surat kecil

Pertanyaan: Apa hukum mendidik anak kecil yang berusia Antara dua tahun hingga mendekati tujuh tahun dengan cara banyak memukulinya atau memukulinya dengan keras?

Ditulis oleh :

Abu Fairuz Abdurrahman bin Soekojo Al-Qudsy Al-Jawy hafidzahullaoh

Jawaban dengan memohon pertolongan pada Alloh semata:
Ini perlu penjabaran yang cukup. Dan saya dengan taufiq dari Alloh semata membahas masalah itu dalam tulisan khusus. Akan tetapi dalam kesempatan yang amat terbatas ini akan saya jawab sebagai berikut:
Sesungguhnya pemukulan memang salah satu metode yang penting dalam pendidikan, akan tetapi dia bukan diletakkan di awal, tapi dia ada di bagian akhir.
Alloh ta’ala berfirman:

﴿ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ﴾ [النحل: 125]

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah, dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” 

Al Imam Ibnul Qoyyim رحمه الله berkata: “Alloh Yang Mahasuci menjadikan tingkatan-tingkatan dakwah sesuai dengan tingkatan makhluk. Maka orang yang menerima dan menyambut kebenaran, yang cerdas, yang tidak membangkang terhadap kebenaran, mempedulikannya, dia itu diseru dengan cara hikmah (menyebutkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah). Orang yang menerima tapi pada dirinya ada semacam kelalaian dan keterlambatan, dia diseru dengan pelajaran yang baik, yaitu perintah dan larangan yang diiringi dengan roghbah (janji pahala dan keutamaan) dan rohbah (ancaman hukuman dan kerugian). Orang yang membangkang dan menentang, diajak berdebat dengan cara yang lebih baik. Inilah yang benar tentang makna ayat ini.” (“Miftah Daris Sa’adah”/1/hal. 153). 
Dan terkadang sebagian orang tidak tersadar kecuali dengan semacam sikap keras, maka metode ini tidak boleh diingkari karena jelasnya dalil-dalil tentang itu, dan langkah tadi tidak menunjukkan kecilnya rohmat pelaksananya sebagaimana yang diduga oleh Al Wushobiy. Dari Anas رضي الله عنه :

أن النبي صلى الله عليه وسلم رأى رجلا يسوق بدنة فقال: «اركبها» قال: إنها بدنة. قال: «اركبها» قال: إنها بدنة. قال: «اركبها ويلك». (أخرجه البخاري (6159) ومسلم (1322)).

“Bahwasanya Nabi صلى الله عليه وسلم melihat seseorang menggiring badanah (binatang untuk disembelih dalam haji). Maka beliau bersabda: “Naikilah dia.” Maka dia berkata: “Dia itu badanah.” beliau bersabda: “Naikilah dia.” Maka dia berkata: “Dia itu badanah.” beliau bersabda: “Naikilah dia, celaka kamu.” (HR. Al Bukhoriy (6159) dan Muslim (1322)).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah رحمه الله berkata: “… dan hanyalah perkara ini termasuk dalam kemaslahatan-kemaslahatan kaum mukminin yang dengannya Alloh memperbaiki sebagian dari mereka dengan sebagian yang lain, karena sesungguhnya mukmin yang satu bagi mukmin yang lain adalah bagaikan dua tangan, yang satu mencuci yang lain. Dan terkadang kotoran tidak lepas kecuali dengan semacam kekasaran, akan tetapi yang demikian itu akan menghasilkan kebersihan dan kelembutan yang dengannya kekasaran tadi dipuji.” (“Majmu’ul Fatawa”/28/hal. 53-54).
Alloh ta’ala berfirman:

{وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا } [النساء: 34]

“Dan para wanita yang kalian khawatirkan kedurhakaan mereka, maka nasihatilah mereka, dan tinggalkanlah mereka di tempat-tempat tidur, dan pukullah mereka. Maka jika mereka menaati kalian, maka janganlah kalian mencari jalan untuk menyakiti mereka. Sesungguhnya Alloh Mahatinggi dan Mahabesar.”

Kemudian sesungguhnya manusia itu terdiri dari jiwa dan raga. Maka usahakan untuk tidak memukul anak sebelum akal mereka cukup untuk memahami arti pukulan, dan sebelum badan mereka cukup kuat untuk memikul beban pukulan tadi.
Dan secara kebanyakan –bukan pembatasan yang baku-, anak sebelum usia sepuluh tahun belum begitu memahami makna pukulan, maka Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam menyebutkan pendidikan dengan cara pukulan itu pada usia anak sepuluh tahun.
Nabi shollallohu ‘alaihi waalihi wasallam bersabda:

«مروا أبناءكم بالصلاة لسبع واضربوهم عليها لعشر وفرقوا بينهم في المضاجع»،

“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk sholat ketika mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka dalam rangka itu ketika mereka berusia sepuluh tahun dan pisahkanlah di antara mereka pada tempat-tempat tidur mereka.” [Itu adalah riwayat Al Imam Ahmad (6689) dan Abu Dawud (495) dari Abdulloh bin Amr ibnil ‘Ash رضي الله عنهما dengan sanad hasan].

Maka usahakan jangan memukul anak sebelum mereka berusia sepuluh tahun. Akan tetapi jika memang amat susah diatur setelah dinasihati dengan lembut dan telah diberi hardikan dan ancaman, ternyata anak itu membandel, dan dilihat bahwasanya anak tadi akalnya telah mulai memahami arti pukulan, dengan badan yang bisa memikul pukulan yang ringan, boleh orang tua atau pendidik untuk memberikan pukulan yang ringan dan tidak berbekas di badannya dan tidak mendatangkan efek yang membahayakan, sekalipun anak tadi belum berusia sepuluh tahun.

Hadits tadi adalah gambaran umum dan bukan pembatasan yang baku untuk setiap anak.
Al Imam Ibnu ‘Utsaimin rohimahulloh berkata: “Mumayyiz adalah anak yang mencapai usia tujuh tahun sampai usia baligh. Dia dinamakan sebagai Mumayyiz karena dia bisa membedakan, sehingga bisa memahami ucapan dan bisa menjawab pertanyaan. Sebagian ulama berkata: “Sesungguhnya (gelar) Mumayyiz itu tidak terikat dengan usia, dia cuma terikat dengan sifat.”
Yang mengatakan bahwasanya Mumayyiz itu terikat dengan usia, mereka berdalilkan dengan sabda Nabi shollallohu ‘alaihi waalihi wasallam:

«مروا أبناءكم بالصلاة لسبع واضربوهم عليها لعشر»،

“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk sholat ketika mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka dalam rangka itu ketika mereka berusia sepuluh tahun.”

Nabi menjadikan tujuh tahun sebagai awal usia diperintahnya seorang anak kecil. Dan ini menunjukkan bahwasanya sebelum usia tadi, tidak sah kita mengarahkan perintah pada anak kecil. Bisa dikatakan: karena anak usia tadi tidak memahami perintah, dan bisa juga dikatakan: karena anak usia tadi tidak bisa memikul perintah.
Maka jika kita berpendapat dengan alasan pertama, jadilah usia tujuh tahun itu sebagai batasan Tamyiz. Tapi jika kita berpendapat dengan yang kedua, maka usia tujuh tahun itu bukanlah batasan Tamyiz.
Yang mengatakan bahwasanya Mumayyiz itu terikat dengan sifat, mereka mengatakan: “Karena kalimat “Mumayyiz” itu isim fa’il dari “Tamyiz”. Jika dia itu suatu pecahan dari kalimat tadi, jika makna tamyiz (kemampuan membedakan) itu ada pada seorang anak kecil, sifat Mumayyiz tadi telah tetap ada padanya. Maka mumayyiz adalah anak yang memahami pembicaraan dan bisa menjawab pertanyaan. Akan tetapi usia tujuh tahun itu adalah batasan yang umum. Dan yang dimaksudkan dengan memahami makna adalah: jika engkau meminta dia mendatangkan sesuatu, -seperti air misalkan- dia pergi dan mendatangkan air itu untukmu.”
(selesai dari “Asy Syarhul Mumti’”/2/hal. 71-72).

Akan tetapi kita harus waspada dan hati-hati karena masalah memukul ini masalah yang berbahaya, karena bermudah-mudah untuk memukul anak-anak sebelum mereka memiliki kekuatan pemahaman dan kemampuan badan untuk memikul pukulan, itu berbahaya sekarang atau di masa yang akan datang.
Al Imam Asy syinqithiy rohimahulloh berkata: “Dan ini menunjukkan apa yang kami sebutkan bahwasanya orang-orang yang bijaksana dan berakal telah bersepakat: bahwasanya memulai pendidikan dengan metode pemukulan itu akan membikin perasaan menjadi bodoh, dan membunuh makna-makna kejiwaan yang tinggi yang mestinya jiwa tadi membawa kepada keutamaan dan menjauhi perkara-perkara yang rendah. Maka ayah harus memperdalam kepercayaan dan menggerakkan pengetahuan pada diri anak-anak yang lelaki dan yang perempuan, sampai jika mereka mencapai baligh mereka sanggup dengan diri mereka sendiri untuk mengetahui banyak perkara secara mentap, perkara yang baik mereka terima, perkara yang buruk mereka tinggalkan. Dan ini lebih selama dan lebih bijaksana. Dan itulah yang wajib dipegang oleh seorang ayah.
Dibangun di atas perkara tersebut, mereka bersepakat bahwasanya seharusnya sang ayah memulai pada awalnya dengan pengarahan. Dan pengarahan pada perkara-perkara penyempurna itu tidak mengharuskan adanya hukuman (jika dilanggar), maka ayah jangan membawa sang anak pada perkara penyempurna secara paksaan, karena Alloh tidaklah mewajibkan perkara yang demikian itu pada para mukallafin (orang-orang yang telah terbebani), lebih-lebih pada orang-orang yang tidak terbebani.
Dan dari sini sang ayah memberikan pengarahan pertama kali, lalu diberikan pengarahan pada perkara yang bukan penyempurna, yaitu perkara-perkara yang wajib, sang ayah memerintahkan mereka untuk menjalankan yang wajib-wajib, melarang mereka dari yang harom-harom. Pengarahan itu mencakup perintah untuk taat pada Alloh dan larangan dari mendurhakai Alloh.
Jika ternyata pengarahan tadi tidak ditaati, sang ayah berpindah ke tahapan peringatan, mengingatkan anak dan berkata: “Kalau engkau tidak menjalankan perintah, aku akan menghukummu”, “Kalau engkau tidak menjalankan perintah, aku akan berbuat sesuatu padamu”. Dan ini paling utama. Sang ayah membikin batas waktu dalam peringatan yang mengandung ancaman hukuman tadi, dan membiasakan sang anak untuk mengetahui bahwasanya peringatan tadi berlangsung sekali atau dua kali, lalu pada kali yang ketiga jika sang ayah memberikan peringatan, sang ayah menjalankan ancamannya tadi dan tidak menundanya, karena jika sang ayah mengancam untuk memukul atau menghukum sementara sang anak melakukan penyelisihan, jika sang ayah memaafkannya, jiwa sang anak akan terbiasa untuk tidak peduli dengan peringatan dan terbiasa untuk menyepelekannya, sehingga jadilah dia menjadi jiwa yang meremehkan peringatan. Akan tetapi jika sang ayah membiasakannya dengan peringatan pada kali pertama, lalu peringatan pada kali yang kedua, jika dia melihat adanya kemaslahatan untuk bersabar sampai kali yang ketiga dia boleh bersabar. Jika tidak, boleh dia menimpakan hukuman pada fase ketiga.

Perkara yang ketiga: jika sang ayah ingin menimpakan hukuman, hendaknya dia menghukum anak tadi dalam bentuk yang masih membawa akhlaq yang mulia agar anak menjalankan perkara-perkara yang terpuji dan meninggalkan perkara-perkara yang tercela tanpa pemaksaan dan tanpa berlebihan dalam menghukum, karena sikap berlebihan dalam menghukum itu akan berpengaruh pada kejiwaan sang anak. Anak-anak kecil yang lelaki ataupun perempuan itu seperti yang telah kami sebutkan. Maka hukuman itu harus bisa dipahami oleh akal. Karena itulah maka Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam melarang memukul wajah, menampar muka, dan juga beliau melarang pukulan yang melukai ketika mendidik wanita.

Dan ini adalah dasar yang disyariatkan: anak itu dihukum dengan tahapan semacam tadi, dan terkadang perkaranya berakhir pada suatu hukuman, dan itu adalah tahapan yang terakhir. Maka kami ingin mengingatkan masalah ini, karena sebagian orang dengan semata-mata mendengar bahwasanya sang ayah boleh memukul anaknya, maka dia langsung saja memukul anaknya. Harus ada perincian. Oleh karena itulah maka Alloh ta’ala berfirman:

{فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ} [النساء:34] ،

“Maka nasihatilah mereka, dan tinggalkanlah mereka di tempat-tempat tidur, dan pukullah mereka.”

Alloh menyebutkan tiga tingkatan: nasihat dan peringatan dengan nama Alloh ‘Azza wajalla, lalu hajer (boikot atau peninggalan) di atas pembaringan. Dan hajer di atas pembaringan itu setara dengan menghentikan kebaikan pada anak-anak. Yaitu: jika ayah terbiasa membawa anak untuk rekreasi di akhir pecan, dan terbiasa membawa anak pergi ke tempat yang disukainya, lalu pada hari ini anak tidak mengerjakan kewajiban atau justru melakukan perkara yang diharomkan, ayahpun tidak mau lagi membawanya berrekreasi. Dan hal ini harus dijalankan dengan metode yang amat berhati-hati, yaitu dengan cara yang tidak menjadikan anak berputus asa dari kebaikanmu dan menjadi tumpul perasaan.

Bahkan engkau harus menjadi orang yang bijaksana. Dan ketahuilah dengan ilmu yakin, bahwasanya sebanyak apapun akal dan bashiroh (pengetahuan) yang diberikan padamu, engkau tak akan bisa mendidik, dan engkau tak akan bisa mengajar selama engkau tidak diberi taufiq oleh Robbmu.
Maka seluruh perkara ini ada di tangan Alloh ‘Azza wajalla, sebagaimana firman Alloh ta’ala:

{وَمَا تَوْفِيقِي إِلَّا بِالله} [هود:88]

“Dan tiada taufiq padaku kecuali dengan pertolongan Alloh.”

Maka barangsiapa merasa amat perlu pada Robbnya, Robbnya akan memberinya kecukupan dan meluruskannya.”
(selesai dari “Syarh Zadil Mustaqni’”/Asy Syinqithiy/2/hal. 360).
Sampai di sini dulu, penjabaran yang lebih panjang ada dalam risalah tersendiri.

والله تعالى أعلم، والحمد لله رب العالمين