, dan …, dan …, dan …, dan seterusnya. Apakah mereka semuanya itu pencuri menurut pandangan kalian? Jika mereka itu belasan dan ratusan ulama seperti itu, maka kami juga masuk ke dalam barisan kalian.

ثمّ ننتقل إلى شيوخهم، وإلى علمائهم، الذين يتبجَّحون بهم، فنقول: هذا  (سيِّدُكم)، الذي احمرَّت أنوفكم غضباً له، وبديتم تهذون بما يؤذي انتصاراً له، قارنوا بين كتابه «الظلال»، وتفسير ابن كثير «تفسير القرآن العظيم» تجدوه نقل مئات الأسطر، ومئات العبارات، بل أحياناً يتصرّف في التخريج فيقع على أمِّ رأسه؛ لأنه لا يُحسن تخريج الحديث كلُّها من كتاب «تفسير ابن كثير»، وقد أشار إلى هذا شيخهم ومُنظِّرهُم يوسف القرضاوي في موقعه، وقال: إنّ سيّد قطب تبطَّن كتاب تفسير ابن كثير، ونقول قد تبطّن –أيضاً- كتب المودودي، وتبطَّنَ –أيضاً- كتب ابن حزم وغيرها من هذه الكتب، فهل هذا –أيضاً- سرقة أم لا؟! فإن لووا رؤوسهم فقالوا: لا، قلنا: إذاً دعوتكم ردّت عليكم بمنطقكم وبدليلكم، وهذا الدليل يُسمّى في (علم الجدل) يا إخواني (القلب)؛ أن تقلب حجّة خصمك عليه،

Sekarang kita pindah ke syaikh mereka dan ulama mereka yang mereka banggakan. Kita katakan: “Ini Sayyid kalian, yang hidung-hidung kalian memerah karena marah demi membela dirinya. Kemudian kalian tampak mengigau dengan perkara yang menyakitkan dalam rangka menolong dirinya. Bandingkanlah antara kitab Sayyid Quthb “Azh Zhilal” dan tafsir Ibnu Katsir “Tafsirul Qur’anil ‘Azhim,” kalian akan dapati dia itu menukil ratusan baris dan ratusan ungkapan. Bahkan terkadang dia melakukan perubahan dalam takhrij hadits yang menyebabkannya tersungkur sendiri, karena memang dia itu tidak pandai takhrij hadits. Semuanya dari  tafsir Ibnu Katsir. Syaikh mereka dan komandan mereka sendiri: Yusuf Al Qordhowiy di situsnya telah mengisyaratkan yang demikian ini seraya berkata: “Sesungguhnya Sayyid Quthb menjelajahi kitab tafsir Ibnu Katsir.” Dan kami katakan: Dia juga menjelajahi kitab-kitabnya Al Maududiy, dan juga menjelajahi kitab-kitab Ibnu Hazm, dan kitab-kitab yang lainnya. Ini namanya mencuri juga ataukah tidak !? jika mereka menggelengkan kepala dan berkata: “Tidak” berarti tuduhan kalian terbantahkan dengan ucapan dan dalil kalian sendiri. Dalil seperti ini dalam ilmu perdebatan dinamakan “Pembalikan hujjah”, engkau membalikkan hujjah lawan debatmu kepada diri mereka sendiri.

كما قال الله –تبارك وتعالى-: {فتمنَّوا الموتَ إن كنتم صَادِقين}، فدعاهم إلى أن يتمنّوا الموت إن كانوا صادقين، وهم غير صادقين فلم يتمنّوه، ونحن نقول: إن كنتم صادقين فأقرُّوا، فإنّا (كلّنا في الهمّ شرقُ) وأنتم كذلك لم تنجوا من هذا، وأن أقول: هذا الأمر لا ينجوا منه عالم، قلّت نسبة ذلك أم كثرت، لذلك لا يجوز أن ننسب هذا إلى السرقات العلميّة، ولا يجوز أن نتكلّم في أعراض العلماء،

Sebagaimana Alloh tabaroka wata’ala berfirman (yang artinya:) “Maka angankanlah kematian jika kalian itu jujur dalam ucapan kalian.” Alloh ta’ala menyeru mereka untuk mengangankan kematian jika mereka memang jujur ucapannya (bahwasanya Jannah itu hanya khusus untuk mereka saja). Dan mereka itu tidak jujur, makanya mereka tidak mau mengangankan kematian tadi. Dan kami berkata: jika kalian memang jujur maka akuilah. Aku katakan: kita semua terjemur di dalam kegundahan. Kalian sendiri juga tidak selamat dari ini. Dan kukatakan: tiada seorang alimpun yang selamat dari perkara ini, baik penisbatan tadi sedikit ataupun banyak. Makanya kita tidak boleh menisbatan perbuatan tadi kepada Pencurian Ilmiyah. Dan kita tidak boleh membicarakan kehormatan ulama.

وأحدهم وهو (هدّام السنّة) –كما يسمّيه شيخنا الإمام الألباني- زَعَمَ ونَسَبَ السّرقة العلميّة إلى الإمام مسلم، وإلى ابن القيّم، ولذلك لا يستحي أو يتقي الله في أعراض العلماء، وأنت إذا رأيت كتبه رأيتها كلّها سرقات، إمّا من شيخه شعيب الأرناؤوط، أو من شيخنا الإمام الألباني، أو ما شابه ذلك، والحقيقة أنا أشرت إلى هذا الأمر في كتابٍ لي اسمه «الكوكب الدر المتلالي في الرد على الشانئ القالي»، وهو مطبوع قديماً، وبيّنت مناهج العلماء في التصنيف والتأليف، بعضهم عاب علينا أن نجمّع كلاماً للعلماء ونقول: تأليف فلان، فردّدت عليهم بقول البخاري في «صحيحه» (باب: تأليف أبي بكر للقرآن) يعني: الجمع،

Salah seorang dari mereka, Haddamus Sunnah” (peruntuh sunnah) -demikianlah Syaikh kita Al Imam Al Albaniy menamai orang tadi- menuduh dan menisbatkan pencurian ilmiyah kepada Al Imam Muslim, juga pada Ibnul Qoyyim. Karena itulah dia tidak malu dan tidak bertaqwa kepada Alloh dalam perkara kehormatan ulama. Dan engkau jika melihat kitab-kitabnya engkau akan melihat semuanya itu hasil curian. Mungkin dari syaikhnya sendiri Syu’aib Al Arnauth, atau dari  Syaikh kita Al Imam Al Albaniy, atau yang seperti itu. Dan sebenarnya aku mengisyaratkan perkara ini di dalam kitabku yang bernama: “Al Kaukabud Durril Mutala’li fir Roddi ‘alasy Syanil Qoli”. Kitab itu telah dicetak sejak lama. (Di situ) aku menjelaskan manhaj para ulama dalam menyusun karangan. Sebagian dari mereka mencela kita karena kita mengumpulkan ucapan ulama lalu kita berkata: (Buku ini) ta’lif si fulan (yaitu: diri kita sendiri). Maka aku bantah si pencela dengan memakai ucapan Al Bukhoriy di dalam “Shohih” beliau: “Bab ta’lif Abu Bakr terhadap Al Qur’an.” Yaitu: pengumpulan Al Qur’an.

فهم والله يا أخي لا يفقهون أساليب العلماء، ولا يعرفون طرائق الحكماء، ولم يشتغلوا بالتصنيف، ولم يشتغلوا بالتأليف، إنّما اشتغلوا بتفريق الأمّة، وتشتيت شملها انتصاراً لحزبيَّتهم، وانتصاراً لمشايخهم عندما رأوهم ينحرفون عن الجادّة، ورأوا أنّ المطارق السلفيّة تنال منهم، وتبيّن عوارهم، وتشرّدهم، وتطير بهم كلّ مطار، فلم يبقَ لهم في سوق الدعوة إلى الله -تبارك وتعالى- مقام، فنسأل الله -سبحانه وتعالى- أن يهدينا، وأن يعرِّفنا، وأن يعلِّمنا، وأن يَرْزُقنا كلمة التقوى والإنصاف، والله ولي ذلك والقادر عليه .

Demi Alloh, mereka itu wahai saudaraku, tidak paham metode para ulama, dan tidak tahu jalan orang-orang yang bijaksana. Mereka itu tidak sibuk menyusun buku, ataupun mengarang kitab. Mereka tadi hanyalah sibuk memecah-belah umat dan mencerai-beraikan barisan umat dalam rangka menolong masyayikh mereka ketika mereka melihat masyayikh mereka menyimpang dari jalur yang lurus, dan mereka melihat bahwasanya palu-palu Salafiyyah menyentuh mereka, dan menjelaskan aib-aib mereka, mengusir mereka, menyebarluaskan hakikat mereka ke segala penjuru. Maka tidaklah tersisa pasaran dakwah ilalloh –tabaroka wata’ala- tempat untuk mereka. Maka kita mohon pada Alloh subhanahu wata’ala agar membimbing kita, mengajari kita, mengenalkan kita, dan memberi kita kalimat taqwa, dan keadilan. Alloh sajalah yang mengurusinya dan yang mampu melakukannya.”

Selesai penukilan.

Tanggapan kedelapan: kalo kamu dan Askari belum juga ngeh dengan penjelasan di atas, maka bacalah secara total kitab “Al Kaukabud Durril Mutala’li fir Roddi ‘alasy Syanil Qoli.”

Bacalah kitab tadi dengan penuh seksama dan dalam tempo yang setenang-tenangnya (pinjam istilah si Dul di hal. 49), sampai kalian merasa ngeh hingga terengah-engah.

Para ikhwan yang tidak ikut-ikutan menuduh Asy Syaikh Salim Al Hilaliy, tidak mengapa bagi mereka jika belum pernah membaca kitab ini. Tapi bagi Cak Dul dan para majikannya (pinjam istilah si Dul di hal. 32) ana katakan pada mereka: kitab tadi dicetak sebelum lima tahun yang lalu. Tapi kalian itu ketinggalan zaman, kayak katak dalam tempurung (istilah dari si Dul). mestinya sebelum teriak-teriak kalian itu cari info secukupnya dulu, biar tidak bikin malu sendiri. Bacalah buku tadi, (إنشاء الله) akan jelas bagi kalian dengan tuntas duduk perkara kasus ini dan yang semisalnya.

Tanggapan kesembilan: sebenarnya sekarang ini jam untuk memperkuat ilmu. Tapi si “katak” Dul bikin ana sibuk. Ya sudah, sembunyi yang baik, Cak. Ana masih semangat berburu kodok.

Tuduhan bahwasanya sebagian ulama Ahlussunnah mencuri karya tulis, merupakan senjata lama sekali dari Ikhwanul Muslimin. Dan sudah sempat terkubur dari telinga Salafiyyun. Tapi ternyata si Dul dan para majikannya masih suka mengais-ngais sampah basi karena kehabisan konsumsi segar bergizi. Kasihan.

Kalian telah menempuh metode para hizbiyyin dalam mengambil bantuan dari senjata-senjata para hizbiyyin pendahulu, untuk “memukul” Ahlussunnah. Seakan-akan aku teringat sebuah kisah bahwasanya penduduk Dammaj telah selesai memakamkan jenazah di pekuburan mereka. Ketika mereka pulang datanglah seekor binatang menggalinya lagi lalu mengambil mayat tadi dan memakannya.

Tanggapan kesepuluh: faktor begini saja sudah langsung kamu jadikan bahan untuk mencaci-maki habis-habisan. Sementara kesalahan manhajiyyah yang sedemikian banyak dari Mar’iyyun kamu bela habis-habisan. Dasar hizbiy fanatik, menilainya dengan hawa nafsu dan kelompok. Habis itu masih main pantun lagi. Yang cocok untuk kamu adalah ungkapan orang Arab:

نظروا بعين عداوة لو أنها    عين الرضا لاستحسنوا ما استقبحوا

“Mereka memandang dengan mata permusuhan. Seandainya dia itu adalah mata keridhaan pastilah mereka akan menganggapnya bagus dan tidak menganggap buruk.” (“Miftah Daris Sa’adah”/hal. 176).

Tambah lagi:

وعين الرضا عن كل عيب كليلة … ولكن عين السخط تبدي المساويا

“Dan mata keridhoan lemah untuk melihat setiap kekurangan. Tapi mata kebencian menampakkan berbagai kejelekan.” (“Al Aghoniy”/3/hal. 369).

            Tanggapan kesebelas: seluruh uraian di atas menunjukkan kedangkalan ilmu si katak dalam tempurung. Bagaimana tidak, sementara bekalnya hanyalah sekedar kecemburuan hati. Dia mengaku: “Tidaklah tuts di keyboard ini diketikkan untuk menyusun untaian kata demi kata kecuali dilandasi kecemburuan yang bergejolak dan membuncah dari dalam dada” (hal. 2).

 

Nasib Katak Sombong

Yang Keras Kepala

 

Si Abdul Ghofur da-

ri Malang bergaya

Bodoh, modalnya ke-

cemburuan saja.

Nasihat yang lembut

tidak dianggapnya.

Musuh diremehkan

dan dipandang hina.

Lupa mengukur ke-

kuatan yang ada.

Mulut ngoceh mantra:

“Hamba dan Paduka”

Berubah jadi ka-

tak cantik jelita

keluar tempurung

dengan bersenjata

bumerang Abori-

gin Australia.

Dilemparkan dengan

gejolak di dada

ingin balik dapat

dua kuntum bunga,

babak belur kena

sepatu wanita,

juga Pe-De-El bi-

kin benjol kepala.

Teringatlah dia

Ambon yang membara.

Buku “Jantan” yang di-

elukan ternyata

bikin penulisnya

mengeluh merana.

Ingin orang mera-

sa ngeh bersamanya,

justru dirinya ter-

engah menderita.

 

 

Bab Tiga: Tuduhan Penyalahgunaan dana dari Ihya’ut Turots

 

Cak Dul si “katak Yang Tidak jantan” berkata: Telah sama kita maklumi bahwa setelah bertahun-tahun bahu membahu bersama Ihya’ut Turats dan jaringannya, Salim Al Hilaly pada akhirnya memiliki mauqif yang berbeda dengan Ali Hasan terkait sikap mereka terhadap Ihya’ut Turats. Atau mungkin yang lebih tepat adalah Ihya’ut Turats telah mengubah mauqifnya kepada Salim Al Hilaly karena permasalahan yang timbul terkait kucuran dana untuk pembangunan Markaz Al Albani. Tidak ada pilihan lain bagi Ihya’ut Turats kecuali “menceraikan” Salim Al Hilaly. Dan tidak ada pilihan lain bagi Salim Al Hilaly kecuali harus menempuh satu-satunya pilihan, “berlepas diri” dari Ihya’ut Turats. (hal. 48)

            Tanggapan Abu Fairuz yang pertama: Abdul Ghofur Malang membangun perkataan di atas dan menuduh bahwasanya Asy Syaikh Salim Al Hilaliy -hafizhohulloh- berlepas diri dari Ihyaut Turots tidak ikhlas lillahi ta’ala, akan tetapi beliau melakukan itu karena “diceraikan” lebih dulu oleh mereka. Apakah si Dul ini menuduh yang demikian berdasarkan bukti yang dimilikinya? Tunjukkanlah dan tebarkanlah kepada umat bukti tadi sebagaimana kamu menebarkan tuduhan tadi. Al Asy’ats bin Qois -rodhiyallohu ‘anhu- berkata:

كانت لى بئر فى أرض ابن عم لى فأتيت رسول الله – صلى الله عليه وسلم – فقال « بينتك أو يمينه »

“Dulu aku punya sumur di tanah saudara sepupuku, lalu aku datangi Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wasallam- maka beliau bersabda: “Wajib atasmu untuk mendatangkan bukti kamu, atau dia akan bersumpah untuk mengingkari.” Al hadits. (HR. Al Bukhoriy).

Tapi bagimana mungkin si katak dalam tempurung bisa mendatangkan bukti?

            Tanggapan kedua: jika memang si Dul itu gagal mendatangkan bukti atas tuduhan tadi, maka semoga pihak yang berwenang menegakkan hukum Alloh untuk mendera punggungnya secukupnya. Jika memang pemerintah tidak menegakkan hukum itu, maka semoga Alloh yang menghukum si Dul Ghofur ini sesuai keadilan-Nya.

 


[1]  Adnan Ar’ur, pembela Sayyid Quthb

[2]  Muhammad bin Abdurrohman Al Maghrowi, punya pemikiran takfiri

[3]  Abul Hasan Sulaiman Al Mishri, pelayan terbesar Ikhwanul Muslimin masa ini.

[4] Akan dijelaskan oleh Syaikh Salim -hafizhahulloh- sendiri siapa dia dan orang yang setelahnya

[5] Abu Ishaq Al Huwaini

[6] Dalam tulisan ana “Tobat Mubtadi’ah” ana menerjemahkan: (sampai Alloh menunda tobatnya). Yang betul adalah: (sampai Alloh menerima tobatnya) dengan demikian kesalahan telah diperbaiki.

[7]  Sampai Alloh menerima tobatnya, bukannya sampai mengaku tobat.

Mengingat Kembali

Kebusukan Abdul Ghofur Al Malangi (2)

Apel Manalagi Buat Cak Malangi (seri 2)

 

Keluarnya Seseorang dari As Sunnah,

Mungkinkah? Dan Kapankah?

 

Korektor:

Abu Turob Saif bin Hadhor Al Jawy Al Indonesy

-semoga Alloh memaafkannya-

 

Ditulis oleh:

Abu Fairuz Abdurrohman Al Qudsy Al Jawy

Al Indonesy

-semoga Alloh memaafkannya

 

Darul Hadits Dammaj

Yaman

-Semoga Alloh menjaganya-


 

 

بسم الله الرحمن الرحيم

Kata Pengantar Seri Dua

 

الحمد لله واشهد أن لا إله إلا الله وأن محمدا عبده ورسوله، اللهم صلى الله عليه وآله وسلم وسلم على محمد وآله وسلم، أما بعد:

 

Sepekan telah berlalu, dan hingga kini belum ada kabar bahwasanya Cak Dul Ghofur Al Malangiy mengumumkan permohonan maaf atas beberapa tuduhannya yang terbukti palsu, sebagaimana ana uraikan di risalah ana yang pertama. Di sinilah para pembaca yang cerdas dan adil bisa melihat kadar kejantanan sang penulis “Hampir-hampir Mereka … Jantan.” Dan mereka -hafizhohumulloh- bisa melihat bahwasanya Cak Dul itulah yang pantas memakai sepatu merah jambunya lengkap dengan atribut mawarnya.

Ini adalah risalah kedua sebagai jawaban dari cacian yang bertubi-tubi dari Cak Dul Ghafur Al Malangiy di dalam tulisannya tersebut. Cak Dul bilang: “TRAGEDI BERANTAI NAN MEMILUKAN: PENGHINAAN KEJI TERHADAP PARA ULAMA DAKWAH SALAFIYYAH” (hal. 2).

Lalu dia menyebutkan sikap Asy Syaikh Yahya dan yang bersama beliau -hafizhohumulloh-: “Tetap pada keputusan bahwa Asy Syaikh ‘Abdurrahman dan orang yang bersamanya adalah hizbi. Sehingga “halal” mencela Asy Syaikh ‘Abdurrahman, “halal” mencela Asy Syaikh ‘Abdullah Mar’i, (hal. 20).

            Intinya adalah bahwasanya Cak Dul -waffaqohullohu- tidak menerima vonis hizbiyyah terhadap kedua anak Mar’iy tersebut, dan menjadikan hal itu sebagai bentuk cercaan dan penghinaan terhadap ulama Dakwah Salafiyyah.

            Maka dari itu pada kesempatan ini ana akan menjawab perkataan tersebut dengan beberapa jawaban, -wabillahit taufiq-:

Bab Satu:

Kedangkalan Ilmu Pemilik Sepatu Merah Jambu

 

            Jawaban pertama: Para Salafiyyun yang punya kecemburuan kepada Agama Alloh ta’ala telah berulang kali menyebarkan hujjah-hujjah tentang hizbiyyah Abdurrohman bin Umar Al Mar’iy dan saudaranya: Abdulloh. Dan termasuk hujjah yang terlengkap dan amat mencukupi ada di dalam “Mukhtashorul Bayan”. Akan tetapi barangkali dikarenakan kerasnya klakson hizbiyyah di telinga  Cak Dul, dan tebalnya asap pengkaburan yang menutup mata beliau, dan berlapisnya selubung yang menutupi hatinya jadilah seluruh hujjah tadi tidak bisa diambil manfaat olehnya. Sungguh ana berharap Cak Dul tidak meniru ucapan orang yang disebutkan oleh Alloh ta’ala:

وَقَالُوا قُلُوبُنَا فِي أَكِنَّةٍ مِمَّا تَدْعُونَا إِلَيْهِ وَفِي آَذَانِنَا وَقْرٌ وَمِنْ بَيْنِنَا وَبَيْنِكَ حِجَابٌ فَاعْمَلْ إِنَّنَا عَامِلُونَ [فصلت/5]

“Dan mereka berkata: Hati kami ada di dalam penutup yang tebal terhadap apa yang kamu serukan, dan di telinga kami ada penutup yang membikin tuli, dan di antara kami dan kamu ada penghalang. Maka beramallah kamu, karena sesungguhnya kami juga beramal.” (QS. Fushshilat: 5).

Sungguh benar, setelah bayyinah dari Ahlussunnah terhadap hizbiyyah kedua anak Mar’iy tidak bermanfaat, maka masing-masing beramal sesuai dengan karakternya. Ahlussunnah menyebarkan nasihat dan bayyinah dengan penuh kejujuran dan hujjah, sementara Hizbiyyun berusaha menghalangi malzamah-bayyinah kami yang harusnya disebar agar umat bisa menimbang sesuai dengan dalil-dalil yang ada. Hizbiyyun juga tidak malu-malu menempuh kedustaan demi membatalkan hujjah lawannya  dan menghancurkan namanya jika sanggup.

Di samping risalah “Hampir-hampir Mereka … Jantan” tadi menunjukkan lemahnya pemahaman Cak Dul, isinya juga benar-benar menggambarkan dangkalnya ilmu Cak Dul tentang manhaj Aimmatus Sunnah dalam menyikapi kesalahan seorang Ahlussunnah. Dalam keadaan seperti itu justru dia menuduh kami sebagai: “Seekor katak dalam tempurung” (hal. 3).

Maka cocok untuk beliau ungkapan Arab berikut ini:

رمتني بدائها وانسلت

“Dia itu menuduh diriku dengan penyakitnya sendiri, dan berusaha membersihkan dirinya dari penyakit tadi.” (“Majma’ul Amtsal”/1/hal. 125).

 

Bab Dua:

Kami Mencela Para Mubtadi’ah, Bukan Mencela Ulama Ahlussunnah

 

Jawaban kedua: Bagaimana pendapat Cak Dul tentang Ma’bad Al Juhaniy, ‘Amr bin ‘Ubaid, Washil Bin ‘Atho, ‘Imron bin Hiththon, Bisyir Al Marisiy, Nafi’ Al Azroq, dan semisal mereka?

Jika Cak Dul bilang: “Mereka itu ulama Ahlussunnah” maka katak dan tempurungnya buat Cak Dul saja.

Jika Cak Dul bilang: “Mereka adalah ahli bid’ah.” Berarti Cak Dul mencela ulama, dong. Coba baca biografi mereka, ternyata mereka adalah para ulama.

Tentu Cak Dul langsung bilang: “Mereka memang punya ilmu, tapi mereka adalah ulama ahlul bida’.”

Kenapa Cak Dul mengatakan bahwasanya mereka itu ulama ahlul bida’ dan bukannya ulama Ahlussunnah? Tentunya Cak Dul bilang: “Karena mereka menyelisihi sebagian prinsip Ahlussunnah.”

Ana katakan: Demikian pula Syaikhuna Al ‘Allamah Yahya bin ‘Ali Al Hajuriy, Asy Syaikh Muhammad bin Hizam Al Ibbiy, Asy Syaikh Abu Amr Al Hajuriy, Asy Syaikh  Abu Bilal Al Hadhromiy, Asy Syaikh Abdul Hamid Al Hajuriy, Asy Syaikh Muhammad Al ‘Amudy, Asy Syaikh Abu Mu’adz Husain Al Hathibiy, Asy Syaikh  Sa’id Da’as Al Yafi’iy, dan Asy Syaikh Muhammad bin Husain Al ‘Amudiy -hafizhohumulloh- (semuanya di markiz Dammaj) saat menghukumi kedua anak Mar’iy sebagai hizbiy, bukanlah mereka tadi mencela ulama Ahlussunnah, tapi mencerca masyayikh Ahlul bid’ah.

Demikian juga Syaikhunal Walid Muhammad bin Mani’ di markiz Shon’a, Asy Syaikh Ahmad bin ‘Utsman di markiz ‘Adn, Asy Syaikh Hasan bin Qosim Ar Roimy (murid Imam Al Albany -rahimahulloh-) di markiz Ta’iz, Asy Syaikh Abdulloh Al Iryaniy di markiz Baidho, Asy Syaikh Muhammad Ba Jammal di markiz Hadhromaut, dan Asy Syaikh Abu ‘Ammar Yasir Ad Duba’iy di Mukalla. Asy Syaikh Abdurrozaq An Nahmi di Damar, Semuanya -hafizhahumulloh- saat  menghukumi kedua anak Mar’iy sebagai hizbiy, bukanlah mereka tadi mencela ulama Ahlussunnah, tapi mencerca masyayikh Ahlul bid’ah.

Maka dengan ini tidak pantas Cak Dul menuduh para ulama dan yang bersama mereka tadi sebagai orang-orang yang merobek-robek kehormatan ulama Dakwah Salafiyyah, karena kedua anak Mar’iy tadi bukan Salafiy. Kok bisa? Karena keduanya telah keluar dari sebagian pokok-pokok Salafiyyah dan prinsip-prinsip Ahlussunnah Wal Jama’ah. Kok bisa keduanya dikeluarkan dari Salafiyyah dan menjadi mubtadi’? jawabannya adalah berikut ini:

 

Bab Tiga:

Siapakah Dari Umat Muhammad -shollallohu ‘alaihi wasallam- Yang Ma’shum?

 

Jawaban kedua: Tiada dari manusia yang terjaga dari kesalahan selain Nabi dan Rosul -‘alaihimush sholatu wassalam-. Demikian pula seluruh umat Muhammad -shollallohu ‘alaihi wasallam- tiada seorangpun dari mereka yang terbebas dari kesalahan, setinggi apapun derajatnya. Tidak ada satu dalilpun yang menjamin bahwasanya mereka senantiasa berada di atas fithroh sampai matinya. Demikian pula tiada jaminan baginya untuk senantiasa bisa setia kepada Alloh dan Rosul-Nya -shollallohu ‘alaihi wasallam- dan jalan para Salaf -rohimahumullohu- sampai akhir hayatnya.

Dalil yang mendukung pernyataan ana di atas adalah sebagai berikut:

1. Dalil Al Qur’an dan As Sunnah

Alloh ta’ala berfirman:

وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآَخِرَةِ وَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ  [البقرة : 217]

“Dan barangsiapa dari kalian (Muslimin) murtad dari agamanya lalu dia mati dalam keadaan kafir. Maka mereka itulah orang-orang yang amalannya terhapuskan di dunia dan akhirat. Dan mereka itulah penduduk neraka, mereka kekal di dalamnya selamanya.” (QS. Al Baqoroh: 217).

Sisi pendalilannya adalah: jika seorang Muslim saja bisa murtad dari agamanya, apalagi sekedar pindah dari As Sunnah ke bid’ah. Dan dalil yang senada ini banyak.

Alloh ta’ala berfirman menukilkan doa orang-orang yang mendalam akalnya:

رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ  [آل عمران : 8]

“Wahai Robb kami, janganlah Engkau menyimpangkan hati-hati kami setelah Engkau memberi Kami hidayah, dan berilah kami rohmat dari sisi-Mu. Sungguh Engkaulah Al Wahhab (Maha Memberi karunia).” (QS. Ali Imron: 8)

عبد الله بن عمرو بن العاص يقول أنه سمع رسول الله -صلى الله عليه وسلم- يقول « إن قلوب بنى آدم كلها بين إصبعين من أصابع الرحمن كقلب واحد يصرفه حيث يشاء ». ثم قال رسول الله -صلى الله عليه وسلم- « اللهم مصرف القلوب صرف قلوبنا على طاعتك ».

Abdulloh bin Amr ibnul ‘Ash -rodhiyallohu ‘anhuma- berkata bahwasanya beliau mendengar rosululloh -shollallohu ‘alaihi wasallam- bersabda: “Sesungguhnya seluruh hati anak Adam itu ada di antara kedua jari dari jemari Ar Rohman bagaikan satu hati, Alloh membolak-balikkannya sekehendaknya.” Kemudian Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wasallam- berdoa: “Wahai Alloh Yang membolak-balikkan hati, palingkanlah hati kami kepada ketaatan kepada-Mu.” (HR. Muslim).

Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wasallam- juga bersabda:

فإن أحدكم ليعمل بعمل أهل الجنة حتى لا يكون بينها وبينه إلا ذراع فيسبق عليه الكتاب فيعمل بعمل أهل النار فيدخل النار . وإن أحدكم ليعمل بعمل أهل النار حتى ما يكون بينها وبينه إلا ذراع فيسبق عليه الكتاب فيعمل عمل أهل الجنة فيدخلها )

“Sesungguhnya ada seseorang dari kalian yang mengerjakan amalan penduduk Jannah hingga tiada jarak antara Jannah  dengan dirinya kecuali satu jengkal saja, lalu catatan taqdirnya mendahuluinya sehingga dia mengerjakan amalan penduduk neraka sehingga masuk neraka. Dan sungguh ada seseorang dari kalian yang mengerjakan amalan penduduk Neraka hingga tiada jarak antara Neraka  dengan dirinya kecuali satu jengkal saja, lalu catatan taqdirnya mendahuluinya sehingga dia mengerjakan amalan penduduk Jannah sehingga masuk Jannah.” (HR. Al Bukhory dan Muslim, dari Ibnu Mas’ud -rodhiyallohu ‘anhu-).

Dalil-dalil di atas nyata sekali menunjukkan bahwa seseorang itu bisa saja menyimpang setelah sekian lama berada di atas ilmu dan ketaatan secara lahiriyah. Maka untuk apa sengaja menutup mata dan telinga jika ada bukti-bukti tentang penyimpangan seseorang dari al haq yang selama ini secara lahiriyyah dia ada di atasnya?

Tidakkah Cak Dul membaca firman Alloh ta’ala:

وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ الَّذِي آَتَيْنَاهُ آَيَاتِنَا فَانْسَلَخَ مِنْهَا فَأَتْبَعَهُ الشَّيْطَانُ فَكَانَ مِنَ الْغَاوِينَ * وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الْأَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ

“Dan bacakanlah pada mereka berita tentang orang yang Kami beri dia ayat-ayat Kami, lalu dia lepas darinya sehingga diikuti setan sehingga jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. Seandainya Kami kehendaki tentulah Kami angkat dirinya dengan ayat-ayat itu, akan tetapi dia lebih condong kepada dunia dan mengikuti hawa nafsunya. Maka permisalannya adalah seperti anjing ..” al ayat (QS Al A”rof 175-176)

Alloh ta’ala memberikan permisalan ini bukan sekedar permainan, bahkan sebagai isyarat bahwasanya ini bisa saja terjadi pada kita semua. Orang tadi telah diberi Alloh ta’ala ilmu, tapi akhirnya menyimpang sesuai dengan keinginan batil yang tersembunyi di dalam hatinya.

2. Dalil kenyataan

Berikut ini adalah sebagian kecil dari kisah tersesatnya seseorang setelah sebelumnya berada di atas hidayah.

a. Kisah Imron bin Hiththon

Al Imam Adz Dzahabiy -rohimahullohu- berkata:

عمران بن حطان بن ظبيان، السدوسي البصري، من أعيان العلماء، لكنه من رؤوس الخوارج. –إلى قوله: – عن ابن سيرين، قال: تزوج عمران خارجية وقال: سأردها، قال فصرفته إلى مذهبها.

“Imron bin Hiththon bin Zhobyan As Sadusiy dan Bashriy, termasuk tokoh ulama, tapi dia termasuk kepala Khowarij –sampai dengan ucapan beliau:- Dari Ibnu Sirin yang berkata: ‘Imron menikah dengan seorang perempuan khorijiyyah (yang berakidah pemberontak) dan berkata: “Aku akan mengembalikannya dari madzhabnya.” Tapi ternyata perempuan itu yang memalingkannya ke madzhab perempuan itu (Khowarij).” (“Siyar A’lamin Nubala”/4/hal. 214).

 

b. Kisah Bisyir bin Ghiyats Al Marisiy

Al Imam Adz Dzahabiy -rohimahullohu- berkata:

بشر بن غياث بن أبي كريمة العدوي -إلى قوله:- كان بشر من كبار الفقهاء، -إلى قوله:- ونظر في الكلام، فغلب عليه، وانسلخ من الورع والتقوى، وجرد القول بخلق القرآن، ودعا إليه، حتى كان عين الجهمية في عصره وعالمهم، فمقته أهل العلم، وكفره عدة.

“Bisyir bin Ghiyats bin Abi Karimah Al ‘Adawiy –sampai dengan ucapan beliau:- dulu Bisyir itu termasuk tokoh besar fuqoha –sampai dengan ucapan beliau:- lalu dia mempelajari ilmu kalam dan kalah, hingga akhirnya keluar dari sikap waro’ dan taqwa, dan dia terang-terangan mengatakan bahwasanya Al Qur’an itu makhluq, dan menyeru manusia kepada pemikiran ini, hingga akhirnya menjadi pimpinan dan ulama Jahmiyyah di zamannya. Maka diapun dibenci para ulama, dan sebagian mereka mengkafirkannya.” (“Siyar A’lamin Nubala”/4/hal. 199-110).

 

c. Ucapan Al Imam Ibnu Baththoh -rohimahullohu-

Setelah menyebutkan hadits syubuhat Dajjal, berkatalah Al Imam Ibnu Baththoh -rohimahullohu-:

هذا قول الرسول صلى الله عليه وسلم، وهو الصادق المصدوق، فالله الله معشر المسلمين، لا يحملن أحدا منكم حسن ظنه بنفسه، وما عهده من معرفته بصحة مذهبه على المخاطرة بدينه في مجالسة بعض أهل هذه الأهواء، فيقول: (أداخله لأناظره، أو لأستخرج منه مذهبه)، فإنهم أشد فتنة من الدجال، وكلامهم ألصق من الجرب، وأحرق للقلوب من اللهب، ولقد رأيت جماعة من الناس كانوا يلعنونهم، ويسبونهم، فجالسوهم على سبيل الإنكار، والردّ عليهم ، فما زالت بهم المباسطة وخفي المكر، ودقيق الكفر حتى صبوا إليهم اهـ.

 “Ini adalah ucapan Rosul -shollallohu ‘alaihi wasallam-, dan beliau itu orang yang jujur dan dibenarkan. Maka bertaqwalah pada Alloh wahai Muslimun, jangan sampai rasa baik sangka pada diri sendiri dan juga ilmu yang dimiliki tentang bagusnya madzhab dirinya membawa salah seorang dari kalian untuk melangsungkan perdebatan dengan agamanya di dalam acara duduk-duduk dengan ahlul ahwa, seraya berkata: “Aku akan masuk ke tempatnya dan kuajak dia berdebat, atau kukeluarkan dirinya dari madzhabnya.” Mereka itu sungguh lebih dahsyat fitnahnya daripada Dajjal, ucapan mereka lebih lengket daripada kurap, dan lebih membakar daripada gejolak api. Sungguh aku telah melihat sekelompok orang yang dulunya mereka itu melaknati ahlul ahwa dan mencaci mereka. Lalu mereka duduk-duduk dengan mereka tadi dalam rangka mengingkari dan membantah mereka. Tapi mereka terus-terusan di dalam obrolan, dan makar musuh tersamarkan dari mereka, dan kekufuran yang lembut tersembunyi dari mereka, hingga akhirnya mereka pindah ke madzhab ahlul ahwa tadi.” (“Al Ibanatul Kubro”/dibawah no. (480)).

 

d. Kisah Abdurrohman bin Abdil Kholiq

Al Imam Al Wadi’iy -rohimahullohu- berkata Abdurrohman bin Abdil Kholiq:

وكان في بدء أمره يدعو إلى الكتاب والسنة ونفع الله به أهل الكويت، وكان بينه وبين الإخوان المسلمين مهاترات، فهو يقدح فيهم وهم يقدحون فيه، ثم ظهرت منه أمور منكرة، –إلى قوله:- ثم ألف كتابًا بعنوان: “الولاء والبراء” وهو كتاب رديء لا يؤلفه سني ولا سلفي، إلى آخره. (“تحفة المجيب” ص195-196)

“Dia pada awal kisahnya itu menyeru manusia kepada Al Kitab dan As Sunnah, dan melalui dirinya Alloh memberikan manfaat kepada penduduk Kuwait. Dan dulunya terjadi banyak pergulatan antara dirinya dengan Ikhwanul Muslimin, dia mencerca mereka, dan mereka juga mencerca dirinya. Kemudian tampaklah dari dirinya perkara-perkara yang mungkar –sampai pada ucapan beliau:- lalu dia menulis kitab “Al Wala wal Baro” dan dia itu adalah kitab yang paling buruk, yang tidak ditulis oleh seorang Sunny ataupun Salafy.” Dan seterusnya. (“Tuhfatul Mujib”/hal. 195-196). 

 

e. Kisah Al Qoshimiy

Al Imam As Sa’diy -rohimahullohu- berkata: “Aku telah melihat suatu kitab yang ditulis oleh Abdulloh bin ‘Ali Al Qoshimiy yang dinamainya: “Hadzi Hiyal Aghlal”, ternyata kitab tadi berisi pembuangan agama, seruan untuk membuang agama, dan lepas darinya dari segala sisi. Padahal orang ini dulunya sebelum menulis dan memunculkan kitab tadi dia terkenal sebagai orang orang berilmu dan condong kepada madzhab As Salafush Sholih. Tulisan-tulisan dia dulunya penuh dengan pertolongan untuk kebenaran, dan bantahan terhadap ahli bid’ah dan ilhad, sehingga dengan itu jadilah dia punya kedudukan di mata manusia, popularitas yang bagus. Tapi orang-orang belum lagi keluar dari tahun ini, tiba-tiba saja mereka dikejutkan dengan apa yang ada di dalam kitab ini. kitab ini menghapus dan membatalkan seluruh apa yang dulunya dia tulis tentang agama ini. Setelah sebelumnya kitab-kitabnya itu menjadi penolong kebenaran, berbaliklah dalam kitabnya ini menjadi pembuang agama yang terbesar. Maka orang-orang merasa heran dengan kejutan yang aneh itu karena melihat masa lalunya yang bagus.” (Muqoddimah “Tanzihud Din”/As Sa’diy/ hal. 31)

 

Cak Dul dan seluruh pembaca -hafizhokumulloh-, berdasarkan dalil-dalil sam’iy dan waqi’iy di atas semakin jelaslah bagi kita semua akan mahalnya nilai istiqomah. Dan jangan sampai seseorang itu merasa sudah hebat ilmunya, dan kuat manhajnya sehingga merasa aman dari ketergelinciran dan penyimpangan. Alloh ta’ala berfirman:

أَفَأَمِنُوا مَكْرَ الله فَلَا يَأْمَنُ مَكْرَ الله إِلَّا الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ [الأعراف : 99]

“Maka apakah mereka merasa aman dari makar Alloh? Tidaklah merasa aman dari makar Alloh kecuali kaum yang merugi.” (QS. Al A’rof: 99)

Dan juga berdasarkan dalil-dalil di atas, tidak sepantasnya bagi seorang Salafy untuk bersikap fanatik mati-matian membela seorang ulama yang di kemudian hari terbukti menyimpang dan keluar dari Ahlussunnah?

Berarti pertanyaannya sekarang adalah: “Apa itu As Sunnah, dan kapankah seseorang itu dihukumi keluar darinya?”

 

Bab Empat:

Pengertian As Sunnah dan Seruan Untuk Memegangnya Dengan Kokoh

 

Jawaban empat: perlu diingat kembali akan makna As Sunnah agar diketahui siapakah Ahlussunnah, untuk kemudian ana akan membuktikan bahwasanya kedua anak Mar’iy telah keluar dari As Sunnah dan Ahlussunnah.

Pasal Satu: Pengertian As Sunnah

            Jika kita berkata: “Ahlussunnah Wal Jama’ah”, “Ikutilah As Sunnah”, maka bukanlah yang dimaksudkan dengan As Sunnah di sini adalah sesuatu yang derajatnya di bawah wajib dan di atas mubah. Tapi As Sunnah di sini adalah jalan Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wasallam-, sebagaimana yang dimaksudkan oleh Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wasallam-:

«فمن رغب عن سنتي فليس مني».

“Maka barangsiapa membenci sunnahku, maka dia itu bukan dari golonganku.” (HR. Al Bukhory (5063) dan Muslim (1401) dari Anas  -rodhiyallohu ‘anhu-).

Badrud Din Al ‘Ainiy -rohimahullohu- berkata:

والمراد بالسنة: الطريقة، وهي أعم من الفرض والنفل بل الأعمال والعقائد اهـ.

“Dan yang dimaksud dengan As Sunnah di sini adalah Thoriqoh, dan dia itu lebih umum daripada kewajiban dan tambahan. Bahkan dia itu mencakup seluruh amalan dan keyakinan.” (“Umdatul Qori”/20/hal. 65).

Ibnu Hajar -rohimahullohu- berkata:

المراد بالسنة الطريقة لا التي تقابل الفرض اهـ.

“Dan yang dimaksud dengan As Sunnah di sini adalah Thoriqoh, bukan yang maksudnya berhadapan dengan kewajiban, (yaitu: mustahab)” (“Fathul Bari”/9/hal. 133).

Pasal Dua: Seruan Untuk Memegang Teguh As Sunnah

Manakala rasa cinta pada Alloh ta’ala itu wajib, mencintai Rosul-nya -shollallohu ‘alaihi wasallam- dan mengikuti Sunnahnya juga wajib, karena yang demikian itu merupakan realisasi dari cinta tersebut. Alloh ta’ala berfirman:

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ الله فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ الله وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَالله غَفُورٌ رَحِيمٌ[ [آل عمران/31].

“Katakanlah: Jika kalian mencintai Alloh, maka ikutilah aku, niscaya Alloh akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian. Dan Alloh itu Ghofur (Maha Pengampun) dan Rohim (Maha Menyayangi para hamba).” (QS. Ali Imron: 31).

Al Imam Ibnu Katsir -rohimahullohu- berkata:

هذه الآية الكريمة حاكمة على كل من ادعى محبة الله، وليس هو على الطريقة المحمدية فإنه كاذب في دعواه في نفس الأمر، حتى يتبع الشرع المحمدي والدين النبوي في جميع أقواله وأحواله، كما ثبت في الصحيح عن رسول الله صلى الله عليه وسلم أنه قال: «مَنْ عَمِلَ عَمَلا لَيْسَ عليه أمْرُنَا فَهُوَ رَدُّ» ولهذا قال: ]قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ الله فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ الله[ أي: يحصل لكم فوق ما طلبتم من محبتكم إياه، وهو محبته إياكم، وهو أعظم من الأول، كما قال بعض الحكماء العلماء: ليس الشأن أن تُحِبّ، إنما الشأن أن تُحَب. اهـ

“Ayat yang mulia ini merupakan hakim bagi setiap orang yang mengaku cinta pada Alloh, tapi dia tidak berada di atas jalan Muhammad  -shollallohu ‘alaihi wasallam- , karena dia itu sungguh pada hakikatnya telah berdusta di dalam pengakuannya, sampai dia itu mau mengikuti syariat Muhammad -shollallohu ‘alaihi wasallam-  dan agama Nabi di dalam seluruh ucapan dan keadaannya, sebagaimana telah tetap di dalam “Ash Shohih” dari Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wasallam- yang bersabda: “Barangsiapa mengerakan suatu amalan yang bukan dari urusan agama kami maka amalannya itu tertolak.”

Oleh karena itulah Alloh berfirman: (yang artinya:) “Katakanlah: Jika kalian mencintai Alloh, maka ikutilah aku, niscaya Alloh akan mencintai kalian” Yaitu kalian akan mendapatkan sesuatu yang melebihi apa yang kalian cari, yaitu diakuinya cinta kalian pada-Nya. Yang akan kalian dapatkan adalah: Alloh cinta pada kalian, dan itu lebih agung daripada yang pertama. sebagaimana sebagian orang bijak berkata: “Bukanlah yang penting itu kalian mencintai, tapi yang penting adalah: kalian dicintai.” (“Tafsirul Qur’anil ‘Azhim”/1/hal. 494-495).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -rohimahullohu- berkata:

وإنما كمال محبته وتعظيمه في متابعته وطاعته واتباع أمره، وإحياء سنته باطنًا وظاهرًا، ونشر ما بعث به، والجهاد على ذلك بالقلب واليد واللسان. فإن هذه طريقة السابقين الأولين، من المهاجرين والأنصار، والذين اتبعوهم بإحسان. اهـ

“Dan hanyalah kesempurnaan rasa cinta pada beliau dan pengagungannya itu ada pada mutaba’ah (mengikutinya), taat dan mengikuti perintahnya, menghidupkan sunnah-sunnahnya yang lahiriyyah dan bathiniyyah, menyebarkan syariat yang beliau diutus dengannya, menegakkan jihad untuknya dengan hati, tangan dan lisan. Maka inilah jalan para As Sabiqunal Awwalun dari kalangan Muhajirin dan Anshor dan yang mengikuti mereka dengan baik.” (“Iqtidhoush Shirothol Mustaqim”/2/hal. 124).

Dalil yang menunjukkan beruntungnya para pengikut As Sunnah dan celakanya orang yang menyelisihinya itu banyak. Di antaranya adalah dalil di atas dan yang berikut ini:

Dari Abu Huroiroh -rodhiyallohu ‘anhu- yang berkata:

أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال: «كل أمتي يدخلون الجنة إلا من أبى » . قالوا: يا رسول الله ومن يأبى ؟ قال: «من أطاعني دخل الجنة ومن عصاني فقد أبى».

“Bahwasanya Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wasallam- bersabda: “Seluruh umatku akan masuk Jannah, kecuali yang enggan.” Mereka berkata: “Wahai Rosululloh, siapakah yang enggan?” Beliau menjawab: “Barangsiapa menaatiku, maka dia akan masuk Jannah. Tapi barangsiapa mendurhakaiku, maka dia telah enggan masuk Jannah.” (HR. Al Bukhhory (7280)).

‘Amr ibnul ‘Ash -rodhiyallohu ‘anhuma- berkata: Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wasallam- bersabda:

«لكل عمل شرة ولكل شرة فترة فمن كانت فترته إلى سنتي فقد أفلح ومن كانت إلى غير ذلك فقد هلك».

“Setiap amalan itu punya masa semangat, dan setiap masa semangat itu punya masa kelesuan. Maka barangsiapa kelesuannya itu mengarah kepada sunnahku, maka sungguh dia telah beruntung. Tapi barangsiapa kelesuannya itu mengarah kepada yang lain, maka dia pasti celaka.” (HR. Ahmad (6905) dan dishohihkan oleh Al Imam Al Wadi’iy -rohimahullohu- dalam “Ash Shohihul Musnad” (802)).

Jabir -rodhiyallohu ‘anhu- berkata:

أن النبي صلى الله عليه وسلم قال لكعب بن عجرة: «أعاذك الله من إمارة السفهاء» قال: وما إمارة السفهاء؟ قال: «أمراء يكونون بعدي لا يقتدون بهديي ولا يستنون بسنتي فمن صدقهم بكذبهم وأعانهم على ظلمهم فأولئك ليسوا مني ولست منهم ولا يردوا على حوضي، ومن لم يصدقهم بكذبهم ولم يعنهم على ظلمهم فأولئك مني وأنا منهم وسيردوا على حوضي » الحديث. (أخرجه الإمام أحمد (14441) وحسنه الإمام الوادعي رحمه الله في “الصحيح المسند” ((245)/دار الآثار)).

“Nabi -shollallohu ‘alaihi wasallam- bersabda kepada Ka’b bin Ujroh: “Semoga Alloh melindungimu dari pemerintahan orang-orang yang tolol.” Maka dia bertanya,”Apa itu pemerintahan yang tolol?” Beliau menjawab: “Pemerintah sepeninggalku yang tidak berpedoman dengan jalanku, dan tidak menempuh sunnahku. Barangsiapa membenarkan mereka di dalam kedustaan mereka dan juga membantu mereka di dalam kezholiman mereka, maka mereka itu bukan dari golonganku, dan aku bukan dari golongan mereka. Dan mereka tidak akan mengunjungiku di telagaku. Tapi barangsiapa tidak membenarkan mereka di dalam kedustaan mereka dan juga tidak membantu mereka di dalam kezholiman mereka, maka mereka itu adalah dari golonganku, dan aku pun dari golongan mereka. Dan mereka akan mengunjungiku di telagaku.” Al hadits. (HR. Ahmad (14441) dan dihasankan oleh Al Imam Al Wadi’iy -rohimahullohu- dalam “Ash Shohihul Musnad” (245)).

Maka tidak ada yang beruntung bisa minum dari telaga Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wasallam- pada hari kehausan yang terbesar kecuali orang yang setia dengan Sunnah beliau -shollallohu ‘alaihi wasallam- . sudah lewat beberapa kali di dalam risalah ana ucapan Al Imam Ibnul Qoyyim -rohimahullohu-, tapi tetap akan ana ulang di sini karena amat penting, dan karena cepatnya kelalaian manusia. Beliau -rohimahullohu- berkata:

أن ورود الناس الحوض وشربهم منه يوم العطش الأكبر بحسب ورودهم سنة رسول الله r وشربهم منها، فمن وردها في هذه الدار وشرب منها وتضلع ورد هناك حوضه وشرب منه وتضلع. فله حوضان عظيمان حوض في الدنيا وهو سنته وما جاء به، وحوض في الآخرة. فالشاربون من هذا الحوض في الدنيا هم الشاربون من حوضه يوم القيامة. فشارب ومحروم ومستقل ومستكثر. والذين يذودهم هو والملائكة عن حوضه يوم القيامة. هم الذين كانوا يذودون أنفسهم وأتباعهم عن سنته ويؤثرون عليها غيرها فمن ظمأ من سنته في هذه الدنيا ولم يكن له منها شأن فهو في الآخرة أشد ظمأً وأحر كبداً …

“Dan bahwasanya kedatangan manusia ke telaga tersebut, dan minumnya mereka darinya pada hari kehausan yang terbesar adalah sesuai dengan kunjungan mereka kepada sunnah Rosululloh -shalallohu ‘alaihi wa sallam- dan kadar minumnya mereka dari sunnah tersebut. Maka barangsiapa mengunjunginya, meminumnya dan meneguknya di dunia ini, dia akan mengunjungi telaga tersebut di sana meminumnya dan meneguknya. Maka Rosululloh -shalallohu ‘alaihi wa sallam- punya dua telaga yang besar. Telaga di dunia, dan dia itu adalah sunnah beliau dan syariat yang beliau bawa. Dan telaga di akhirat. Maka orang-orang yang minum dari telaga ini di dunia, merekalah yang akan meminum dari telaganya pada hari kiamat. Maka ada yang minum, ada yang terlarang, ada yang minumnya banyak, dan ada yang minumnya sedikit. Dan orang-orang yang diusir oleh beliau dan para malaikat dari telaganya hari kiamat adalah orang-orang yang mengusir dirinya sendiri dan para pengikutnya dari sunnah beliau, dan lebih mengutamakan ajaran yang lain daripada sunnah beliau. Maka barangsiapa kehausan dari sunnah beliau di dunia ini dan tiada urusan dengan sunnah beliau, maka dia di hari kiamat akan lebih kehausan, dan hatinya lebih kepanasan.” dst (“Ijtima’ul Juyusy Al Islamiyyah” hal. 85-86).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -rohimahullohu- berkata:

فأسعد الخلق وأعظمهم نعيما وأعلاهم درجة أعظمهم اتباعا وموافقة له علما وعملا اهـ.

“Maka makhluq yang paling beruntung, paling agung kenikmatannya dan paling tinggi derajatnya adalah makhluq yang paling besar mutaba’ahnya (sikap ikutnya) dan kesesuaiannya dengan beliau (Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wasallam-) baik secara ilmu maupun amalan.” (“Majmu’ul Fatawa”/4/hal. 26).

 

Bab Lima:

Kapankah Seseorang Dihukumi Telah Keluar dari Ahlussunnah?

 

Jawaban kelima: Setelah kita mengingat kembali keagungan As Sunnah dan wajibnya mengikuti As Sunnah, maka tibalah saatnya untuk mengetahui kapankah seseorang itu divonis keluar dari As Sunnah dan berhak untuk diboikot dan dimusuhi. Ana dalam pembahasan ini akan sangat banyak mengambil manfaat dari tulisan Asy Syaikh Sa’id bin Da’as Al Yafi’iy, dan yang lainnya -hafizhohumulloh-.

Pasal Satu:

Seseorang Dihukumi Menjadi Mubtadi’ Jika Menyelisihi Kaidah Umum, atau Banyak Menyelisihi Perkara Cabang

Al Imam Asy Syathiby -rohimahullohu- berkata:

أن هذه الفرق إنما تصير فرقا بخلافها للفرقة الناجية في معنى كلي في الدين وقاعدة من قواعد الشريعة لا في جزئي من الجزئيات –إلى قوله:- ويجري مجرى القاعدة الكلية كثرة الجزئيات فإن المبتدع إذا أكثر من إنشاء الفروع المخترعة عاد ذلك على كثير من الشريعة بالمعارضة كما تصير القاعدة الكلية معارضة أيضا.

“Bahwasanya kelompok-kelompok pecahan itu memang menjadi pecahan dikarenakan dirinya menyelisihi Al Firqotun Najiyah di dalam suatu nilai yang bersifat umum di dalam agama, dan dalam suatu kaidah dari kaidah-kaidah syari’ah, bukan karena menyelisihi mereka dalam suatu perkara yang bersifat parsial, – sampai pada ucapan beliau:- Akan tetapi perkara parsial yang banyak pun akan berlaku seperti suatu kaidah umum. Yang demikian itu dikarenakan seorang mubtadi’ itu jika banyak mengadakan perkara-perkara baru yang bersifat cabang, yang seperti itu akhirnya akan balik menentang syari’at, sebagaimana kaidah umum yang dibikin dia juga akan balik menentang syari’at.” (“Al I’tishom”/2/hal. 200).

Kesimpulannya: seseorang itu menjadi mubtadi’ jika dia menyelisihi Al Firqotun Najiyah. Dan dia itu  menyelisihi Al Firqotun Najiyah jika menyelisihi suatu kaidah umum atau aturan pokok dari pokok-pokok syari’ah. Atau juga dikarenakan dirinya memperbanyak penyelisihan di dalam perkara furu’ (cabang), karena gabungan dari penyelisihan terhadap perkara-perkara cabang pada akhirnya akan menyebabkan dirinya menentang syari’ah.

Syaikhunal ‘allamah Yahya bin ‘Ali Al Hajuriy -hafizhohulloh- ditanya: Kapankah seseorang itu dihukumi keluar dari ahlussunnah? Beliau menjawab:

إذا خالف أصلا من أصول السنة أو كثيرا من الفروع

“Jika dia menyelisihi salah satu dari pokok-pokok As Sunnah atau menyelisihi banyak perkara cabang.”

Kemudian perlu diketahui bahwasanya penyelisihan itu bisa berupa penambahan, ataupun pengurangan terhadap syari’ah. Al Imam Ibnul Wazir -rohimahullohu- berkata:

فاعلم أن منشأ معظم البدع يرجع إلى أمرين واضح بطلانهما فتأمل ذلك بإنصاف وشد عليه يديك وهذان الأمران الباطلان هما الزيادة في الدين باثبات ما لم يذكره الله تعالى ورسله عليهم السلام من مهمات الدين الواجبة والنقص منه بنفي بعض ما ذكره الله تعالى ورسله من ذلك بالتأويل الباطل

“Maka ketahuilah bahwasanya tempat tumbuhnya mayoritas bid’ah itu kembali kepada dua perkara yang kebatilannya jelas. Maka perhatikanlah dia dengan adil, dan kuatkan kedua tanganmu untuk menghadapinya. Kedua perkara yang batil ini adalah:

–          penambahan terhadap agama dengan cara menetapkan apa yang tidak disebutkan oleh Alloh dan para Rosul-Nya –‘alaihimus salam- yang berupa urusan agama yang besar yang wajib,

–          ataupun juga pengurangan dari urusan agama, dalam bentuk meniadakan sebagian dari apa yang disebutkan oleh Alloh ta’ala dan Rosul-Nya dengan suatu pena’wilan yang batil([1]).”

(“Itsarul Haqq ‘alal Kholq”/hal. 85).

Pasal Dua: Pengertian Perkara Pokok

Jika sudah jelas bagi kita bahwasanya seseorang bisa keluar dari Ahlussunnah dan menjadi Ahli bid’ah. Maka apa itu pengertian dari perkara pokok?

Al Imam Asy Syathiby -rohimahullohu- berkata:

فما عظمه الشرع فى المأمورات فهو من أصول الدين وما جعله دون ذلك فمن فروعه وتكميلاته

“Perintah-perintah yang  diagungkan oleh syari’at, maka perkara itu termasuk pokok dari agama. Adapun perkara yang dijadikan oleh syari’at lebih rendah dari itu, maka dia itu termasuk cabang agama dan penyempurnaannya.” (“Al Muwafaqot”/1/hal. 338).

Al Imam Ibnu Abi Zaid Al Qoirowaniy -rohimahullohu- telah mengisyaratkan yang demikian itu di dalam kitab beliau “Al Jami’” (hal. 106) saat menyebutkan pokok-pokok As Sunnah:

فمما أجمعت عليه الأمة من أمور الديانة ومن السنن التي خلافها بدعة وضلالة …

“Maka termasuk dari perkara-perkara  yang umat ini telah bersepakat di atasnya yang berupa urusan-urusan keagamaan dan bagian dari sunnah-sunnah, yang mana penyelisihannya itu menjadi bid’ah dan kesesatan adalah sebagai berikut… (lalu beliau menyebutkan pokok-pokok aqidah Salaf).”

Al Imam Ibnul Wazir -rohimahullohu- telah mengisyaratkan bahwasanya perkara pokok tadi adalah:

من مهمات الدين الواجبة

“termasuk dari perkara-perkara agama yang besar yang bersifat wajib”.

Al Imam Abul Muzhoffar As Sam’aniy -rohimahullohu- berkata:

كل ما كان من أصول الدين فالأدلة عليها ظاهرة باهرة والمخالف فيه معاند مكابر والقول بتضليله واجب والبراءة منه شرع.

“Setiap perkara yang termasuk pokok-pokok agama, maka dalil-dalilnya itu terang dan jelas, dan orang yang menyelisihi dalam perkara tadi adalah pembangkang yang menentang perkara yang dalilnya nyata. Dan wajib untuk menghukumi orang tadi sebagai orang yang sesat, dan disyariatkan untuk berlepas diri darinya.” (“Qowathi’il Adillah” (5/hal. 13)).

Al Imam Ath Thufiy -rohimahullohu-  berbicara tentang makna pokok agama yang umum adalah:

القطعية التي أدلتها ظاهرها في نفس كل عاقل

“Perkara-perkara pasti yang dalil-dalilnya itu sesuai dengan lahiriyahnya yang dikenal oleh setiap orang yang berakal.”

Dan beliau -rohimahullohu- menambahkan:

وإن منع العامي عيه من التعبير عنها

“Sekalipun kelemahan seseorang yang awam itu menghalanginya untuk mengungkapkan perkara pasti tersebut.” (rujuk “Mukhtashorur Roudhoh”)

Kesimpulan dari pendapat ini semua: bahwasanya perkara pokok ( أصل الدين) adalah:

كل ما عظمه الشرع، نصب له من الأدلة والحجج ما يصير به قطعيا ظاهرا معلوما

“Setiap perkara yang diagungkan oleh syariat, sementara dalil-dalil dan argumentasi juga ditancapkan untuk menunjukkannya yang menyebabkan perkara itu jadi pasti, nyata dan diketahui.” (“Al Burhanul Manqul”/hal. 9/Asy Syaikh Sa’id bin Da’as Al Yafi’iy -hafizhohulloh-).

Pasal Tiga: Agama memang bertingkat-tingkat

Bukan Berarti Kita mengikuti para Ahlul bid’ah yang membagi agama itu jadi usul dan furu’ dengan tujuan meremehkan sebagian urusan agama. Tapi yang diinginkan di sini adalah sebagaimana istilah yang sering diucapkan ulama Salaf: “Ashulus Sunnah”, “Ashlus Sunnah”, “Syarhu Ushul I’tiqod Ahlis Sunnah”, “Ushulus Sunnati ‘indana …”, “Al Ushuluts Tsalatsah”, “Al Ushulus Sittah” dan sebagainya. Yang demikian itu dikarenakan agama Islam ini memang bertingkat tingkat, ada yang posisinya tinggi dan tertinggi, ada yang posisinya rendah dan terendah, sebagaimana hadits cabang-cabang keimanan. Ada yang penting, ada yang lebih penting, tapi tidak ada yang tidak penting.

Makanya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -rohimahullohu- di samping beliau membantah para ahlu bid’ah yang  membagi agama itu jadi usul dan furu’, beliau sendiri sering berkata: “Ini adalah pokok dari agama”, “Di antara pokok-pokok agama adalah …” Misalnya adalah beliau berkata:

فكان من الأصول المتفق عليها بين الصحابة والتابعين لهم بإحسان أنه لا يقبل من أحد قط أن يعارض القرآن لا برأيه ولا ذوقه ولا معقوله ولا قياسه …

“Makanya di antara perkara-perkara pokok yang disepakati oleh para Shohabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik adalah: Tiada seorangpun yang diterima penentangannya terhadap Al Qur’an, baik dengan rasionya, perasaannya, hasil akalnya, ataupun qiyasnya, …” (“Majmu’ul Fatawa”/13/hal. 28).

 

Bab Enam:

Penyelisihan Kedua Anak Al Mar’iy dan Pengikutnya Terhadap Kewajiban Menjaga Persatuan

 

Jawaban keenam: Inilah salah satu inti persengketaan Salafiyyun di Dammaj dan yang bersama mereka dengan pihak-pihak yang masih juga tidak paham kebatilan Abdurrohman bin Umar bin Mar’iy Al ‘Adniy. Salah satu pokok Islam dan Sunnah yang diselisihi orang ini adalah: kewajiban menjaga persatuan di atas As Sunnah.

Sudah jelas bahwasanya persatuan sesama Muslimin amat dijunjung tinggi di dalam syari’at agama ini. Dia merupakan salah satu pokok As Sunnah. Dan dalil-dalilnya amatlah terang dan pasti. Alloh ta’ala berfirman:

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ الله جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا [آل عمران/103]

“Dan berpegangteguhlah kalian semua dengan tali Alloh dan janganlah kalian bercerai-berai.” (QS Ali ‘Imron 103)

Alloh ta’ala berfirman:

وَلَا تَكُونُوا مِنَ الْمُشْرِكِينَ * مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ [الروم : 31 ، 32]

“Dan janganlah kalian termasuk golongan Musyrikin, termasuk orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka berkelompok-kelompok, setiap golongan bangga dengan apa yang ada pada mereka.” (QS. Ar Rum: 31-32).

Alloh ta’ala berfirman:

وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ [آل عمران/105]

“Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang bercerai berai dan berselisih setelah datang dalil-dalil kebenaran, dan mereka itu orang-orang yang berhak mendapatkan siksaan yang besar.” (QS. Ali ‘Imron: 105).

Alloh ta’ala berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ [الأنعام/159]

“Sesungguhnya  orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka berkelompok-kelompok, engkau itu tidak termasuk dari mereka sedikitpun.” (QS. Al An’am: 159)

Abu Huroiroh -rodhiyallohu ‘anhu- berkata: Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wasallam- bersabda:

( إن الله يرضى لكم ويكره لكم ثلاثا فيرضى لكم أن تعبدوه ولا تشركوا به شيئا وأن تعتصموا بحبل الله جميعا ولا تفرقوا ويكره لكم قيل وقال وكثرة السؤال وإضاعة المال )

“Sesungguhnya Alloh meridhoi untuk kalian tiga perkara, dan membenci untuk kalian tiga perkara. Dia ridho untuk kalian: kalian itu beribadah pada-Nya dan tidak menyekutukan dengan-Nya sesuatu apapun. Dan ridho untuk kalian semuanya berpegangteguh dengan tali Alloh dan tidak bercerai-berai. Dan membenci untuk kalian penyebaran berita yang tidak jelas, banyak bertanya, dan penyia-nyiaan harta.” (HR. Muslim (4481)).

Dalam merapikan barisan sholat jamaah beliau -shollallohu ‘alaihi wasallam- bersabda:

استووا ولا تختلفوا فتختلف قلوبكم

“Luruskan barisan, dan jangan saling berselisih yang menyebabkan hati-hati kalian berselisih” (HR. Muslim (972) dari Abu Mas’ud -rodhiyallohu ‘anhu- )

Dan masih banyak dalil yang menunjukkan pengagungan persatuan dan larangan berpecah-belah.

Al Imam Ibnul Qoyyim -rohimahullohu- berkata:

وكان التنازع والاختلاف أشد شيء على رسول الله صلى الله عليه وسلم ، وكان إذا رأى من الصحابة اختلافا يسيرا في فهم النصوص يظهر في وجهه حتى كأنما فقئ فيه حب الرمان ويقول : «أبهذا أمرتم؟».

“Dan pertengkaran dan perselisihan itu adalah perkara yang paling berat bagi Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wasallam-. Dulu beliau jika melihat ada perselisihan ringan di kalangan Shohabat dalam memahami nash tampaklah kebencian di wajah beliau sampai-sampai seakan-akan di wajah beliau bermunculan biji-biji delima dan berkata: “Untuk inikah kalian diperintahkan?” (“I’lamul Muwaqqi’in”/1/hal. 354).

Para Salaf banyak menyebutkan perkara ini dalam pokok-pokok Ahlussunnah Wal Jama’ah. Di antara mereka adalah Abu Ja’far Ath Thohawiy dalam “Al ‘Aqidah Ath Thohawiyyah” (2/755/syarh Ibnu Abil ‘Izz), Abdurrohman Al Mu’allimy dalam “Al Qoid Ila Tashihil ‘Aqoid” (hal. 241), Abu ‘Amr Ad Daniy dalam “Ar Risalatul Wafiyyah” (hal. 67), dan Ibnu Abi Zamanain dalam “Ushulus Sunnah” (hal. 35), Al Barbahariy dalam “Syarhus Sunnah” (hal. 65), serta Al Khollal dalam “As Sunnah” (1/hal. 617) dan yang lainnya -rohimahumullohu-.

Al Imam Ibnul Qoyyim -rohimahullohu- berkata:

والمقصود أن الاختلاف مناف لما بعث الله به رسوله

“Maksud dari pembahasan ini adalah bahwasanya perselisihan itu meniadakan apa yang dengannya Alloh mengutus Rosul-Nya.” (“I’lamul Muwaqqi’in”/1/hal. 259).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -rohimahullohu- berkata:

وهذا التفرق والاختلاف يوجب الشرك وينافي التوحيد الذي هو إخلاص الدين كله لله

“Perpecahan dan perselisihan ini menyebabkan timbulnya kesyirikan dan meniadakan tauhid yang mana dia itu adalah pemurnian agama semuanya untuk Alloh.” (“Qo’idatun fil Mahabbah” sebagaimana dalam “Jami’ur Rosail” (2/229)).

Abu Sulaiman Al Khoththobiy -rohimahullohu- berkata:

فأما الافتراق في الآراء والأديان فإنه محظور في العقول محرم في قضايا الأصول لأنه داعية الضلال وسبب التعطيل والإهمال . ولو ترك الناس متفرقين لتفرقت الآراء والنحل ولكثرت الأديان والملل ولم تكن فائدة في بعثة الرسل

“Adapun perpecahan di dalam pendapat dan agama, maka yang demikian itu terlarang berdasarkan akal, dan harom berdasarkan pokok-pokok agama, karena yang demikian itu akan menyeru kepada kesesatan, dan menyebabkan penyia-nyiaan. Seandainya manusia dibiarkan bercerai berai pastilah akan terjadi percerai-beraian pendapat dan pemikiran, dan pastilah berbagai agama dan aliran kepercayaan akan menjadi banyak, dan pengutusan para Rosul tidak lagi berfaidah.” (“Al ‘Uzlah”/hal. 57).

Demikian pula disinggung oleh Al Imam As Sam’aniy -rohimahullohu- dalam “Al Intishor Li Ashabil Hadits” (hal. 42).

Dengan seluruh penjelasan di atas, maka jadilah perpecahan itu alamat keluarnya seseorang dari Ahlussunnah dan masuk ke dalam kebid’ahan.

Al Imam Asy Syathibiy -rohimahullohu- berkata:

فلهم خواص وعلامات يعرفون بها وهي على قسمين : علامات إجمالية وعلامات تفصيلية. فأما العلامات الإجمالية فثلاث: إحداها : الفرقة التي نبه عليها قوله تعالى –ثم ذكر بعض الأدلة، ثم قال:-  وهذا التفريق ـ كما تقدم ـ إنما هو الذي يصير الفرقة الواحدة فرقا والشيعة الواحدة شيعا. قال بعض العلماء : صاروا فرقا لاتباع أهوائهم وبمفارقة الدين تشتت أهواؤهم فافترقوا

“Maka mereka memiliki ciri khas dan alamat yang dengannya mereka diketahui, yaitu ada dua macam: Alamat global, dan alamat terperinci. Adapun alamat yang global ada tiga: yang pertama: Perpecahan, yang telah diperingatkan oleh Alloh ta’ala –lalu beliau menyebutkan beberapa dalil, lalu berkata:- pemecah-belahan ini sebagaimana tersebut sebelumnya dia itulah yang membuat satu kelompok menjadi berbagai kelompok, dan membuat satu golongan menjadi banyak golongan. Sebagian ulama berkata: mereka menjadi pecahan-pecahan karena mengikuti hawa nafsu mereka. Dan dengan menyelisihi agama jadilah hawa nafsu mereka beraneka ragam sehingga merekapun bercerai berai.” (“Al I’tishom”/2/hal. 231).

Catatan penting: Yang dimaksudkan dengan persatuan di sini adalah persatuan di atas As Sunnah. Adapun jika suatu masyarakat hidup rukun di atas suatu kesalahan dan penyimpangan, lalu ada seorang da’i yang menyeru mereka untuk memperbaiki kesalahan tadi, lalu terjadi perpecahan, maka bukanlah sang penyeru yang bersalah, tapi yang bersalah adalah kelompok yang tidak mau tunduk pada kebenaran sehingga tidak turut bersatu di atas Ash Shirothol mustaqim bersama kelompok yang tunduk kepada kebenaran tadi.

Demikianlah keadaan para Nabi -shollallohu ‘alaihim wasallam-, ketika mereka membawa kebenaran terpecahlah masyarakatnya antara yang menerima dan yang menentang. Alloh ta’ala berfirman:

وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا إِلَى ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَالِحًا أَنِ اعْبُدُوا الله فَإِذَا هُمْ فَرِيقَانِ يَخْتَصِمُونَ [النمل/45]

 “Dan sungguh Kami telah mengutus kepada Tsamud saudara mereka Sholih yang menyeru: “Beribadahlah kalian kepada Alloh” maka tiba-tiba saja mereka menjadi dua kelompok yang yang bersengketa.” (QS. An Naml: 45).

Dalam hadits Jabir bin Abdillah -rodhiyallohu ‘anhuma-:

ومحمد – صلى الله عليه وسلم – فرق بين الناس

 “Dan Muhammad -shollallohu ‘alaihi wasallam- itu memisahkan di antara manusia.” (HR. Al Bukhoriy)

Mala ‘ali Al Qoriy -rohimahullohu- menukilkan maknanya:

أي فارق بين المؤمن والكافر والصالح والفاسق

“Maknanya adalah: Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wasallam- itu pemisah antara orang yang beriman dan orang yang kafir, orang yang sholih dan orang yang fasiq.” (“Mirqotul Mafatih”/1/hal. 496).

            Adapun permasalahan yang kita bahas sekarang ini adalah seseorang yang membawa perkara baru di dalam syari’at sehingga menyebabkan perpecahan.

Sekarang, apa yang dilakukan oleh Abdurrohman bin Umar Al ‘Adaniy?

Berikut ini adalah sepercik gambaran bagaimana dia dan pengikutnya membikin kekacauan di markiz dakwah Salafiyyah di Dammaj, dan di barisan Salafiyyah Yaman secara umum.

Ini adalah ringkasan dari ucapan Asy Syaikh Abu Hamzah Muhammad bin Husain Al ‘Amudiy([2]) -hafizhohulloh-:

“Sesungguhnya awal fitnah yang dibuat oleh Abdurrohman Al Mar’iy di Darul Hadits Was Sunnah [Dammaj] adalah kasus pencatatan nama calon pembeli tanah di markiz yang masih belum dibangun di Fuyusy. Maka yang terjadi di Dammaj adalah sebagai berikut:

1-  Abdurrohman Al Mar’iy menempuh metode baru yang belum dikenal oleh para ulama Sunnah di Yaman, bahkan bukan metode Salafush Sholih, dan bukan bagian dari sifat mereka yang terpuji ataupun akhlaq mereka yang agung.

2- untuk mendukung bala’ (malapetaka ini) dia meminta bantuan orang-orang yang dikenal memiliki dendam, kebencian dan kedengkian terhadap pemegang Darul Hadits Dammaj.

Berikut ini adalah langkah-langkah yang ditempuh oleh  Abdurrohman Al Mar’iy di Darul Hadits di Dammaj:

Ketika Abdurrohman Al Mar’iy mengumumkan permulaan pencatatan nama tersebut, dia menebarkan berita di tengah-tengah penuntut ilmu bahwasanya tenggang waktu pencatatan tidak lebih dari empat hari saja, dan bahwasanya pembangunan tanah tersebut akan selesai dalam tempo satu tahun. Tentu saja tempo yang amat sempit dan pembatasan yang telah dirancang tadi menunjukkan padamu besarnya bahaya impian dan makar tadi. Orang ini tidak memberikan kesempatkan yang cukup bagi pelajar untuk memikirkan tadi bahaya, efek dan akibat dari urusan ini. Dan dia tidak tahu tipu daya tadi. Tapi Alloh ta’ala berfirman:

}وَيَمْكُرُونَ وَيَمْكُرُ الله وَالله خَيْرُ الْمَاكِرِينَ{ [الأنفال/30]

“Mereka membikin tipu daya, dan Alloh membalas tipu daya mereka. Dan Alloh itu sebaik-baik pembalas tipu daya.” (QS. Al Anfal: 30).

            Maka yang terjadi sebagai akibat dari tenggang waktu yang cukup mencekik tersebut adalah: banyak pelajar yang tertimpa kesusahan. Sebagian dari mereka akhirnya harus membuang rasa malu untuk mengemis dalam mencari uang. Ada sebagiannya yang sibuk berpikir dan goncang hatinya dikarenakan waktu tidak mengizinkan untuk terlambat.

            Keadaan ekonomi para pelajar sudah diketahui bersama, dan jumlah uang yang harus dibayarkan untuk membeli tanah itu tidak dimiliki oleh mayoritas mereka([3]). Tentu saja kondisi seperti ini telah benar-benar diketahui oleh Abdurrohman Al Mar’iy. Tapi dia memanfaatkan kelemahan ekonomi para pelajar tersebut. Oleh karena itulah dia menawarkan kepada mereka harga yang menurut orang lain cukup murah tersebut. Akibatnya sebagian dari pelajar bagaikan orang gila yang goncang dalam upayanya mendapatkan dana senilai harga tersebut.

            Mestinya yang wajib dilakukan oleh Abdurrohman Al Mar’iy dalam kondisi seperti ini adalah untuk tidak membuat sempit para pelajar, dan tidak membikin pembatas waktu yang menjerumuskan mereka ke dalam kesusahan. Ini jika kita menerima bahwasanya perbuatannya tadi benar([4]).

            Engkau bisa melihat sebagian pelajar menjual emas istrinya, ada juga yang berutang, ada juga bisa engkau lihat dia itu sedih karena tidak mendapatkan uang untuk membeli tanah tadi, terutama dengan sempitnya waktu. Ada juga dari mereka yang menghasung sebagian pelajar untuk menjual rumahnya yang di Dammaj sehingga bisa memiliki dana untuk membeli tanah yang di kota perdagangan Fuyusy. Akibatnya sebagian pelajar ada yang terjerumus ke dalam jebakan tadi, ada yang tertimpa kesempitan, ada juga yang kesusahan.

            Adapun orang yang telah membeli tanah tadi, mulailah dia setelah itu memikirkan pembangunannya, dan darimana mendapatkan dana agar bisa mendirikan bangunan di atas tanah tadi. Maka terjatuhlah orang tadi ke dalam kesusahan, yang meyebabkan sebagiannya berkurang semangat belajarnya dan mulai condong kepada dunia.

            Ribuan pelajar Darul Hadits di Dammaj rumah mereka terbangun dari bata dan tanah liat, serta ranting dan dahan dari pohon Atsl dan sebagainya. sekalipun demikian mereka berada di dalam ketenangan dan ketentraman dalam proses jihad menuntut ilmu. Kamu dapati kehidupan mereka dekat dengan kehidupan para Salafush Sholih -rohimahumullohu- dalam masalah zuhud di dunia, dan cinta akhirat.

Tapi bagaimana pendapat kalian jika mereka pindah ke kota perdagangan Fuyusy dan mendapati masyarakatnya saling membanggakan bangunan dan perumahan? Apakah para pelajar tadi akan berpikir untuk membangun rumah dengan harga murah sebagaimana keadaan mereka di Darul Hadits Dammaj? Apakah hati mereka akan rela dan senang dengan yang demikian itu dalam kondisi mereka melihat rumah-rumah megah dan pondasi-pondasi yang gagah?

Tidak diragukan bahwasanya jiwa itu senang dengan ketinggian dan tidak menyukai kerendahan. Maka kamu dapati sebagian dari mereka mulai melongok dan menginginkan untuk melakukan apa yang diperbuat oleh orang lain([5]). Pastilah mereka berusaha untuk mencari pekerjaan agar bisa mengumpulkan dana senilai bangunan di dusun Fuyusy.([6]) Dan hal ini membutuhkan umur dan waktu yang panjang, dan kamu tahu kondisi reyal Yaman. Bahkan barangkali sebagian dari mereka akan pergi sampai bisa mengumpulkan dana sesuai dengan apa yang dimudahkan oleh Alloh. Dan ini sukar untuknya, dan menjadi beban baginya. Barangkali dia akan menjual rumahnya di Dammaj karena sempitnya waktu. Dan memang inilah yang diinginkan oleh Abdurrohman Al Mar’iy yang untuk itu dia mengumumkan impian ini, yaitu memalingkan pelajar dari kebaikan dan besar ini (Markiz Dammaj yang telah berdiri lebih dari tiga puluh tahun), dan menghalangi mereka darinya. Hal ini telah banyak terjadi. Berapa banyak pelajar yang menjual rumahnya dengan harga murah, padahal sebelumnya dia berhasrat untuk bisa mendapatkan harga tinggi saat menjualnya. Sampai-sampai engkau mendapati sebagian iklan penjualan yang digantungkan di dinding di situ tertulis rangsangan untuk cepat membelinya:

من أراد أن يشتري بيتا رخيصا جدا جدا في المزرعة عند البُمبَة فعليه أن يتصل برقم كذا وكذا، اغتنم الفرصة!

“Barangsiapa ingin membeli rumah sangat murah sekali di mazro’ah (nama salah satu kompleks perumahan di Dammaj), di sampai pompa air, maka silakan menelpon nomor ini (… ). Manfaatkan kesempatan!”

            Dan kebanyakan pelajar yang terjatuh ke dalam efek buruk dari urusan ini dan menjadi objek terkaman dan  sajian siap santap Abdurrohman Al Mar’iy adalah para pelajar dari ‘Adn. Banyak dari mereka yang menjadi korban fitnah ini, dan  Abdurrohman Al Mar’iy berhasil mengumpulkan ke dalam barisannya angka maksimal yang mungkin dicapai. Dan itu telah dia lakukan. Rahasianya adalah: kebanyakan dari saudara kita yang berasal dari ‘Adn kehidupan dan kondisi rumah mereka sudah terkenal. Sebagian dari mereka berangan-angan bahwasanya di ‘Adn itu untuk bisa memiliki sekedar rumah sederhana yang bisa menaungi dirinya dan keluarganya. Yang demikian itu adalah dikarenakan telah sempitnya perumahan di ‘Adn, ditambah lagi dengan adanya beberapa kemungkaran dan penyelisihan syari’at di sebagian tempat([7]).

Maka manakala ada pelajar ‘Adaniy yang ditawari tanah seluas (12 x 12) dengan harga cukup murah([8]), kamu dapati air liurnya menetes dan akalnyapun goyang. Maka Abdurrohman Al Mar’iy dengan perbuatannya tadi telah menyihir mereka sehingga mereka menjadi lalai dan goyang. Andaikata engkau melihat langsung keadaan sebagian dari mereka tentulah engkau mengira dia itu gila dikarenakan hebatnya penawaran. Sampai bahkan engkau bisa melihat sebagian dari mereka membolak-balikkan HP-nya melihat nama-nama yang ada di dalam HP, barangkali dia lupa mengingatkan sebagian dari mereka untuk turut membeli tanah di dusun perdagangan Fuyusy. (risalah “Tadzkirun Nubaha Wal Fudhola”/Asy Syaikh Muhammad Al ‘Amudiy Al Hadhromiy Al ‘Adniy/hal. 3-9).

Akhunal Mustafid Abu Usamah Adil As Siyaghiy Ash Shon’aniy -hafizhohulloh- menyebutkan tahapan hizbiyyah  Abdurrohman Al Mar’iy adalah: menghasung sebagian pelajar untuk membeli kapling-kapling tanah murah. “Dan terkadang mereka (para makelar  Abdurrohman Al Mar’iy) mendatangi sebagian pelajar asing dan menjanjikan buat mereka surat izin tinggal dan berbagai kemudahan. Inilah sebagian dari berita dari Akhunal fadhil Abu Huroiroh pelajar dari Pakistan.” (risalah “As Suyufusy syahiroh”/hal. 2).

Kesimpulan dari ini semua adalah sebagaimana ucapan  Asy Syaikh Muhammad Al ‘Amudiy Al Hadhromiy Al ‘Adniy -hafizhohulloh-:

صنع عبد الرحمن بن مرعي العدني ضجة كبرى في المركز الأم بالتسجيل والتصييد بالأماني

“Bahwasanya Abdurrohman Al Mar’iy Al ‘Adniy telah membuat kegegeran besar di markiz induk (Dammaj) dengan proyek pencatatan nama dan penjaringan pelajar lewat tawaran yang menggoda angan-angan.” (“Silsilatuth Tholi’ah”/3/hal. 12).

Silakan rujuk kembali kabar fitnah dan kegoncangan tersebut di “Zajrul ‘Awi” (1/hal. 10), “Silsilatuh Tholi’ah” (4/hal. 12 dan 25), “Al Muamarotul Kubro” (Abdul Ghoni Al Qosy’amiy/hal. 18), “Haqoiq Wa Bayan” (Kamal Al ‘Adaniy/ha. 31), dan “Nashbul Manjaniq” (Yusuf Al Jazairiy/hal. 79).

Asy Syaikh Muhammad Ba Jammal -hafizhohulloh- (pengajar di salah satu masjid di Hadhromaut) berkata: “Di antara berita yang tersebar dan diketahui bersama adalah bahwasanya Asy Syaikh Abdurrohman –Ashlahahulloh- punya para wakil yang menjalankan proyek pencatatan nama-nama orang yang ingin membangun di tanah markiz Lahj (Fuyusy). Dia sebelum itu punya iklan dan pengumuman besar yang tiada tandingannya, bahkan menelpon si fulan dan si fulan di sana dan di sini, yang mana kejadian tersebut membuat tersentaknya orang-orang yang berakal. Yang demikian itu dikarenakan markiz-markiz Ahlussunnah tidak didirikan dengan karakter dan gaya seperti itu, seperti yang diinginkan Asy Syaikh Abdurrohman –Ashlahahulloh- dalam mendirikan  markiz Lahj.

Semua orang tahu secara pasti bahwasanya tiada seorangpun pada zaman Syaikhunal Imam Al Wadi’iy -rohimahullohu- bisa tinggal di Dammaj sambil mencatat para pelajar yang ingin pindah ke markiz barunya –yang sampai sekarang masih berupa tanah kosong!([9]) Padahal dulu markiz-markiz itu didirikan setelah itu barulah orang yang diwakilkan untuk mengajar di situ pindah ke markiz tersebut. Terkadang pada permulaannya Syaikhuna -rohimahullohu- diminta untuk menentukan orang yang akan mengajar di situ.

Maka mengapa perkara yang seperti ini terjadi di Darul Hadits di Dammaj dalam keadaan pengganti bapak kita ada tapi tidak dimintai musyawarahnya !!? apakah kalian pandang seperti ini bentuk bakti, bantuan dan pertolongan buat markiz Syaikhuna -rohimahullohu-, ataukah hal itu merupakan suatu bentuk kedurhakaan dan permusuhan !!?

Aku merasa kagum dengan kecerdasan sebagian saudara kita dari pelajar asing manakala dia bertanya kepada seorang teman: “Andaikata Asy Syaikh Muqbil masih hidup, mungkinkah Asy Syaikh Abdurrohman melakukan perkara seperti ini, yaitu mencatat nama pelajar Dammaj yang mau pindah ke Fuyusy?” Nama teman tadi menjawab: “Nggak bisa.” Maka dia berkata,”Berarti ini nggak benar”.” (“Mulhaqun Nadhor”/hal. 13).

 

Walaupun sebagian masyayikh Yaman tidak bisa menghukumi Abdurrohman Al Mar’iy sebagai hizbiy, tapi mereka dalam sidang awal di Dammaj telah menetapkan bahwasanya dirinya bersalah dengan perbuatan tadi. (Lihat “Al Barohinul jaliyyah”/hal. 9).

Bahkan Asy Syaikh Abdulloh bin ‘Utsman Adz Dzamariy -hafizhohulloh- dalam sidang itu berkata pada  Abdurrohman Al Mar’iy:

(الفتن ثارت من تحت قدمك)

“Fitnah ini menyebar dari bawah telapak kakimu.” (“Haqoiq wa Bayan”/hal. 36/Kamal bin Tsabit Al ‘Adniy -hafizhohulloh-).

Demikian pula Asy Syaikh Yahya -hafizhohulloh- memberitakan kepada kami di dars ‘am.

Dan Syaikhuna Yahya -hafizhohulloh- berkata:

عبد الرحمن بن مرعي العدني قد فرق شملة السلفيين باليمن بل وخارجها.

“Abdurrohman bin Mar’iy Al ‘Adniy telah memecah-belah kesatuan Salafiyyin di Yaman dan di luar Yaman.”

Beliau -hafizhohulloh- juga berkata dalam selebaran yang berjudul “Ma Syahidna Illa Bima ‘Alimna”:

… قلقلة عبدالرحمن العدني والمتعصبين له قريبة من قلقلة أصحاب أبي الحسن المصري ومن تعصبهم له، ولا يمكن تفسيرها بغير أنها حزبية نظير سالفاتها، التي تثور علينا في دماج ثم يكشف حالها شيئًا فشيئًا، حتى تصير واضحة لكل سلفي بعيد عن القلقلة، وعن محاولة زرع بذرة الفرقة في أوساط الدعوة السلفية، بأساليب لا ينبغي أن تلتبس على من قد رأى الأمثال، وعرف التجارب من سابقاتها، وبالله التوفيق. كتبه: أبو عبدالرحمن يحيى بن علي الحجوري. اهـ

“… kekacauan yang dibikin oleh  Abdurrohman Al ‘Adniy dan para pengikutnya yang fanatik itu mirip dengan pengacauan Abul Hasan Al Mishriy dan para pengikutnya yang fanatik. Tidak mungkin ditafsirkan selain bahwasanya perbuatan tersebut adalah hizbiyyah seperti hizbiyyah yang terdahulu, yang berkobar menyerang kami di Dammaj, lalu tersingkaplah hakikatnya sedikit demi sedikit sampai akhirnya menjadi jelas bagi seorang Salafiy yang jauh dari kekacauan dan dari upaya untuk menebarkan benih-benih perpecahan di tengah-tengah dakwah Salafiyyah dengan cara-cara yang tidak sepantasnya masih tersamarkan oleh orang yang telah melihat permisalan-permisalan, dan tahu praktek-praktek percobaan dari hizbiyyah yang terdahulu. Dengan Alloh sajalah kita akan mendapatkan taufiq.

Ditulis oleh Yahya bin ‘Ali Al Hajuriy.”

Di antara bukti perpecahan yang dibikin oleh  Abdurrohman Al ‘Adniy dan para pengikutnya adalah upaya mengadu domba para ulama di Yaman dan bahkan dengan yang di Saudi.

            Syaikhuna Al ‘Allamah Yahya Al Hajuriy -hafizhohulloh- berkata kepada ‘Ubaid Al Jabiriy –hadahulloh-:

هل من حسن المجالسة التحريش بين أهل السنة؟!! وهذا شيء ثابت عليهم، التنقل والاتصال من مكان إلى مكان عند مشايخ السنة في اليمن وغيره، حتى كادوا أن يصنعوا بيننا هنا في اليمن فتنة، ولكن الله سلم إنه عليم بذات لصدور.

“Apakah termasuk dari bagusnya duduk-duduk adalah upaya untuk mengadu domba di antara Ahlussunnah!!!? Perkara ini telah terbukti ada pada mereka: pindah dari sini ke sana, telpon sana-sini di masyayikh Sunnah di Yaman dan yang lainnya, sampai hampir-hampir mereka berhasil membuat fitnah di antara kami di Yaman, akan tetapi Alloh menyelamatkan. Sesungguhnya Alloh Mahatahu apa yang ada di dalam isi hati.” (“At Taudhih Lima Ja’a fit Taqrirot”/hal. 9).

Syaikhuna Yahya -hafizhohulloh- juga berkata padanya:

ولا أنسى أن أذكرك يا شيخ أن كثيرًا ممن يصنعون الفتن والقلاقل في الدعوة السلفية في اليمن إذا فضحوا عندنا هرعوا إلى علماء السعودية، يتصنعون عندهم، حتى إن من أهل السنة من يقول: لماذا ما تتفقون مع الزنداني، ومع إخوانكم أصحاب جمعية كذا وكذا، ولهم عذرهم في ذلك، كما ذكرت في جوابك هذا، غير أن ثناءهم وحسن ظنهم بهم، لا ينزههم مما أحدثوه عند من علموا منهم ذلك، بل لا يزدادون فيهم إلا بصيرة، أنهم مروجون للفتن، وليسوا أصحاب سكينة، ولا أوابين إلى الله عز وجل من شرهم ذلك. (“التوضيح لما جاء في التقريرات” ص10-11).

“Dan aku tidak lupa untuk mengingatkan anda wahai Syaikh, bahwasanya kebanyakan orang-orang yang membikin fitnah dan kegoncangan di dalam Dakwah Salafiyyah di Yaman, jika mereka telah terbongkar di tempat kami merekapun bergegas lari ke ulama Saudi, bergaya di hadapan mereka sampai-sampai ada di kalangan Ahlussunnah yang berkata –karena tertipu-: “Kenapa kalian tidak bersapakat saja dengan Az Zindaniy, bersama saudara kalian dari Jam’iyyah ini dan itu?” Dan mereka punya udzur atas ucapan tadi, sebagaimana anda sebutkan di dalam jawaban anda tersebut. Akan tetapi pujian mereka dan baik sangkanya mereka kepada orang-orang tadi tidak bisa membersihkan orang-orang tadi dari kasus yang mereka perbuat di sisi orang yang tahu perbuatan mereka tadi. Bahkan perbuatan mereka tadi (bergaya di hadapan ulama Saudi agar mendapatkan tazkiyah) justru semakin memperkuat pengetahuan mereka (Ahlussunnah yang tahu jati diri orang-orang tadi), bahwasanya mereka itu cuma pelaris fitnah, bukan orang-orang yang tenang dan bertobat kepada Alloh ‘Azza Wajalla dari kejahatan mereka tadi.” (“At Taudhih Lima Ja’a fit Taqrirot”/hal. 10-11).

Maka perbuatan Abdurrohman Al ‘Adniy dan pengikutnya tadi adalah sebagaimana yang disebutkan oleh  Syaikhuna Yahya -hafizhohulloh-:

توسعة دائرة الخلاف بين أهل السنة. (“التنبيهات المفيدة” /له حفظه الله ص3).

“Perluasan area perselisihan di kalangan Ahlussunnah.” (“At Tanbihatul Mufidah”/Asy Syaikh Yahya/hal. 3).

Bahkan ini pula yang dilihat oleh Asy Syaikh Hasan bin Qosim Ar Roimiy -hafizhohulloh- (pemegang dakwah Salafiyyah di Ta’iz). Lihat kitab beliau “Ar Roddul Qosimiy”/hal. 3.

Saking terkenalnya perbuatan mereka dalam memecah-belah ulama dan Ahlussunnah sampai-sampai terabadikan di dalam “Tanbihus Salafiyyin” (9-17), “Zajrul ‘Awi (3/hal. 34), “Nashbul Manjaniq (hal. 134-139), “Iqozhul Wisnan” (hal. 5 dan 29), “Al Barohinul Jaliyyah” (hal. 31-32), dan “Al Qoulush Showab”.

Sungguh orang yang berakal dan berilmu akan sulit mengingkari bukti-bukti upaya adu domba dan perpecahan disebabkan dan dilakukan oleh  Abdurrohman Al ‘Adniy dan para pengikutnya. Satu poin pokok ini saja cukup membahayakan Salafiyyah mereka. Mereka terancam keluar dari Ahlus Sunnah.

Al Imam Asy Syathibiy -rohimahullohu- berkata:

والفرقة من أخص أوصاف المبتدعة لأنه خرج عن حكم الله وباين جماعة أهل الإسلام.

“Dan perpecahan merupakan sifat yang paling khusus dari ahli bid’ah karena dia itu keluar dari hukum Alloh dan menyelisihi jama’ah Ahlul Islam.” (“Al I’tishom”/hal. 88).

            Cak Dul, jangan ngantuk ya, kita sekarang sedang perang hujjah. Termasuk perkara yang memperbesar retaknya persatuan Salafiyyin adalah gigihnya para pengikut Abdurrohman Al ‘Adaniy untuk merebut kepengurusan masjid-masjid Ahlussunnah. Akhunal fadhil Al Mustafid Abul Hasan Ihsan Al Lahjiy -hafizhohulloh- telah mencatat operasi keji mereka dalam mengambil alih kepengurusan masjid-masjid Ahlussunnah di wilayah selatan, di kitab beliau “Tahdzirus Sajid”

Coba lihat hal. 16-17 di kitab tadi bagaimana mereka merebut masjid Al Imam Al Albaniy.

Lalu di hal. 18-19 gambaran kebengisan hati mereka dalam mengambil masjid ‘Umar ibnul Khoththob dari Al Akh Husain bin Muhammad Az Zughoir -hafizhohulloh-. Di situ diceritakan bagaimana akhuna yang miskin ini mengumpulkan uang sedikit demi sedikit untuk membeli lahan lalu membangun masjid di atasnya untuk diwaqofkan buat ikhwan Salafiyyin Lahj yang dia kenal, tapi ternyata anak buah ibnu Mar’iy merampasnya lewat wuzaroh auqof (semacam departemen agama di Yaman).

Di hal. 20 diceritakan cara keji yang mereka praktekkan dalam mengambil alih masjid Al Anshor.

Di hal. 23 diceritakan upaya mereka untuk menguasai khothbah di masjid aparat Najdah yang selama ini dipegang oleh sang penulis. ( الحمد لله) mereka gagal.

Di hal. 24 diceritakan kelancangan salah satu tokoh mereka dalam berupaya mengambil alih masjid Al Imam Al Wadi’iy. ( الحمد لله) mereka gagal.

Di hal. 24-25 diceritakan teror yang amat besar terhadap imam masjid Al Bukhoriy agar dia melepaskan jabatan buat mereka.

Serombongan tamu yang datang dari ‘Aden juga menceritakan kejahatan-kejahatan tadi di depan umum.

Syaikhuna Yahya Al Hajuriy -hafizhohulloh- di dalam risalah beliau “At Tanbihatul Muhimmah” hal. 3 menyebutkan gerakan-gerakan tadi secara global. Beliau juga berkata di depan umum:

لا شك أنها حزبية.

“Tidak diragukan lagi bahwasanya ini adalah hizbiyyah.”

Setelah menyebutkan berbagai kejahatan mereka, beliau -hafizhohulloh- berkata dalam kesempatan lain:

إن لم تكن هذه حزبية فما ندري ما الحزبية.

“Jika seperti ini bukan hizbiyyah, maka kami tidak tahu apa itu hizbiyyah.”

Mana pengumuman pengingkaran kedua anak Mar’iy terhadap kejahatan terbuka kawan mereka itu? Jika Cak Dul dalam rangka melindungi kejahatan dirinya senang memamerkan ucapan Asy Syaikh Robi’ Al Madkholiy -hafizhohulloh-, maka kami bangga menyebutkan perkataan beliau dalam menghantam kebatilan. Ucapan beliau -hafizhohulloh- terhadap Haddadiyyun berikut ini pantas diarahkan kepada anak Mar’iy:

أنا أريد أن أرى لهم كلمات في الحداد، في باشميل، في سيد قطب، في رءوس القطبية، في رءوس الإخوان. أريد لهم كلمة. أظنهم لا يستطيعون ذلك لأنهم تصالحون معهم. (“كلمات في التوحيد” ص 91)

“Sungguh aku ingin melihat perkataan mereka terhadap Al Haddad, terhadap Ba Syumail, terhadap Sayyid Quthb, terhadap kepala-kepala Quthbiyyah, terhadap pimpinan-pimpinan Al Ikhwan. Aku ingin mereka punya perkataan terhadap mereka. Aku mengira mereka tak sanggup untuk mengucapkannya karena mereka itu telah saling damai dengan mereka.” (“Kalimatun fit Tauhid”/hal. 19).

Akhunal fadhil Abu Anas Yunus Al Lahjiy –ro’ahulloh- menuliskan:

“Alhamdulillah washsholatu wassalam ‘ala man la nabiyya ba’dahu. Amma ba’du:

Al Akh Al ‘Amudiy telah meminta padaku untuk menceritakan hakikat peristiwa yang terjadi di masjid Al Bukhoriy yang ada di propinsi Lahj di desa Mahallah. Yang demikian dikarenakan ana ada ketika berlangsungnya peristiwa tersebut. berikut ini hakikat dari kejadian tersebut:

Kami berangkat dari masjid Akhunal fadhil Abu Harun menuju masjid Akhunal fadhil Abdul ‘Aziz yang di situlah terjadi peristiwa tersebut. Dan muhadhoroh (ceramah) akan diberikan oleh  Akhuna Abdul ‘Aziz, imam dari masjid tersebut. Ketika kami sampai di masjid sebelum maghrib, kami mendapati masjid tersebut terkunci. Kemudian dibukalah masjid tersebut, dan kami tidak tahu bahwasanya sebagian orang-orang bodoh yang fanatik pada Ibnu Mar’iy beserta orang-orang awam dari penduduk desa tersebut akan melakukan kegaduhan terhadap masjid ini. Dan kami tidak tahu bahwasanya pemerintah akan mengunci masjid ini.

Maka kamipun masuk ke area masjid dan berwudhu, kemudian kami keluar menuju masjid. Dan hal itu sebelum adzan maghrib. Ketika kami dalam keadaan demikian kami mendengar ada suara-suara keras dan kegaduhan besar dari sebagian muta’ashshibun (orang-orang yang fanatik pada Ibnu Mar’iy) beserta orang-orang awam yang didorong-dorong oleh sebagian hizbiy Abdurrohman –hadahumulloh-. Mereka masuk, mengunci pintu dan mematikan lampu. Pengeras suara dirampas.

Dalam keadaan seperti itu berdirilah sang imam masjid seraya mengumandangkan adzan dalam keadaan yang sedemikian gaduhnya. Kemudian beberapa muta’ashshibun datang dengan polisi untuk mengambil Akhuna Abdul ‘Aziz dalam keadaan beliau menyampaikan ceramah. Mereka juga mendatangkan tentara untuk mengambil beliau. Hanya saja sang tentara lebih berakal daripada para hizbiyyin yang fanatik. Para tentara berkata: “Bagaimana mungkin kita menahan beliau dalam keadaan beliau menyampaikan ceramah?” Maka duduklah sang tentara dan mereka mendengarkan ceramah, dalam keadaan para muta’ashshibun terus membikin kegaduhan.

Kemudian lewatlah sebagian muta’ashshibun yang rencananya menghadiri ceramah di masjid lain di desa yang sama. Manakala mereka melihat kegaduhan di masjid ini datanglah mereka dan singgah di sini seraya menyempurnakan gangguan. Bahkan sebagian ingin menantang adu pukul.

Seusai ceramah berangkatlah kami menuju kantor polisi. Ternyata kami dapati  muta’ashshibun sudah ada di sana dan dikepalai oleh Muhammad Al Khidasyi –ashlahahulloh-. Sebagian saudara kita dimasukkan ke dalam penjara. Dan pada hari yang lain berangkatlah Abdul Ghofur Al Lahjiy –hadahulloh- (tangan kanan Abdurrohman bin Mar’iy di propinsi tersebut. Dulunya adalah anggota jam’iyyatul Hikmah lalu jam’iyyatul Ihsan, lalu jam’iyyatul Birr). Kami diberitahu bahwasanya dia berkata para polisi: “Orang awamlah yang akan memutuskan siapa yang akan menjadi imam masjid. Siapa yang mereka pilih jadi imam, jadilah dia imam.” Pada kami sudah tahu bahwasanya para muta’ashshibun telah menghasung orang-orang awam untuk menurunkan Akhuna Abdul ‘Aziz –hafizhohullohu wa saddadahu- dari jabatan imam.

Ditulis oleh  Abu Anas Yunus Al Lahjiy.

(“Zajrul ‘Awi”/Asy Syaikh Muhammad Al ‘Amudiy -hafizhohulloh-/3/hal. 24-25).

            Berikut ini adalah berita yang ditulis oleh para tamu dari kabupaten Dis Timur di Hadhromaut dan diajukan ke Syaikhuna Yahya Al Hajuriy -hafizhohulloh- yang mengeluhkan kejahatan anak buah Abdulloh bin Mar’iy:

1- Nabil Al Hamr dan anak buahnya telah melakukan praktek pengkhianatan dalam bentuk merusak Perpustakaan umum milik Salafiyyun di wilayah tersebut. Mereka mengambil seluruh kitab dan memasukkan di atas truk pasir, sambil menghinakan kehormatan masjid dan kekuasaan masjid di situ tanpa memperhatikan adab-adab syar’iyyah ataupun akhlaq yang mulia, dan berbuat jahat terhadap dunia ilmu. Yang demikian itu mereka lakukan demi menguasai perangkat dakwah yang menjadi waqof buat Salafiyyin. Dan orang ini (Nabil Al Hamr) terkenal punya penyakit gila kepemimpinan dan popularitas.

2- Orang ini (Nabil Al Hamr) juga melakukan perbuatan di luar adab-adab syar’iyyah dan adab kemasyarakatan. Ketika salah seorang ikhwah –akhuna Abu Muhammad Sholih Al Hadhromiy- yang sudah Antum kenal menyampaikan ceramah dan nasihat kepada masyarakat di dalam masjid. Beliau menyebutkan sekelumit pujian ulama kepada Asy Syaikh Yahya dan menjelaskan bahwasanya maksiat itu marupakan sebab tidak adanya taufiq kepada kebenaran. Maka datanglah si Hamr  dari luar masjid dan menyerang Akhuna Sholih dengan caci-makian seraya berteriak-teriak untuk memutuskan ceramahnya tanpa menghormati kahormatan masjid. Maka keluarlah orang-orang dari masjid dengan tercengang akan perbuatan si Hamr, yang mana hal itu belum pernah dilakukan oleh Shufiyyah ataupun Ikhwanul Muslimin di tempat kami.

3- Nabil Al Hamr yang terfitnah ini dan juga para pengikutnya melakukan praktek-praktek makar untuk menyempitkan pelajaran-pelajaran yang diadakan oleh Akhunal fadhil Abu Hamzah Hasan Ba Syu’aib, padahal pelajaran yang dia berikan itu ilmiyyah dan bermanfaat. Si Hamr yang terfitnah bersama anak buahnya berusaha melarikan masyarakat dari Akhuna Hasan dan para Salafiyyun dengan syubhat bahwasanya mereka itu melawan ulama.

9- Di sini ada Jam’iyyah yang namanya Jam’iyyatul Bandar untuk para nelayan. jam’iyyah inlah yang terus menyokong fitnah ini dan berdiri bersama Nabil Al Hamr yang terfitnah dalam rangka membantu kedua anak Mar’iy. Abdulloh bin Mar’iy adalah mufti (juru fatwa) jam’iyyah tersebut. Jam’iyyah ini telah banyak memecah belah dakwah salafiyyah dengan wala wal baro’ yang sempit dan fanatisme. Mereka siap untuk menyakiti setiap yang berbicara tentang mereka dengan meminta bantuan sebagian pejabat. Dst.

(“Akhbar Min Tholabatil ‘Ilmis Salafiyyin bi Manthiqotid Disy Syarqiyyah”/talkhish Abi Sa’id Muhammad Ad Disiy Al Hadhromiy).

Abu Fairuz berkata: Akhunal fadhil Abu Sa’id Muhammad Ad Disy -hafizhohulloh- berkata langsung padaku bahwasanya Nabil Al Hamr dan anak buahnya dengan bantuan panitia masjid telah mengusir Akhuna Abu Hamzah Hasan Ba Syu’aib -hafizhohulloh- dari rumah beliau dengan alasan bahwasanya rumah tadi bukan rumahnya. Padahal rumah itu memang rumah pemberian muhsinin untuk beliau.

 

Coba Cak Dul Ghofur perhatikan dengan adil dan jujur. Bagaimana mungkin perbuatan di atas tidak menyebabkan perpecahan dan kebencian?

Bukankah berdasarkan kaidah-kaidah salafiyyah di atas terbukti bahwasanya kedua anak Mar’iy dan pengikutnya telah keluar dari Ahlussunnah !? Berdasarkan kaidah di atas cukup bagi Salafiy yang cerdas dan terbimbing untuk menyatakan mereka itu tadi adalah hizbiyyun mubtadi’ah.

Maka cukup bagi Syaikhuna Al ‘Allamah Yahya bin ‘Ali Al Hajuriy, Asy Syaikh Muhammad bin Hizam Al Ibbiy, Asy Syaikh Abu Amr Al Hajuriy, Asy Syaikh  Abu Bilal Al Hadhromiy, Asy Syaikh Abdul Hamid Al Hajuriy, Asy Syaikh Muhammad Al ‘Amudy, Asy Syaikh  Sa’id Da’as Al Yafi’iy, Asy Syaikh Abu Mu’adz Husain Al Hathibiy dan Asy Syaikh Sa’di Da’as -hafizhohumulloh- (semuanya di markiz Dammaj) untuk menjatuhkan hukuman pada kedua anak Mar’iy dan pengikutnya.

Demikian juga Syaikhunal Walid Muhammad bin Mani’ di markiz Shon’a, Asy Syaikh Ahmad bin ‘Utsman di markiz ‘Adn, Asy Syaikh Hasan bin Qosim Ar Roimy (murid Imam Al Albany -rahimahulloh-) di markiz Ta’iz, Asy Syaikh Abdulloh Al Iryaniy di markiz Baidho, Asy Syaikh Muhammad Ba Jammal di markiz Hadhromaut, dan Asy Syaikh Abu ‘Ammar Yasir Ad Duba’iy di Mukalla. Cukup bagi semuanya -hafizhohumulloh-  untuk menjatuhkan hukuman pada kedua anak Mar’iy dan pengikutnya sebagai hizbiyyun. Dan hizbiyyun bukan Ahlussunnah.

 

Bab Tujuh:

Dua Pokok Pemahaman Dalam Menjatuhkan Hukuman

 

Jawaban ketujuh: Tahukah Cak Dul bahwasanya di dalam menjatuhkan hukuman itu diperlukan adanya dua pokok pemahaman? Al Imam Ibnul Qoyyim -rohimahullohu- berkata:

ولا يتمكن المفتي ولا الحاكم من الفتوى والحكم بالحق إلا بنوعين من الفهم : أحدهما : فهم الواقع والفقه فيه واستنباط علم حقيقة ما وقع بالقرائن والأمارات والعلامات حتى يحيط به علما . والنوع الثاني : فهم الواجب في الواقع ، وهو فهم حكم الله الذي حكم به في كتابه أو على لسان رسوله في هذا الواقع ، ثم يطبق أحدهما على الآخر ؛ فمن بذل جهده واستفرغ وسعه في ذلك لم يعدم أجرين أو أجرا ؛ فالعالم من يتوصل بمعرفة الواقع والتفقه فيه إلى معرفة حكم الله ورسوله ، كما توصل شاهد يوسف بشق القميص من دبر إلى معرفة براءته وصدقه، وكما  توصل سليمان صلى الله عليه وسلم بقوله : ” ائتوني بالسكين حتى أشق الولد بينكما ” إلى معرفة عين الأم ، -إلى قوله:- ومن تأمل الشريعة وقضايا الصحابة وجدها طافحة بهذا ، ومن سلك غير هذا أضاع على الناس حقوقهم.

“Dan tidak bisa seorang mufti atau hakim untuk berfatwa dan menghukum dengan benar kecuali dengan memiliki dua jenis dari pemahaman: Yang pertama: Memahami kenyataan yang terjadi, dan bagaimana bisa mengambil pengetahuan dari hakikat kasus yang terjadi tersebut berdasarkan faktor penyerta dan alamat serta tanda-tanda sampai bisa melingkupinya dengan ilmu.

Yang kedua: pemahaman hukum yang wajib dijatuhkan berdasarkan kenyataan tadi. Yang kedua ini adalah pemahaman terhadap hukum Alloh yang dengannya Dia menghukumi di dalam kitab-Nya atau melalui lisan Rosul-Nya terhadap kejadian ini, lalu mencocokkan salah satunya kepada yang lainnya. Barangsiapa telah mencurahkan kemampuannya untuk itu maka dia tidak akan kehilangan salah satu dari dua pahala.

Maka orang berilmu adalah orang yang mempergunakan pengetahuannya terhadap suatu kenyataan dan penelitian terhadap kasus tadi untuk mencapai pengetahuan tentang hukum Alloh dan Rosul-Nya (untuk kasus tersebut), sebagaimana saksi Nabi Yusuf -‘alaihissalam- mempergunakan robeknya baju gamis dari belakang untuk mengetahui kejujuran dan bebasnya Yusuf dan tuduhan itu, dan sebagaimana Nabi Sulaiman -shollallohu ‘alaihi wasallam- mempergunakan ucapannya “Berikan aku pisau untuk membelah anak ini dan membaginya untuk kalian berdua” untuk mengetahui sang ibu yang asli –sampai pada ucapan beliau:- Dan barangsiapa merenungkan syari’at dan keputusan-keputusan para Shohabat niscaya dia akan mendapatnya penuh dengan metode ini. Dan barangsiapa menempuh selain jalan ini niscaya dia akan menyia-nyiakan hak-hak manusia.” (“I’lamul Muwaqqi’in”/1/hal. 113-114).

Demikian pula di “Ath Thuruqul Hukmiyyah” (1/hal. 3).

( إن شاء الله) Cak Dul Ghofur paham perkara ini. Maka coba perhatikan: betapa rincinya kasus anak Mar’iy yang dipaparkan oleh para Masyayikh Dammaj dan yang bersama mereka, dan betapa jelinya pandangan mereka terhadap kasus tersebut, seluk-beluknya, arahnya dan alamat-alamat adanya kelicikan dan makar di balik selubungnya.

Kemudian coba lihat kekuatan dalil-dalil mereka dari Al Qur’an, As Sunnah dan kaidah-kaidah Salaf.

Kemudian coba lihat mantapnya kecocokan hujjah mereka dengan kasus tersebut yang menghasilkan hukum yang pas dan serasi.

Ana yakin hukum yang mereka tetapkan dalam kasus tersebut telah mencapai kebenaran, bahwasanya kedua anak Mar’iy tadi dan pengikutnya adalah hizbiyyun mubtadi’ah.

Kalaupun misalnya para ulama Dammaj dan yang ulama yang lainnya yang menyertai mereka ternyata keliru dalam menjatuhkan vonis (dan ini jauh), maka mereka adalah mujtahidun yang tidak luput dari satu pahala. Maka sama sekali tidak pantas bagi Cak Dul untuk mencaci-maki para ulama tadi, dan juga menghina pengikut mereka yang membantu mereka dengan hujjah-hujjah sebagai: “Katak dalam tempurung”. Cak Dul sendiri mengakui bahwasanya dirinya “Anak kemarin sore yang belum berpengalaman.” (hal. 3).

Ini ana sebutkan jika memang Cak Dul tahu kaidah dari Al Imam Ibnul Qoyyim -rohimahullohu- tadi atau semisalnya. Adapun jika Cak Dul tak tahu ya tolong tempurungnya buat Cak Dul saja. Dan jika ketemu katak bilanglah: “Apa kabarmu wahai saudaraku?”

 

Bab Delapan:

Pokok-pokok Salafiyyah Yang Lain Yang Diselisihi Anak Al Mar’iy dan Pengikutnya

 

Jawaban kedelapan: Masih beberapa prinsip Ahlussunnah dan pokok Salafiyyah yang diselisihi oleh Anak Mar’iy dan pengikutnya. di antaranya adalah:

1- Al Wala Wal Baro fillah (keharusan untuk cinta dan benci karena Alloh, bukan karena yang lain)

2- Keharusan untuk menolong al haq dan ahlul haq saat dibutuhkan

3- Haromnya memerangi ahlul haq

Seandainya masing-masing dari poin di atas ana sebutkan secara rinci dalil-dalilnya dan sekaligus bukti-bukti perbuatan mereka, maka berapa panjang risalah ini?

( الحمد لله) satu poin saja cukup sebagaimana penjelasan para ulama di atas. Dan ( الحمد لله) atas hidayahnya kepada kami akan poin-poin prinsip yang lain yang diselisihi oleh para hizbiyyun tadi. Bagi yang rajin membaca risalah para Salafiyyin Dammaj dan yang bersama mereka, akan dia dapati ( إن شاء الله) bukti-bukti yang banyak akan penyelisihan mereka terhadap prinsip-prinsip Ahlussunnah. Jika Cak Dul tidak tahu maka sebenarnya beliau sedang mencaci dirinya dengan ucapannya: “Katak dalam tempurung”. Jika ternyata beliau telah membacanya tapi ternyata tidak paham, maka semoga Alloh segera memahamkannya. Jangan sampai Cak Dul mengalami musibah seperti orang yang disebutkan oleh Alloh ta’ala:

وَمِنْهُمْ مَنْ يَسْتَمِعُ إِلَيْكَ حَتَّى إِذَا خَرَجُوا مِنْ عِنْدِكَ قَالُوا لِلَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ مَاذَا قَالَ آَنِفًا أُولَئِكَ الَّذِينَ طَبَعَ الله عَلَى قُلُوبِهِمْ وَاتَّبَعُوا أَهْوَاءَهُم [محمد/16]

“Dan di antara mereka ada orang yang memperhatikan bacaanmu, hingga di saat mereka keluar dari sisimu berkatalah mereka kepada orang-orang yang diberi ilmu: “Apa sih yang dia ucapkan barusan?” Mereka itulah orang-orang yang telah Alloh berikan cetakan di atas hati-hati mereka dan mengikuti hawa nafsu mereka.” (QS. Muhammad: 16).

            Ana berharap Cak Dul tidak sembrono mencaci saudaranya dengan ucapan: “Katak dalam tempurung”, ataupun menuduh saudaranya itu pengecut dan pantas mendapatkan sepatu perempuan berhak tinggi warna merah jambu.

Dengan penjelasan sangat ilmiah di atas ana berharap Cak Dul masih memiliki kejantanan untuk mengumumkan pengakuan akan kedangkalan ilmunya dan akan kesalahan-kesalahannya secara terperinci. Jika beliau mau, maka kami salut, dan (lebih penting dari itu) Alloh itu Maha Pengasih lagi Maha Pengampun. Tapi jika Cak Dul ternyata lebih mementingkan harga dirinya maka silakan para pembaca yang adil menilai: jangan-jangan penulis buku “Hampir-hampir Mereka … Jantan” tak lebih daripada seekor katak yang memakai sepatu merah jambu berhak tinggi dengan dua kuntum mawar merah muda. Aduh, cantiknya! Cepat Cak, masuk ke tempurungmu!

 

Bab Sembilan:

Sebagian Alamat Hizbiyyah Anak Al Mar’iy dan Pengikutnya

 

Jawaban kesembilan: Bagaimana jika penyimpangan-penyimpangan terhadap prinsip Salafiyyah tadi (dan yang belum ana sebutkan) ditambah dengan sekian percabangan yang mana itu merupakan alamat hizbiyyah yang memang ada pada mereka (kedua anak Mar’iy dan pengikutnya) seperti:

Pertama: Memuji ahlul bida’ dan hizbiyyin, atau mengangkat citra mereka

Kedua: menolong ahlul bida’, membela mereka, dan merasa sakit dengan serangan ahlussunnah terhadap mereka,

Ketiga: Banyak diam terhadap kebatilan hizbiyyin, dan lemah dalam mengingkari kemungkaran mereka

Keempat: Cercaan yang batil terhadap ulama sunnah yang istiqomah

Bercabang darinya perkara berikut ini:

1-      Merusak citra ahlul haq bahwasanya mereka itu memiliki pemikiran khowarij dan pengkafiran.

2-      Merusak citra ahlussunnah bahwasanya mereka itu penyebab perpecahan.

3-      Berusaha untuk melekatkan citra “fitnah” kepada ahlussunnah yang memberikan nasihat.

4-      Menuduh ahlussunnah yang cemburu untuk agama Alloh, dan yang menampakkan kebenaran, menuduh mereka sebagai orang yang tergesa-gesa dan terburu-buru.

Kelima: Mendustakan sebagian saksi, mencela mereka, dan mencela orang-orang yang menasihatinya dan menjelaskan kesalahannya.

Keenam: Meremehkan dan mengejek Ahlul haq.

Ketujuh: Membikin-bikin berita bohong, dan berdusta atas nama orang yang jujur yang mengkritiknya dan menasihatinya.

Kedelapan: Mengangkat slogan-slogan, di antaranya adalah:

1-      Slogan: “Kalian harus lemah lembut, kalian punya sifat berlebihan dan keras!”

2-      Slogan: “Kalian suka mempopulerkan kesalahan orang!”

3-      Berlindung di balik slogan: “mengambil manfaat dan menolak bahaya.” Untuk membela kesalahan diri.

4-      Mengangkat slogan “Harus baik sangka” untuk meruntuhkan kritikan.

5-      Mengangkat slogan “Harus tatsabbut (cari kepastian) dan tabayyun (cari penjelasan)” dalam rangka menangkis kritikan.

6-      Mengangkat slogan “Kami dizholimi, kami butuh keadilan!” untuk memperburuk citra pemberi nasihat, dan menarik perasaan orang.

Kesembilan: memalingkan perhatian orang-orang dari inti perselisihan.

Kesepuluh: Memanfaatkan kejadian-kejadian yang ada untuk melancarkan hasrat dan tujuan mereka yang busuk.

Kesebelas: Upaya menghindar dari Ahlul haq, menghalangi orang dari mereka, dan melarikan orang dari kebenaran dan Ahlul haq.

Kedua belas: Tidak mau membantu para pembela manhajus Salaf dalam memerangi para hizbiyyin.

Ketiga belas: Berdalilkan dengan diamnya sebagian ulama

Keempat belas: Bertamengkan dengan fatwa atau perbuatan sebagian ulama dalam menyelisihi kebenaran.

Kelima belas: mereka berlebihan dalam meninggikan ulama atau pimpinan mereka hingga mengangkat mereka ke tingkatan “tak bisa dikritik”

Keenam belas: Membentuk landasan dan pokok-pokok yang menyelisihi manhaj Salaf untuk menolong kebatilan.

Ketujuh belas: Sedikitnya kesediaan untuk menerima nasihat yang benar.

Kedelapan belas: Teman dekat yang jelek, duduk-duduk dengan hizbiyyun, dan berloyalitas dengan mereka.

Kesembilan belas: Sikapnya sering bertolak belakang, dan banyak berdusta.

Dan bercabang dari itu, atau mirip dengannya:

1-      Membikin makar dan tipu daya

2-      Penipuan dan pengkhianatan

3-      Meniru Ikhwanul Muslimin dan cabang-cabang mereka dalam menempuh metode lambat untuk menyamarkan gerakan.

4-      Upaya berlepas diri secara politis dari kesalahan anak buahnya untuk menghindari tanggung jawab.

5-      Politik topeng, alih warna, bersembunyi, dan muka ganda.

6-      Berpura-pura lemah lembut dan akhlak mulia.

7-      Pemutarbalikan fakta

8-      Khianat dalam menukil berita sehingga merubah makna

Kedua puluh: Pengkaburan, dan penyamaran antara kebenaran dan kebatilan.

Kedua puluh satu: Sibuk memperbanyak barisan, bukannya memperbaiki manhaj.

Kedua puluh dua: menebarkan tawaran-tawaran untuk menjaring mangsa, membuat mereka terlena dengan angan-angan, pemberian dan sebagainya.

Kedua puluh tiga: Tidak rela dengan penyebaran kebenaran yang menyelisihi hawa nafsunya.

Kedua puluh empat: kerakusan untuk mengumpulkan harta atas nama dakwah.

Dan bercabang darinya:

1-      Meniru Ikhwanul Muslimin dengan cara meminta- minta harta setelah menyampaikan ceramah.

2-      Membuka jalan untuk mendirikan jam’iyyah dan semisalnya atas nama dakwah.

3-      Memakai kotak dan semisalnya dalam mengumpulkan harta.

Kedua puluh lima: Banyak melakukan pesiar dan jalan-jalan untuk memperkuat pondasi hizbnya.

Kedua puluh enam: Lemahnya perhatian kepada menuntut ilmu.

Kedua puluh tujuh: Mendekatkan diri dan menjilat, serta menyusup ke tengah-tengah ulama dan para Salafiyyin.

Kedua puluh delapan: Pura-pura tobat, bergaya rujuk dari kesalahan, atau yang semisalnya.

Kedua puluh Sembilan: Berupaya menimpakan kejelekan terhadap Ahlussunnah melalui tangan penguasa.

Ketiga puluh: Bersatu dan berkumpul sesuai dengan hasrat dan tujuan pribadi dan keduniaan. Dan terkadang meninggalkan teman-temannya jika kebutuhan telah tercapai atau khawatir menjadi sasaran teriakan.

Ketiga puluh satu: Sengaja membikin gaduh masjid Ahlussunnah agar orang-orang buyar.

Ketiga puluh dua: Menempuh prinsip “Tujuan itu bisa menghalalkan segala cara.”

Ketiga puluh tiga: Penakut-nakutan dan teror psikologis.

Ketigapuluh empat: Penggunaan lafadh-lafadh yang umum dan ungkapan yang global.

Ketigapuluh lima: pertemuan-pertemuan rahasia untuk melangsungkan rencana yang mencurigakan.

Ketigapuluh enam: penyia-nyiaan para pemuda yang tertipu oleh mereka, dalam bentuk memalingkan mereka dari kebaikan.

Ketigapuluh tujuh: kelembekan manhaj dan upaya untuk melunturkan kekokohan sikap.

Ketigapuluh delapan: sedikitnya sikap waro’ (menjauhi perkara yang membahayakan akhiratnya).

Ketiga puluh sembilan: ridho dengan keikutsertaan para penulis yang tak dikenal dalam upaya menghantam dakwah Ahlussunnah.

Keempat puluh: menyelisihi metode Salaf, baik secara ucapan ataupun secara keadaan.

Keempat puluh satu: menempuh cara demokrasi dan suara terbanyak dalam menentukan pilihan dan kebenaran.

Keempat puluh dua: Kedengkian yang jelas.

Keempat puluh tiga: Tidak adil dalam menerapkan kaidah mereka sendiri, dan berbuat zholim dalam perselisihan.

Secara umum ana telah menyebutkan poin-poin hizbiyyah ini di buku yang membahas “Terbongkarnya Hizbiyyah Luqman”, dan juga “Mendobrak Kesepakatan Yang Bertujuan Membungkam  Kebenaran.” Sekarang ana sebutkan lagi dengan sedikit penyesuaian dengan bentuk perdebatan.

            Cak Dul -waffaqokallohu-, ( الحمد لله) ana punya catatan besar tentang poin-poin ini yang secara umumnya lengkap dengan dalil-dalil Al Qur’an dan As Sunnah dengan penjelasan ulama Salaf. Dan juga dilengkapi dengan bukti-bukti kongkret akan terjatuhnya kedua anak Mar’iy dan pengikutnya ke dalam poin-poin hizbiyyah di atas. Andaikata ana sebutkan seluruhnya di buku ini pastilah akan menjadi kitab yang sangat tebal, dan Cak Dul akan kebingungan tapi juga sekaligus sadar bahwasanya dirinya itu tertinggal jauuuh sekali dalam ilmu ini, dan sadar siapakah sebenarnya yang pantas menyandang gelar: “Katak Dalam Tempurung”. ( إن شاء الله).

            ‘Afwan Cak, bukannya ana bermaksud membanggakan diri dengan ucapan tadi. Tanpa pertolongan Alloh ta’ala ana (dan kita semua) tak akan mampu berjalan walau selangkah. Dan tidaklah kita diberi Alloh ta’ala ilmu kecuali sedikit saja. Ilmu tadi sudah ada di kitab-kitab para ulama Ahlussunnah dan bertebaran di perpustakaan Islam. Kita semua dengan taufiq dari Alloh ta’ala bisa mendapatkannya.

Maka bertaqwalah wahai Abdul Ghofur, merunduklah di bumi Alloh, terima kebenaran yang datang dengan dalil-dalilnya, akui kesalahan dengan ksatria, dan jangan suka meremehkan manusia. Dan jika datang hukum yang dibangun dari Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman Salaful Ummah lengkap dengan  hujaj dan bayyinat serta barohin maka wajib bagimu untuk menerimanya karena dia itu adalah kebenaran. Adapun jika engkau sanggup mendatangkan hujjah yang lebih kuat maka silakan tunjukkan.

 

Bab Sepuluh:

Berbagai Perbuatan Kedua Anak Mar’iy dan Pengikutnya Itu Merupakan Ihdats Terhadap Dakwah

 

Jawaban kesepuluh: Jika kita memperhatikan kembali berbagai perbuatan dan makar yang dilakukan oleh kedua anak Mar’iy dan pengikutnya terhadap dakwah Salafiyyah di Yaman, mestinya kita tidak ragu lagi bahwasanya mereka telah melakukan ihdats.

Bagaimana tidak? Dakwah Salafiyyah([10]) di Yaman sejak zaman Al Imam Al Mujaddid Muqbil bin Hadi Al Wadi’iy -rohimahullohu- sampai sekarang telah berlangsung lebih dari tiga puluh lima tahun dengan pola yang diketahui bersama, dan seluruhnya berpusat di markiz Dammaj. Tapi kemudian terjadi pengacauan besar-besaran di pusat dakwah mereka selama ini([11]) . dan setelah beberapa lama berlangsung terbongkarlah rencana keji dari mulut Salim Ba Muhriz teman sekongkol Abdulloh bin Mar’iy. Muhammad bin Sa’id bin Muflih dan saudaranya –Ahmad- (keduanya adalah Salafiy dari wilayah Dis Timur – pesisir Hadromaut) berkata bahwasanya Salim Ba Muhriz pada mereka pada pertengahan tahun 1423 H:

نحن قد انتهينا من أبي الحسن، والدور جاي على الحجوري

“Kita telah selesai dari Abul Hasan, sekarang giliran keruntuhan akan menimpa Hajuriy.” (“Mukhtashorul Bayan”/hal. 3).

Dan Abdurrohman Al ‘Adaniy dalam sidang di Dammaj bersama para masyayikh berkata:

لا أخفيكم أنه جاءني بعض أناس فقالوا: إن البكري قد سقط فقم أنت

“Aku tak akan merahasiakannya dari kalian bahwasanya telah datang padaku sekelompok orang seraya berkata: “Al Bakriy telah jatuh, maka bangkitlah Anda sekarang.” (“Al Muamarotul Kubro”/Abdul Ghoni Al Qosy’amiy -hafizhohulloh-/hal. 16).

            Amat terang sekali bahwasanya mereka telah membuat ihdats. Padahal Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wasallam- bersabda:

لعن الله من ذبح لغير الله ولعن الله من سرق منار الأرض ولعن الله من لعن والده ولعن الله من آوى محدثا

“Semoga Alloh melaknat orang yang menyembelih untuk selain Alloh, semoga Alloh melaknat orang yang mencuri (riwayat yang lain: merubah) tanda-tanda di bumi, semoga Alloh melaknat orang yang melaknat kedua orang tuanya, dan  semoga Alloh melaknat orang yang menaungi pelaku ihdats.” (HR. Muslim dari ‘Ali bin Abi Tholib -rodhiyallohu ‘anhu- dengan lafazh ini. Diriwayatkan Al Bukhoriy dan Muslim juga dengan lebih panjang).

Makna Al Hadats dalam hadits di atas adalah: kemaksiatan dan kebid’ahan. (“Syarh Shohihil Bukhoriy”/Ibnu Baththol/19/hal. 464).

Badrud din Al ‘Ainiy -rohimahullohu- berkata:

هو الأمر الحادث المنكر الذي ليس بمعتاد ولا معروف في السنة

“Dia itu adalah perkara yang baru yang mungkar dan tidak biasa dilakukan, dan tidak dikenal di dalam As Sunnah.” (“Umdatul Qori”/16/hal. 165).

Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wasallam- bersabda:

«أوصيكم بتقوى الله والسمع والطاعة وإن عبداً حبشيّاً، فإنه من يعش منكم بعدي فسيرى اختلافا كثيراً فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء المهديين الراشدين، تمسكوا بها وعضّوا عليها بالنواجذ، وإياكم ومحدثات الأمور، فإن كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة». (أخرجه أبو داود (4594)).

 “Kuwasiatkan kalian untuk bertaqwa pada Alloh, dan mendengar dan taat kepada pemerintah, sekalipun dia itu adalah budak Habasyah, karena orang yang hidup di antara kalian sepeninggalku akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian untuk memegang sunnahku dan sunnah Al Khulafaur Rosyidin yang mendapatkan petunjuk. Pegang teguhlah dia dan gigitlah dia dengan geraham kalian. Dan hindarilah setiap perkara yang muhdats karena yang muhdats itu bid’ah, dan setiap bid’ah itu kesesatan.” (HR. Abu Dawud (4594) dan lainnya dihasankah oleh Al Wadi’iy -rohimahullohu- dalam “Ash Shohihul Musnad” (921)).

 

Maka kami sudah meyakini dengan bayyinat sebanyak itu bahwasanya kedua anak Mar’iy dan pengikutnya adalah hizbiyyun mubtadi’ah. Bukannya kami sedang mencaci-maki ulama Ahlussunnah.

 

Bab Sebelas: Bayyinah-bayyinah Tadi Sampai Sekarang Tidak Bisa Dipatahkan oleh Para Penentang Dengan Hujjah Sebagaimana Mestinya

 

Jawaban kesebelas: Seluruh penjelasan dan bukti-bukti yang ana paparkan di sini (tentang Anak Mar’iy dan pengikutnya) barulah sebagian kecil dari yang tercatat di buku-buku para Masyayikh Dammaj dan yang bersama mereka. Dan sampai sekarang tidak ada satu alimpun yang bisa meruntuhkannya dengan dalil-dalil Qur’an dan Sunnah dan penjelasan Salaf sebagaimana mestinya. Padahal itu yang wajib mereka lakukan jika ingin bukti-bukti dan tuduhan tadi batal. Tapi ternyata yang muncul dari pihak mereka hanyalah seruan “Jangan sibuk dengan fitnah!”, “Tulisan-tulisan macam itu cuma bikin perpecahan!”, “Mereka cuma anak-anak!”, “Diam kalian semua!”

Atau paling-paling sekedar tulisan terbaru Syaikh Muhammad Al Imam yang menyebutkan kaidah untuk tidak gampang-gampang menuduh sunniy sebagai hizbiy, dan harus memahami kelemahan sebagian Salafiy, serta orang yang sudah di-jarh itu jika men-jarh tidak lagi diterima jarh-nya. Dan beberapa kaidah lain yang masih amat butuh perincian dan pembatasan, karena banyak Ahlul bida’ juga bisa memakai kaidah tadi untuk mementahkan setiap jarh dari Ahlussunnah terhadap mereka.

Tidak ada satupun  penentang dari kalangan masyayikh yang merinci poin-poin tuduhan Salafiyyin Dammaj terhadap si anak Mar’iy untuk kemudian meruntuhkannya satu persatu dengan hujjah, dan membatalkan bayyinat yang dipaparkan dengan dalil-dalil. Bahkan yang muncul dari lisan Syaikh Muhammad Al Imam adalah:

نحن ما نقول أن كلام الشيخ يحيى باطل

“Kami tidak mengatakan bahwasanya ucapan Asy Syaikh Yahya itu batil.”

Beliau juga berkata:

لا نخطئ الشيخ يحيى جملة ولا تفصيلا

“Kami tidak menyalahkan Asy Syaikh Yahya secara global ataupun terperinci.”

Kedua ucapan terakhir ini dinukilkan oleh Asy Syaikhul Fadhil Abu Abdillah Muhammad Ba Jamal Al Hadhromy -hafizhahulloh- pemegang dakwah di masjid Ibrohim (wilayah Sai’un/Hadhromaut) di dalam risalah beliau “Ad Dala’ilul Qoth’iyyah ‘ala Inhirofi Ibnai Mar’i ..” hal. 9.

Maka ana sumpah Antum dengan nama Penguasa jagat, wahai Abdul Ghofur: dengan Qur’an mana seluruh bayyinat (penjelasan-penjelasan) di atas bisa digugurkan karena seruan macam di atas !?

Ana sumpah Antum dengan nama Pemegang ubun-ubun: dengan sunnah Nabi yang mana semua barohin (bukti-bukti) di atas bisa diruntuhkan karena teriakan seperti di atas !?

Ana sumpah Antum dengan nama Dzat Yang menurunkan syari’at yang terbaik: dengan manhaj Salaf yang mana segenap hujaj (argumentasi-argumentasi) di atas bisa dibatalkan karena komando macam itu !?

 

Bab Dua Belas: Hukum Yang Dibangun Dengan Hujjah Yang Kuat Tidak Boleh Dianggap Sebagai Cercaan Kepada Ulama Ahlussunnah

 

            Jawaban kedua belas: Setelah Antum tahu -wahai Cak Dul- akan kekuatan hukum Salafiyyun Dammaj dan yang bersama mereka dikarenakan dibangun di atas hujaj dan bayyinat serta barohin sebanyak dan sekuat tadi, maka sama sekali tidak pantas untuk mencerca kami dengan ucapan: “Mereka mencerca ulama Ahlussunnah!” lalu dengan sangat kasar Antum menggambarkan kami telah berbuat amat zholim pada kedua anak Mar’iy. Jika Antum memang seorang Sunniy-Salafiy harusnya Antum mengagungkan hukum yang dibangun dari Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman Salaful Ummah lengkap dengan  hujaj dan bayyinat serta barohin. Dan harusnya Antum banyak belajar sebelum berbicara agar bisa membedakan mana celaan yang benar, dan mana celaan yang zholim.

Ibnul Qoyyim -rahimahulloh- berkata:

من سبَ بالبُرهان ليس بظالمٍ  والظلمُ سبُ العبدِ بالبهتان

“Barangsiapa mencela dengan disertai bukti maka dia itu bukanlah termasuk orang yang zholim. Dan kezholiman itu adalah celaan seseorang dengan kedustaan.” (“Al Kafiyyah”/1/hal. 91).

Syaikh Al Harrosh -rahimahulloh- berkata:

فإن من سب خصماً بالدليل لا يكون ظالماً ولا واضعاً للشيء في غير موضعه ولكن الظلم هو سب العبد بالزور والبهتان

“Sesungguhnya barangsiapa yang mencela lawan debatnya dengan dalil maka dia itu bukanlah termasuk orang yang zholim. Dan bukan termasuk orang yang meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya. Akan tetapi kezholiman itu adalah celaan seseorang dengan kepalsuan dan kebohongan.” (“Syarh Nuuniyyah Ibnul Qoyyim” /2 /hal. 340).

 

Bab Tiga belas: Tantangan Buat Cak Dul Untuk Meruntuhkan  Bayyinah-bayyinah Tadi dengan Hujjah

 

            Jawaban tiga belas: berhubung Cak Dul Ghofur telah menancapkan tenda perlindungan buat kedua anak Mar’iy dan pengikutnya sambil sekaligus mengibarkan bendera peperangan dengan Salafiyyin Dammaj dan yang bersama mereka, maka sekarang ana tantang dia untuk menampilkan hujjah dari Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman Salaf yang dengannya bisa membatalkan hujaj dan barohin serta bayyinat kami tentang hizbiyyah  kedua anak Mar’iy dan pengikutnya.

Tantangan dengan bentuk ini ana kumandangkan buatnya jika dia memang beriman pada firman Alloh ta’ala:

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى الله وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِالله وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ [النساء : 59]

“Maka jika kalian berselisih pendapat terhadap suatu perkara maka kembalikanlah hal itu kepada Alloh dan Rosul-Nya, jika memang kalian itu beriman kepada Alloh dan hari akhir.” (QS. An Nisa: 59)

Al Imam Ibnul Qoyyim -rohimahullohu- berkata: “Jika sikap mengembalikan perselisihan itu kepada Alloh dan Rosul-Nya tidak dilakukan, maka pasti hilanglah keimanan”. (“I’lamul Muwaqqi’in”/1/hal. 50).

Al Imam Ibnu Katsir -rohimahullohu- berkata:  “Ini adalah perintah dari Alloh ‘Azza Wajalla agar segala perkara yang manusia itu berselisih pendapat padanya baik berupa pokok-pokok agama ataupun cabangnya itu dikembalikan kepada Al Kitab dan As Sunnah, sebagaimana firman Alloh ta’ala:

وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى الله

“Dan perkara apapun yang kalian perselisihkan maka hukumnya itu kepada Alloh.” (QS. Asy Syuro: 10).

Maka apa yang dihukumi Kitabulloh dan Sunnah Rosul-Nya dan disaksikan oleh keduanya sebagai sesuatu yang sah, maka dia itu benar. Dan tidak ada setelah kebenaran selain kesesatan. Karena itulah Alloh berfirman: “Jika memang kalian itu beriman kepada Alloh dan hari akhir.” Maka ini menunjukkan bahwasanya barangsiapa tidak berhukum dan kembali pada Al Kitab dan As Sunnah dalam perkara yang diperselisihkan, maka dia itu bukan orang yang beriman pada Alloh dan hari Akhir.” (“Tafsirul Qur’anil ‘Azhim”/2/hal. 345-346).

            Dan ana yakin orang macam Cak Dul tak akan bisa  menampilkan hujjah dari Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman Salaf yang dengannya bisa membatalkan hujaj dan barohin serta bayyinat kami tentang hizbiyyah  kedua anak Mar’iy dan pengikutnya. Kenapa? Bukan karena ana hendak meremehkan manusia. Akan tetapi tulisan dia “Hampir-hampir …” menunjukkan rendahnya kadar keilmuan, kejelian, kemapanan dan kejujuran dirinya. Maslamah bin Abdil Malik -rohimahullohu- berkata:

ما قرأتُ كتاباً قطُّ لأحد إلا عرفتُ عقله منه.

“Tidak pernah aku membaca suatu kitab karya seseorang kecuali aku tahu akalnya dari kitab tadi.” (“Al ‘Aqdul Farid”/1/hal. 170).

Jika memang Cak Dul sanggup meruntuhkan dalil-dalil keluarnya kedua anak Mar’iy dari Salafiyyah, maka silakan coba. Tentu saja dengan dalil-dalil pula dari Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman Salaf. Jika dia tak sanggup, maka silakan dirinya mengambil kembali cacian: “Katak dalam tempurung.” Biar dipakai sendiri. Dan sekalipun jadi katak dalam tempurung hendaknya dia tetap punya kejantanan untuk mengumumkan pengakuan akan ketidaksanggupannya itu. Kalau tidak cukup jantan untuk itu, hendaknya sepatu merah jambunya dipakai sendiri lengkap dengan kedua kuntum mawarnya. Oya jangan lupa, sebelum keluar tempurung hendaknya ngaca dulu, sudah cukup cantik belum.

Semoga Alloh ta’ala memaafkan ana atas ucapan yang pedas ini. Sungguh isi tulisan Nyonya Dul Ghofur (“Hampir-hampir …”) itu amat busuk dan jauh dari tatanan syari’at, jika dia memang masih tunduk pada syari’at.

Dan yang lebih menunjukkan kadar akal Cak Dul adalah jawaban ana berikut ini:

 

Bab Empat Belas: Siapakah Sebenarnya Pihak Yang Menyetarakan Fatwa Ulamanya Dengan Al Qur’an?

 

            Jawaban keempat belas: sudah banyak hujaj dan barohin serta bayyinat yang dikirimkan oleh para Salafiyyun Dammaj dan yang bersama mereka tentang hizbiyyah  kedua anak Mar’iy dan pengikutnya, dilengkapi dengan dalil  dari Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman Salaf. Ternyata semua itu dianggap rontok dengan teriakan Cak Dul dan teman-temannya:

“Kita semua – kami dan antum – sama-sama yakin Insya Allah kebenaran nasehat yang diucapkan oleh Asy Syaikh Rabi’ untuk segenap salafiyyin, yang beliau sampaikan pada 17 Rabi’uts Tsani 1429 H bahwa :

 “Karena mereka bukanlah Ahlul Bid’ah. Demi Allah, kalau seandainya salah satu pihak adalah mubtadi’ niscaya kami akan angkat suara dan kami jelaskan kebid’ahannya. Namun tidak ada di antara mereka yang ahlul bid’ah. Tidak ada di antara mereka da’i kepada bid’ah. Tidak ada apa-apa di antara mereka. Pada mereka hanya ada kepentingan-kepentingan pribadi.”

“Mereka semua adalah salafiyyun. Mereka semua adalah orang-orang yang utama. Mereka semua insya Allah adalah para mujahidin. Barakallah fikum,” (hal. 19).

Ana tanya kamu wahai Abdul Ghofur yang mengaku sebagai Salafiy: Di Al Qur’an yang mana ada penjelasan bahwasanya suatu hukum yang dibangun di atas  hujaj dan barohin serta bayyinat dan dilengkapi dengan dalil  dari Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman Salaf itu bisa dibatalkan oleh sekedar ucapan seorang Shohabi (misalkan): “Aku tak yakin hukum tadi benar. Aku yakin si fulan itu masih istiqomah” tanpa mengemukakan hujjah yang diperkuat  Al Qur’an dan As Sunnah untuk membatalkan hujjah sang penuduh?

            Ini seorang Shohabiy, yang tentu saja tidak ma’shum. Maka bagaimana dengan ulama belakangan?

Cak Dul pantas untuk merenungi fatwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -rohimahullohu-:

لكن ان كان مع احدهما حجة شرعية وجب الانقياد للحجج الشرعية اذا ظهرت ولا يجوز لأحد ان يرجح قولا على قول بغير دليل ولا يتعصب لقول على قول ولا لقائل على قائل بغير حجة

“Akan tetapi jika salah satu pihak punya hujjah syar’iyyah maka wajib untuk tunduk kepada hujjah-hujjah syar’iyyah jika telah muncul. Dan tidak boleh bagi seorangpun untuk merojihkan suatu perkataan terhadap perkataan yang lain tanpa dalil. Dan tidak boleh bersikap fanatik terhadap suatu ucapan dan memusuhi ucapan yang lain, juga  tidak boleh bersikap fanatik terhadap si pengucap dan memusuhi si pengucap yang lain tanpa hujjah.” (“Majmu’ul Fatawa”/35/hal. 233).

 

Cak Dul juga bilang: “Apakah paduka mau tarajuk kepada fatwa Syaikh Rabi’ terkait sikap JELAS DAN TEGAS beliau terhadap kedua Syaikh Al Mar’i?” (hal. 44).

Ana tanya kamu wahai Abdul Ghofur yang mengaku sebagai Sunniy: Di sunnah Nabi -shollallohu ‘alaihi wasallam- yang mana ada penjelasan bahwasanya suatu hukum yang dibangun di atas  hujaj dan barohin serta bayyinat dan dilengkapi dengan dalil  dari Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman Salaf itu bisa dibatalkan oleh sekedar ucapan seorang Shohabi (misalkan): “Aku tak yakin hukum tadi benar. Aku yakin si fulan itu masih istiqomah” tanpa mengemukakan hujjah yang diperkuat  Al Qur’an dan As Sunnah untuk membatalkan hujjah sang penuduh?

Ini seorang sahabat Nabi, yang tentu saja masuk dalam keumuman hadits: ( إنكم تخطئون بالليل والنهار). Maka bagaimana dengan ulama masa kini?

Tidak ingatkah Cak Dul ucapan Al Imam Al Albaniy -rohimahullohu-ketika membantah seorang muqollid:

… ذلك لأنه يقدس هذا القول نظرا لأنه صدر عن عالم من علماء المسلمين، وهذا العالم لا يتكلم بهوى أو جهل. وأنا أقول معه: لا يتكلم بهوى أو جهل. ولكن هل هو معصوم في اجتهاده الذي ابتعد فيه عن الجهل والهوى؟!

“… yang demikian itu adalah dikarenakan dirinya telah mensucikan pendapat ini karena dia melihat bahwasanya pendapat tadi muncul dari salah seorang ulama muslimin. Dan si alim ini tidak berbicara dengan hawa nafsu ataupun kebodohan. Aku katakan bersamanya: Memang dirinya  tidak berbicara dengan hawa nafsu ataupun kebodohan. Tapi apakah dirinya itu ma’shum di dalam ijtihadnya yang di situ dia menjauhi  hawa nafsu ataupun kebodohan?!” (“At Tashfiyyah Wat Tarbiyyah”/hal. 21).

 

Cak Dul juga bilang: “Dari hasil umroh di atas juga menunjukkan secara jelas sikap tegas Asy Syaikh Rabi’ hafizhahullah yang menasehati secara keras “sebagian orang Indonesia” yang meragukan kedua Syaikh Al Mar’i dan bahkan menuduh hizbiyyahnya kedua Syaikh tersebut” (hal. 45).

Ana tanya kamu wahai Abdul Ghofur yang menampakkan kecemburuan pada agama: Di manhaj Salaf yang mana ada penjelasan bahwasanya suatu hukum yang dibangun di atas  hujaj dan barohin serta bayyinat dan dilengkapi dengan dalil  dari Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman Salaf itu bisa dibatalkan oleh sekedar ucapan seorang Shohabi (misalkan): “Aku tak yakin hukum tadi benar. Aku yakin si fulan itu masih istiqomah” tanpa mengemukakan hujjah yang diperkuat  Al Qur’an dan As Sunnah untuk membatalkan hujjah sang penuduh?

Ini seorang yang menimba ilmu langsung dari Nabi -shollallohu ‘alaihi wasallam-, yang tetap saja masuk dalam keumuman hadits: (كل بني آدم خطاء). Maka bagaimana dengan ulama sekarang?

 

Manhaj Cak Dul benar-benar goncang. Dia sungguh terjangkiti penyakit taqlid hingga membuang dalil dan hujjah ke belakang punggungnya. Pantas bagi dirinya untuk di-opname di Rumah Sakit Al Imam Ibnul Qoyyim -rohimahullohu-:

وأن العالم قد يزل ولا بد ؛ إذ ليس بمعصوم ، فلا يجوز قبول كل ما يقوله ، وينزل قوله منزلة قول المعصوم ؛ فهذا الذي ذمه كل عالم على وجه الأرض ، وحرموه ، وذموا أهله وهو أصل بلاء المقلدين وفتنتهم ، فإنهم يقلدون العالم فيما زل فيه وفيما لم يزل فيه ، وليس لهم تمييز بين ذلك ، فيأخذون الدين بالخطأ – ولا بد – فيحلون ما حرم الله ويحرمون ما أحل الله ويشرعون ما لم يشرع ، ولا بد لهم من ذلك إذ كانت العصمة منتفية عمن قلدوه ، والخطأ واقع منه ولا بد .

“… dan bahwasanya seorang alim itu terkadang tergelincir. Dan itu pasti, karena dia itu tidak ma’shum (tidak terjaga dari kesalahan). Maka tidak boleh menerima seluruh yang diucapkannya dan menempatkannya pada posisi ucapan orang yang ma’shum. Inilah perkara yang setiap ulama di muka bumi mencelanya dan mengharomkannya (yaitu menerima seluruh ucapan si alim seakan-akan ucapannya tadi bersumber dari orang yang ma’shum). Dan mereka juga mencela pelaku taqlid. Dan sikap tadi merupakan sumber dari bencana dan fitnah orang yang taqlid, karena mereka itu membebek pada si alim dalam perkara yang dirinya tergelincir di situ dan juga di dalam perkara yang dia tidak tergelincir di situ. Dan mereka tidak punya pemisahan terhadap kedua perkara tadi (perkara yang si alim bertindak benar, dan perkara yang si alim tergelincir di situ). Akibatnya mereka (para ahli taqlid) mengambil agama dengan salah. Dan itu pasti. Maka merekapun menghalalkan apa yang diharomkan oleh Alloh, dan mengharomkan apa yang dihalalkan oleh Alloh, dan mensyari’atkan apa yang tidak disyari’atkan-Nya. Dan itu pasti mereka alami, karena kema’shuman itu tidak ada pada orang yang mereka taqlidi. Dan kesalahan itu pasti terjadi pada si alim itu. Tidak bisa tidak.” (“I’lamul Muwaqqi’in”/2/hal. 295).

 

Cak Dul juga bilang: “Sesungguhnya kita yang berada di Indonesiatidaklah lebih tahu permasalahan fitnah ini daripada Asy Syaikh Rabi’ hafizhahullah yang sejak awal fitnah telah terlibat langsung dan berupaya keras untuk memadamkan api fitnahnya. Maka bagaimana mungkin segenap Salafiyyin yang ada di Indonesia yang bersikap hati-hati di atas bimbingan Asy Syaikh Rabi’ untuk tetap mengakui keSalafiyyahan kedua Asy Syaikh Al Mar’i … “(hal. 45).

Ucapan Cak Dul ini ada kemiripan dengan atsar berikut ini: Al Imam Ibnu Abi Mulaikah -rohimahullohu- berkata:

أن عروة بن الزبير ، قال لابن عباس : أضللت الناس قال : « وما ذاك يا عرية ؟ » قال : تأمر بالعمرة في هؤلاء العشر ، وليست فيهن عمرة ، فقال : « أولا تسأل أمك عن ذلك ؟ » فقال عروة : فإن أبا بكر وعمر لم يفعلا ذلك ، فقال ابن عباس : « هذا الذي أهلككم – والله – ما أرى إلا سيعذبكم ، إني أحدثكم عن النبي صلى الله عليه وسلم ، وتجيئوني بأبي بكر وعمر » فقال عروة : هما والله كانا أعلم بسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم ، واتبع لها منك

“Bahwasanya ‘Urwah ibnuz Zubair berkata pada Ibnu ‘Abbas: “Anda menyesatkan manusia.” Beliau berkata: “Apa itu wahai ‘Uroyyah?” Dia berkata: “Anda memerintahkan mereka untuk untuk ber’umroh pada sepuluh hari Dzul Hijjah, padahal tak ada ‘umroh di dalamnya.” Beliau berkata: “Kenapa engkau tidak menanyakannya pada ibumu?([12])” ‘Urwah berkata: “Sesungguhnya Abu Bakr dan ‘Umar tidak mengerjakannya.” Maka Ibnu ‘Abbas berkata: “Inilah perkara yang membinasakan kalian –demi Alloh-. Aku tidak menganggap kecuali bahwasanya Alloh akan menyiksa kalian. Kuberi kalian hadits dari Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wasallam-, tapi kalian mendatangkan padaku Abu Bakr dan ‘Umar.” Maka ‘Urwah berkata: “Keduanya –demi Alloh- lebih tahu tentang sunnah Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wasallam- dan lebih mengikuti sunnah beliau daripada Anda.” (diriwayatkan oleh Al Khothib Al Baghdadiy -rohimahullohu- dalam “Al Faqih Wal Mutafaqqih”/1/hal. 424).

Coba Cak Dul perhatikan mantapnya bantahan Ibnu ‘Abbas -rodhiyallohu ‘anhuma- terhadap ‘Urwah dalam masalah yang seharusnya kembali ke dalil. Dan ana yakin atsar ini dan yang sejenisnya banyak Antum (dan para Salafiyyun) pakai untuk memerangi penyakit taqlid di masyarakat. Ternyata sekarang atsar tersebut menghantam kalian sendiri. Dan kalian berkata mirip dengan ucapan ‘Urwah: (Fulan lebih tahu dari kamu). Dan cukuplah ucapan  Al Khothib Al Baghdadiy -rohimahullohu- setelah menyebutkan atsar di atas sebagai jawaban:

قلت : قد كان أبو بكر وعمر على ما وصفهما به عروة إلا أنه لا ينبغي أن يقلد أحد في ترك ما ثبتت به سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم

“Aku katakan: memang Abu Bakr dan ‘Umar itu sebagaimana yang disebutkan oleh ‘Urwah, akan tetapi tidak semestinya seseorang itu ditaqlidi dalam meninggalkan perkara yang telah pasti di situ sunnah Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wasallam-.”

 

Wahai Cak Dul, Antum menuduh kami menjadikan perkataan Asy Syaikh Yahya -hafizhohulloh- bagaikan sejajar dengan Al Qur’an. Dan telah kami bantah.

Sekarang bagaimana dengan kalian? Dengan sekedar ucapan Syaikh fulan yang memberikan ta’dil mubham kalian hendak membatalkan jarh mufassar yang dibangun di atas  hujaj dan barohin serta bayyinat dan dilengkapi dengan dalil  dari Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman Salaf. Berarti siapakah yang sebenarnya mengangkat ucapan ulama sederajat dengan Al Qur’an jika demikian?

Engkau menyerang kami dengan ucapan: “wahyu dari manakah yang dia dakwahkan?” (hal. 13)

Jawab ana: Asy Syaikh Yahya -hafizhohulloh- mendakwahkan Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman Salaf. Dan dalam menghukumi sesuatu beliau berupaya untuk selalu berlandaskan kepada tiga prinsip Salafiyyah tadi. Sekarang silakan kamu jawab sendiri: Apakah ucapan Syaikh Fulan itu wahyu dari langit sehingga bisa membatalkan hujjah dan dalil?

Engkau juga nyindir Asy Syaikh Yahya -hafizhohulloh-: “Allah, Allah Ooooh…. siapakah kiranya dirinya, manusia atau apa?” (hal. 13).

Jawab ana: beliau masih manusia yang berusaha ikut dalil dan juga menampilkan dalil dan hujjah. Syaikh Fulan sendiri masih manusia ataukah bukan sehingga ucapannya kamu sejajarkan bagai wahyu yang ma’shum dan  bisa membatalkan hujjah dan dalil?

Engkau juga bilang: “Pantaskah seseorang yang jika masih menyadari bahwa dirinya adalah seorang bani Adam ‘alaihissalam yang takkan mungkin lepas dari kesalahan kemudian meninggikan suaranya di atas suara kenabian yang keluar dari lisan Ar Rasul Muhammad.” (hal. 13).

Jawab ana: kamu sendiri masih sadar ataukah tidak bahwasanya Syaikh fulan itu masih dari keturunan Adam ‘alaihissalam yang takkan mungkin lepas dari kesalahan. Apa pantas kalian meninggikan suaranya di atas suara kenabian yang keluar dari lisan Ar Rasul Muhammad -shollallohu ‘alaihi wasallam-  ?

Cak Dul menyebutkan riwayat yang berbunyi: “Sesungguhnya Allah menjadikan kebenaran pada lisan ‘Umar dan hatinya.” (hal. 14).

Jawab ana: kamu sendiri masih sadar ataukah tidak bahwasanya Syaikh fulan itu tidaklah lebih tinggi daripada Umar -rodhiyallohu ‘anhu-. Apakah Alloh telah menjamin hati dan lisannya untuk selalu di atas kebenaran, sehingga  bisa membatalkan hujjah dan dalil?

Kamu juga menyebutkan  firman Allah mengenai Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wasallam-:

ÇÍÈ4ÓyrqムÖÓórur žwÎ) uqèd÷bÎ) ÇÌÈ#“uqolù;$#Ç`tã ß,ÏÜZtƒ $tBur ÇËÈ3“uqxî $tBur ö/ä3ç7Ïm$|¹¨@|Ê$tB

“kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru. Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (hal. 14).

            Jawab ana: apakah ucapan Syaikh Fulan sudah setingkat ucapan Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wasallam- sehingga  bisa membatalkan hujjah dan dalil?

Kamu juga menampilkan  firman Allah ta’ala:

ÇÍËÈ7‰ŠÏHxq AÅ3ym ô`B×͔\s? ( ¾ÏmÏÿù=yz ô`ÏB Ÿwur Ïm÷ƒy‰tƒ Èû÷üt/ .`ÏB ã@ÏÜ»t7ø9$# ÏÏ?ùtƒ žw

Yang tidak datang kepadanya (Al Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.” (QS. 41:42) (hal. 15)

            Ana jawab: apakah ucapan Syaikh Fulan sudah setingkat Al Qur’an, Yang tidak datang kepadanya (Al Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji? Akibatnya dengan itu seluruh hujjah dan dalil menjadi batal jika dia menentangnya?

Kamu juga menyebutkan  bahwa Allah berfirman mengenai perilaku buruk yang menimpa ahli Kitab dari kalangan Yahudi dan Nashara:

«!$# Âcrߊ `B $\/$t/ö‘r& öNßgut6÷dâ‘ur öNèdu‘$t6ômr& (#ÿrä‹sƒªB$#

Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah(QS. 9:31) (hal. 15)

            Ana katakan: jangan-jangan kamu dan seluruh kru Dammaj Habibah telah menjadikan para masyayikh dan asatidzah sebagai Robb-robb selain Alloh, akibatnya dengan itu seluruh hujjah dan dalil menjadi batal jika mereka memutuskan batal.

            Kamu juga bilang: Bukankah watak dan perilaku jelek semacam Yahudi dan Nashara harus dijauhi? Tidakkah kita takut terjatuh kepada kesyirikan sebagaimana telah terjatuh padanya Ahlul Kitab ketika mentaati ulamanya dalam memaksiati Allah –subhanahu wata’ala-? Na’udzubillah minasy syirk. (hal. 15)

Ana jawab: ( الحمد لله) ana sudah mengumpulkan lebih dari lima puluh alamat hizbiyyah. Dan mayoritas dari pola hizbiyyah tadi punya sumber dari perilaku Yahudi dan Nashoro. Di antaranya ada mengangkat ulama mereka ke derajat Rububiyyah sehingga harus diikuti walaupun tanpa hujjah. Sudah jelas bahwasanya di antara perintah Alloh ta’ala adalah: wajibnya mengikuti kebenaran. Dan kebenaran itu diketahui dengan hujjah dan dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman Salaf. Tetapi para hizbiyyun menganggap itu semua batal dengan adanya stempel dari ulama: “Batal” walaupun pembatalan tadi tanpa hujjah. Apa kamu tidak takut terjatuh ke dalam kesyirikan, Cak Dul?

            Perilaku kamu dan seluruh kru Dammaj Habibah benar-benar menunjukkan bahwasanya kalian itu sakit keras dan amat menular, pantas dikarantina di tempat khusus, dan diminumi “tablet Salafiy Asli dan Murni”.

 Al Imam Al Albaniy -rohimahullohu-:

ولكن هل من حق العالم أن نرفعه إلى مستوى النبوة والرسالة حتى نعطيه العصمة بلسان حالنا ؟! فلسان الحال أنطق من لسان المقال. إذا كان علينا أن نحترم العالم ونقدره حق قدره، وأن نقلده حينما يبرز لنا الدليل فليس لنا أن نرفعه من قوله ونضع من قول الرسول عليه الصلاة والسلام.

“Akan tetapi apakah termasuk hak seorang alim untuk kita itu mengangkatnya sampai ke derajat kenabian dan utusan hingga kita memberinya ‘ishmah dengan praktek perbuatan kita?! Lisanul hal (praktek perbuatan) itu lebih bisa bercerita daripada sekedar ucapan lidah. Jika kita wajib untuk benar-benar menghormati si alim dan untuk mengikutinya jika dia menampilkan dalil pada kita, maka kita tidak berhak untuk mengangkatnya dan meninggalkan ucapan Nabi ‘alaihish sholatu wassalam.” (“At Tashfiyyah”/hal. 22-23).

            Saking parahnya penyakit taqlid kalian sampai kamu kebingungan dan berkata: “Siapakah sesungguhnya yang taqlid buta?” (hal. 15). Inilah kadar akalmu yang nampak dari tulisanmu wahai Abdul Ghofur.

Maka dengan penjelasan ini semua terbongkar sudah kelemahan ilmumu dan kesembronoanmu dalam membela mati-matian kedua anak Mar’iy di dalam tulisanmu “Hampir-hampir Mereka … Jantan.”

Sekarang umumkanlah dengan jantan akan kesalahanmu ini. Jika tidak, maka kamu adalah seperti bentuk cacianmu sendiri: Katak memakai sepatu hak tinggi merah jambu lengkap dengan dua kuntum mawar. Cepat-cepat saja masuk tempurung “Dammaj Habibah”. Oh bukan. “Dhofadi’ Habibah” (kodok kesayangan).

 

Bab Lima Belas: Siapakah Yang Berhak Menjadi Keledai?

 

            Jawaban kelima belas: ini sekedar pelengkap dari sebelumnya. Cak Dul berulang-kali mencaci Firman Hidayat dengan berkata: “BAK SEEKOR KELEDAI LIAR (BACA: INDEPENDENT) YANG MEMANGGUL KITAB” (hal. 27).

Juga berkata: “Tidaklah memiliki nilai keutamaan di sisi mereka kecuali hanyalah sebagai keledai tunggangan pengangkut beban fitnah yang mau pergi kemanapun tuannya mengarah. Sejatinya bahwa seekor keledai tidaklah memiliki rasa malu, hanyasaja sang penggembalalah yang pantas kita tuding” (hal. 31)

Juga berkata: “Berlagak seekor keledaiindependent memanggul kitab yang overweight” (hal. 32).

Juga berkata: “BENAR-BENAR BAK KELEDAI LIAR YANG MEMANGGUL KITAB” (hal. 34)

Juga berkata: “Betapa malang nasibmu wahai Abu Hurairah Firman, benar-benar dikau bagaikan keledai fitnah yang memanggul kitab”. (hal. 35).

Juga berkata: “Tidaklah mengherankan jika si keledaipun terus dibiarakan “hidup” walaupun dia melenguh dengan lenguhan-lenguhan KHABITS” (hal. 37).

Dan masih banyak pengulangan cacian “keledai” dalam buku Cak Dul tersebut.

            Jawaban Abu Fairuz: ( الحمد لله) sebagaimana telah ana paparkan pada risalah seri satu, kami Salafiyyin Dammaj sebelum ini tidak tahu siapakah Firman Hidayat dengan segala sepak terjangnya. Dan begitu kami mendapatkan info yang cukup detail dari Cak Dul langsung kami bertindak semampu kami untuk memberikan nasihat dan mengingkari kemungkaran yang dilakukan, sebagaimana Cak Dul lihat sendiri.

            Firman Hidayat –atau siapapun dia- benar-benar harus banyak belajar syari’at Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wasallam- dan adab-adab Nabawiy. Juga kami ucapkan: Jazahullohu khoiron atas bantuannya dalam menyebarkan tulisan-tulisan kami.

Adapun yang hendak ana bidik dalam bab ini adalah bahwasanya Cak Dul sedemikian seringnya mengumbar cacian “keledai”. Alloh ta’ala berfirman:

مَثَلُ الَّذِينَ حُمِّلُوا التَّوْرَاةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوهَا كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَارًا [الجمعة/5]

“Permisalan orang-orang yang dipikulkan kepada mereka Tauroh tapi mereka tidak memikulnya sabagaimana mestinya adalah bagaikan keledai yang memikul kitab-kitab besar.” (QS. Al Jumu’ah: 5).

Al Imam Ibnu Katsir -rohimahullohu- berkata:

يقول تعالى ذامًّا لليهود الذين أعطوا التوراة وحملوها للعمل بها، فلم يعملوا بها، مثلهم في ذلك كمثل الحمار يحمل أسفارا، أي: كمثل الحمار إذا حمل كتبا لا يدري ما فيها، فهو يحملها حملا حسيا ولا يدري ما عليه. وكذلك هؤلاء في حملهم الكتاب الذي أوتوه، حفظوه لفظا ولم يفهموه ولا عملوا بمقتضاه، بل أولوه وحرفوه وبدلوه، فهم أسوأ حالا من الحمير؛ لأن الحمار لا فهمَ له، وهؤلاء لهم فهوم لم يستعملوها؛ ولهذا قال في الآية الأخرى: { أُولَئِكَ كَالأنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ }

“Alloh ta’ala berfirman mencela kaum Yahudi yang diberi Tauroh dan dipikulkannya kepada mereka untuk diamalkan, tapi mereka tidak mengamalkannya. Permisalan mereka dalam keadaan seperti itu adalah bagaikan keledai yang memikul kitab-kitab besar. Yaitu: bagaikan keledai jika memikul kitab-kitab dia tidak tahu apa yang ada di dalamnya, maka dia itu cuma memikulnya secara lahiriyyah saja dan tidak tahu apa yang ada di atas punggungnya. Demikian pula mereka dalam memikul kitab yang diberikan kepada mereka, mereka menghapalkan lafazhnya tapi tidak memahaminya dan tidak mengamalkan kandungan dan tuntutannya. Bahkan mereka menta’wilkannya dan merubahnya. Maka mereka itu lebih jelek daripada keledai, karena keledai itu tidak punya kepahaman, sementara mereka punya kepahaman tapi tidak mempergunakannya. Oleh karena itulah Alloh ta’ala berfirman dalam ayat yang lain (yang artinya): “Mereka itu bagaikan binatang ternak, bahkan lebih sesat jalannya. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS. Al A’rof: 179). (“Tafsirul Qur’anil ‘Azhim”/8/hal. 117).

 

Coba sekarang kita perhatikan bersama: Cak Dul sudah hapal firman Alloh ta’ala:

«!$# Âcrߊ `B $\/$t/ö‘r& öNßgut6÷dâ‘ur öNèdu‘$t6ômr& (#ÿrä‹sƒªB$#

Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah” (QS. 9:31).

Tapi kenyataannya Cak Dul dan seluruh kru DH telah menjadikan para masyayikh dan asatidzah sebagai Robb-robb selain Alloh Akibatnya dengan itu seluruh hujjah dan dalil menjadi batal jika mereka memutuskan batal.

Cak Dul juga  membawakan firman Allah ta’ala:

ÇÍËÈ7‰ŠÏHxq AÅ3ym ô`B×͔\s? ( ¾ÏmÏÿù=yz ô`ÏB Ÿwur Ïm÷ƒy‰tƒ Èû÷üt/ .`ÏB ã@ÏÜ»t7ø9$# ÏÏ?ùtƒ žw

Yang tidak datang kepadanya (Al Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.” (QS. 41:42)

Tapi prakteknya menunjukkan bahwasanya Cak Dul dan kru DH-nya menjadikan ucapan Syaikh Fulan sudah setingkat Al Qur’an, Yang tidak datang kepadanya kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji. Akibatnya dengan itu seluruh hujjah dan dalil menjadi batal jika dia menentangnya.

Juga membawakan firman Alloh ta’ala:

ÇÍÈ4ÓyrqムÖÓórur žwÎ) uqèd÷bÎ) ÇÌÈ#“uqolù;$#Ç`tã ß,ÏÜZtƒ $tBur ÇËÈ3“uqxî $tBur ö/ä3ç7Ïm$|¹¨@|Ê$tB

“Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru. Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”

Tapi pada kenyataannya Cak Dul dan kru DH-nya menjadikan ucapan Syaikh Fulan sudah setingkat ucapan Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wasallam- sehingga  bisa membatalkan hujjah dan dalil.

Ini menunjukkan bahwasanya Abdul Ghofur Al Malangiy dan segenap kru DH-nya bagaikan keledai yang memikul kitab-kitab, atau lebih jelek dari itu.

            Lalu siapakah yang lebih pantas jadi keledai sejati? Kandidat pertama: Firman (versi Cak Dul) yang dengan jantan telah mengakui kesalahan-kesalahannya dan menyatakan tobat secara terbuka. Kandidat kedua:  Cak Dul dan kru DH-nya (versi Abu Fairuz) yang sampai sekarang terus menyombongkan diri tak mau dengan jantan telah mengakui kesalahan-kesalahannya dan menyatakan tobat secara terbuka setelah terbongkar kebatilannya dalam “Apel Manalagi” (seri satu), dan tak peduli di atas punggung-punggung mereka ada ayat-ayat ancaman bagi orang yang sombong dan tinggi hati. Maka siapakah pemenangnya?

THE WINNER IS….. (pinjam kamus Cak Dul di hal. 32):

Cak Dul dan kru DH-nya (versi Abu Fairuz) !!!

 

Kok bisa? Iya karena mereka lebih mantap dalam penampilan (sesuai kamus mereka sendiri): keledai dengan sepatu hak tinggi warna merah jambu, di mulutnya ada dua kuntum mawar merah muda, tapi loncatnya gaya katak dalam tempurung.

 

Sampai di sini dulu seri dua ini. ( إن شاء الله) akan dilanjutkan pada seri berikutnya. Dan semoga bermanfaat dan menumbuhkan kesadaran pada beliau dan orang-orang yang tertipu olehnya. Dan ana ucapankan (جزاكم الله خيرا) kepada Akhuna Abu Yusuf Al Ambony dan yang lainnya atas seluruh bantuan yang diberikan.

والله تعالى أعلم. سبحانك اللهم وبحمدك لا إله إلا أنت أستغفرك وأتوب إليك.

والحمد لله رب العالمين.

 

Dammaj, 1 Sya’ban 1431 H

Ditulis oleh Al Faqir Ilalloh ta’ala

Abu Fairuz Abdurrohman Al Qudsiy

Al Indonesiy

 


([1])  Catatan dari Abu Fairuz -waffaqohullohu-: andaikata tanpa ta’wil niscaya pelakunya bisa dikafirkan sebagaimana kasus orang orang Asya’iroh, ( والله أعلم)

([2])  Beliau aslinya dari Hadhromaut, tapi tinggal lama di ‘Adn

([3]) Walaupun relatif murah menurut kalangan menengah.

([4]) Jika dia memang ikhlas hendak memajukan kualitas Yaman wilayah selatan dalam bidang ilmu dan akhlaq dan sebagaimana, mengapa dengan jalan mengobrak-abrik ketenangan belajar para pelajar di Dammaj (markiz Salafiyyah terbesar di Yaman wilayah utara, dan bahkan se-Yaman secara mutlak) dan merayu mereka agar menjual kamar dan rumah mereka yang di Dammaj. Bahkan ada sebagian pelajar asli Abyan didatangi mereka sambil berkata,”Wahai Akhuna Fulan, bergabunglah, barangkali engkau termasuk calon pasukan Aden-Abyan yang dijanjikan Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wasallam-.” Kalaupun perbuatannya tadi bisa dibenarkan, mengapa setelah berhasil merayu sebagian  pelajar dari Dammaj lalu dia membuat kesempitan terhadap mereka?

([5]) Jangankan di dusun perdagangan Fuyusy, ana –Abu Fairuz- telah melihat langsung ada sebagian pelajar di Dammaj yang berlomba-lomba mempermegah kamarnya, dalam keadaan lingkungan yang masih cukup sederhana. Bagaimana jika mereka pindah ke lingkungan perkotaan seperti yang beliau ceritakan?

([6])  Kecuali jika penyandang dananya telah menyediakan kompleks asrama buat mereka dan sebagainya. Apalagi akhir-akhir ini telah terkuak bahwasanya banyak kucuran dana dari Qothor untuk mendukung mereka. Lihat buku : “Asy Syihabul Qodih” hal. 5 karya Nashir bin Muhammad Al Abyaniy Al ‘Adaniy -hafizhohulloh-. 

([7]) Namanya saja kota besar. Makanya pengumuman akan dibukanya kompleks Salafiyyin dan Darul Hadits di kota Fuyusy amatlah menggiurkan.

([8]) Cukup murah untuk keumuman orang, apalagi orang ‘Adn. Adapun untuk keumuman pelajar Salafiyyin ya sebagaimana penjelasan di atas.

([9])  Risalah ini beliau sebarkan pada awal fitnah, sekitar tiga tahun yang lalu. Adapun sekarang markiz Fuyusy telah berdiri.

([10]) Tentu saja ada yang berdakwah ke manhaj Salaf sebelum itu, hanya saja yang kita bicarakan adalah yang berlangsung sejak zaman Al Imam Al Wadi’iy -rohimahullohu-.

([11]) Bukan untuk membanggakan markiz Dammaj dan menjadikannya sebagai penghias sampul depan, tapi memang pada kenyataannya dari markiz Dammajlah bercabang markiz-markiz yang lain, dan setiap tahun mereka berkumpul di Dammaj untuk menyatukan kalimat dan saling membagi faidah. Ini yang berlangsung sampai awal-awal fitnah Mar’iyyah.

([12]) Karena ibunya –Asma binti Abi Bakr- -rodhiyallohu ‘anhuma- hadir bersama Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wasallam- dan tahu bahwasanya Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wasallam- memerintahkan untuk memasukkan ‘umroh ke dalam haji bagi orang yang tidak menggiring hadyu (binatang sembelihan untuk ibadah haji).

Mengingat Kembali Kebusukan Abdul Ghofur Al Malangi (1)

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.

Atas ↑